Setiap tahun keluarga kami menunggu kepulangan kami, yaitu aku, Yusuf bin ‘Abid bin Muhammad bin Umar dan anak pamanku Abdullah bin Umar bin Yusuf bin Umar. Setelah beberapa tahun dari kepulanganku dari negeri Anqad di tahun sembilan puluh delapan atau sembilan puluh sembilan di abad kesepuluh, berhembuslah angin kencang yang menimpa negeri Anqad sehingga melenyapkan ladang dan biji-bijian. Angin itu datang dari arah timur Anqad dan tak menyisakan sesuatu. Sedangkan negeri Fas dan Tazah selamat dari angin kencang itu. Sebab itu penduduk Anqad yang terdiri dari anak-anak Thalhah bin Ya’qub, al-Ahlaf, al-Barabir dan penduduk setempat, baik dari kalangan arab maupun ajam, berbondong-bondong masuk ke Fas. Tidak ada yang tersisa di daerah Anqad. Termasuk diantara mereka yang meninggalkan Anqad adalah kerabat kami, yaitu keluarga Abu al-Wakil. Kota Fas dipenuhi oleh banyak orang. Sementara itu asy-Syarif Ahmad. yang merupakan sultan di daerah itu, menenangkan mereka yang mengungsi ke kota tersebut.
Pada masa itu, setiap syarif (keturunan Nabi Saw.) diminta menunjukkan bukti nasab atau selainnya yang menjadikan mereka haram memakan harta zakat. Hal itu diumumkan di tengah pasar oleh penguasa Maroko di masa itu. Maka anak-anak Abu al-Wakil menyodorkan bukti nasab yang menunjukkan bahwa mereka adalah syarif, dan aku menjadi saksi bagi mereka. Dituliskan di kesaksian itu bahwa aku adalah pelajar. Mereka menyebutkan nasabku hingga ke Hasan cucu Nabi Saw. Lalu setelah proses tersebut, mereka memberikan berkas itu ke Sultan Ahmad. Setelah melalui proses penyelidikan, beliau menyetujuinya.
Setelah semua itu, keluarga kami tinggal di dekat kota Fas. Saudara dan paman-pamanku dari ibu serta banyak kerabat. Mereka semua tinggal di tempat yang bernama lembah al-Laban. Namun Allah Swt telah menetapkan ajal mereka di negeri ini. Tak lama setelah peristiwa itu, ibuku, saudaraku Muhammad bin ‘Abid, Abu al-Qasim bin ‘Abid dan Fathimah binti ‘Abid, semuanya wafat. Dan aku tak memiliki siapa-siapa lagi kecuali satu saudara perempuan yang masih hidup. Namun tak lama ia pun wafat. Begitu pula anak-anak pamanku dari ayah, wafat lebih dari dua puluh orang. Juga pamanku dari ibu Ali bin Abdullah yang tertua, ‘Abid bin Muhammad bin Abdullah bin Umar, anak-anak pamanku dari ibu yang bernama Abdullah bin Yusuf bin Umar, dan juga beberapa orang yang bersama mereka. Semuanya wafat di bulan Rajab di tahun sembilan puluh delapan atau sembilan. Kabar tentang kematian mereka datang pada kami dalam satu hari sehingga tangis kami terdengar oleh orang lain.
Pada saat peristiwa di atas terjadi, aku tidak berada di tempat sehingga aku tidak mengetahuinya. Datanglah sebuah surat bela sungkawa kepada kami dari pamanku dari ibu atas meninggalnya keluarga kami di atas. Pembawa surat bela sungkawa itu adalah anak dari paman kami dari ayah bernama Yahya bin isa. la memberikan surat itu kepada anak pamanku dari pihak ayah, Abdullah bin Umar. Saat itu aku sedang pergi karena suatu keperluan. Ketika aku pulang, aku melihatnya dalam kondisi sedih. Sepupuku itu mengkhawatirkan aku saat ia ingin memberikan kabar itu kepadaku tentang kematian keluargaku yang berjumlah lima orang. Di bulan Rajab itu terdapat dua puluh tiga jenazah. Saat itu sepupuku menangis sambil memperingatkan aku agar bersabar dan mengingatkanku atas pahala dari Allah bagi orang-orang yang bersabar. Dia juga mengingatkanku bahwa semua makhluk akan mati dan suatu saat kita juga akan mati. la memenuhiku dengan nasehat sambil menggenggam surat itu. Aku bertanya kepadanya, “Surat apakah ini?” la berkata kepadaku, “Ini bukanlah kabar yang penting.” Ketika aku memaksa untuk melihat apa yang di dalam surat itu, ia menyampaikan kabar itu kepadaku. Saat itu kami sedang berada di masjid yang tertutup dan tidak dibuka kecuali waktu dhuhur. Maka setelah mendengar kabar itu, menangislah aku dan dia. Orang-orang di luar masjid pada saat itu mendengar tangisan kami dan mereka tahu bahwa tangisan itu berasal dari kami. “Buka pintu masjid ini “kata mereka. Maka kami membukanya. Sepupuku menceritakan kepada mereka tentang kabar yang kami terima itu. Akhirnya mereka pun ikut menangis karena rasa ibanya kepadaku yang telah kehilangan semua keluargaku dan tidak ada yang tersisa kecuali saudara seayah. Mereka menceritakan kabar tentang aku ini kepada asy-Syaikh yang mengajarku. Maka guruku itu juga berbela sungkawa kepadaku. Dan beliau berkata kepadaku, “Ini adalah jalan hidup dunia wahai anakku, semoga Allah menjadikan keberkahan bagimu. Juga kepada keturunanmu.” Mereka tinggal sebentar mendampingiku. Merekabtakut aku menjadi gila atau menyusul kematian keluargaku. Selama hampir setahun, setiap orang dari kabilah yang melihatku, mereka menangis di hadapanku. Jika aku datang kepada mereka yang tinggal di sekitar kota Fas, maka mereka akan menangis karena iba melihatku yang hidup sebatang kara. Mereka adalah orang-orang yang dulu mendapat sedekah dari keluarga kami dan menjuluki keluarga kami dengan sebutan ‘pohon yang manis’. Yaitu tak ada yang memetik darinya kecuali kebaikan. Kami sekeluarga tetap menjalankan kebaikan yang dilakukan ayah kami setelah beliau wafat, karena ibu kami, Manshurah, berkata, “Kami tidak akan memutus kebiasaan ‘Abid bin Muhammad- anak pamanku dari ayah-, yaitu apa yang menjadi kebiasaannya menyebar kebaikan di antara manusia.” Begitulah, beliau benar-benar menjalankan kebiasaannya hingga wafat.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim