Setelah semua kematian ini, tak ada yang tersisa dari keluargaku kecuali saudariku Zahrah binti Abid yang telah menikah dengan anak dari anak-anak Yahya bin Ibrahim. Aku mengunjungi tempat mereka di lembah al-Laban di antara kota Fas dan kabilah Ghamarah yang berjarak sekitar satu setengah marhalah (± 60 Km). Di antara keluargaku di sana, yang tersisa adalah saudara ibuku, Umar bin Yusuf, dan istrinya serta keluarganya. Hanya sedikit yang wafat diantara mereka. Begitu pula sekelompok orang yang masih hidup dari kerabatku. Termsuk pula Yahya bin AH bin Abdullah dan keluarganya serta sekelompok orang yang lain. Aku datang mencari warisan mereka untuk menyelesaikan tanggung jawab mereka dan hak-hak mereka. Warisan itu sebesar 20 awqiyah emas. Saudariku juga mendapatkan warisan dan aku memberitahu kabar gembira yang mendatangkan kebaikan baginya ini. Aku katakan kepadanya bahwa masih ada aku yang menyusulnya ke kota itu. Aku tinggal di daerah saudariku, di rumah saudara ibuku yang bernama Umar selama beberapa hari hingga lenyap rasa lelah dari diriku. Lalu aku pulang bersama sepupuku Abdullah bin Umar. Di tengah perjalanan, saudariku Zahra wafat di tempat suaminya. Lalu suaminya dan saudara ibuku Umar bin Yusuf bin Umar menyelesaikan hak-haknya. Saudariku meninggalkan seorang anak laki dan seorang anak perempuan. Aku tinggalkan mereka bersama ayah mereka yang bernama Isa bin Jabir yang termasuk keturunan Yahya bin Ibrahim dari anaknya yang bernama Zakaria.
Ini adalah perkara yang tak diketahui manusia. Karena mereka sebenarnya ingin hidup, namun di tahun itu mereka semuanya wafat. Ketika aku keluar bersama sepupuku Abdullah bin Umar, Allah menetapkan ketentuan bagi mereka hingga kematian menjemput mereka. Semoga Allah merahmati mereka semua. Dulu aku sering menziarahi makam mereka di kota mereka setiap bulan. Lalu kami bacakan doa di makam mereka. Saudara ibuku Umar bin Yusuf bin Umar tinggal di daerah tempat mereka dimakamkam. la berkata kepadaku, “Aku tidak akan meninggalkan mereka agar mereka tidak sedih berpisah denganku.” Maka aku meninggalkannya di antara mereka.
Sesesungguhnya orang yang telah wafat itu merasa sedih karena berpisah dengan orang yang masih hidup. Seseorang dari al-Hazmah melihat anakku Muhammad bin Yusuf yang telah wafat saat kami mengobatkannya hingga ke kota Huraib. la melihatnya dalam mimpi dan berkata, “Mengapa engkau terlihat lelah wahai tuanku Muhammad?” la menjawab, “Karena aku berpisah dari keluargaku. Mereka meninggalkanku di tempat asing ini. Di pemakaman al-Hazmah.” Lalu aku menenangkannya dengan pergi ke makamnya. Sesungguhnya orang yang telah wafat merasa sedih saat berpisah dengan kerabatnya yang masih hidup dan jika mereka tidak diziarahi atau didoakan. Sebab itu hendaklah para kerabatnya mendatangi makam mereka dan mendoakannya.
Kerabatku yang telah wafat di sekitar kota Fas dan daerah pedalaman yang dekat dengannya adalah saudara ayahku Halimah binti Muhammad bin Umar, dan saudara ayahku Mahjubah binti Ali, serta anak-anak kecil dari keluargaku yang aku lupa nama-nama mereka. Sedangkan saudara ayahku Isa bin Ali, saudara ayahku seibu, wafat di negeri Anqad dan dimakamkam di sebuah tempat yang bernama Timzan yaitu sebuah pekuburan yang terletak di tempat kosong. Tak ada bangunan di sana kecuali hanya kuburan. Tempat itu terletak di antara desa Wajdah dan Rabbanah di kaki bukit yang bernama Maqraz. Tempat ini lebih banyak digunakan untuk menanam gandum dan jelai. Juga di tahun wafatnya saudara ayahku Isa bin Ali dan istrinya yang merupakan saudara ibuku yang bernama Amirah. Kami mengunjunginya di pekuburan itu. Saat dalam perjalanan pulang, kami melewati hasil panen yang ternyata di sana terdapat makam dengan suatu bangunan di atasnya sebagai tanda. Maka aku bertanya kepada beberapa orang di sana, “Mengapa makam itu diberi bangunan?” Mereka menjawab, “Setiap malam kami melihat cahaya di makam itu. Lalu kami mendatangi makam itu dan kami muliakannya dengan membangun sesuatu di atasnya.”
Inilah hal-hal yang aku beritahukan kepada anak-anakku, juga kepada mereka yang ingin mengetahui sejarahku. Yaitu siapa kerabatku di Maroko, siapa yang wafat di antara mereka saat aku di Maroko, dan siapa yang kutinggalkan dalam keadaan hidup ketika aku keluar menuju ke arah timur hingga sampai di Hadramaut.
Marilah kita kembali kepada apa yang kita bahas sebelum ini, yaitu tentang duduk bersama para ulama di kota Fas. Aku mulai mengkhatamkan (hafalan) al-Quran ditangan para guru yang menundukkan nafsunya. Diantara guru-guruku itu adalah asy-Syaikh Ibrahim al-mamudiy yang mengajariku di madrasah Mishbah, asy-Syaikh Musa al-Wajdiy yang berasal dari sebuah desa di negeri Anqad yang benama Wajdah yang ada di sebelah timur al-Faidhah, asy-Syaikh Muhammad al-Andalusiy, dan guru-guru lainnya yang aku lupa nama-nama mereka. Aku juga membaca banyak kitab, diantaranya adalah kitab ar-Risalah karya Ibn Abu Zaid al-Qairuniy yang aku baca di hadapan syaikhku abu aI-Qasim bin Abdulmun ‘im az-zamuriy. Aku juga membaca kitab al-Jurumiyyah dan selalu hadir pada pembahasan kitab Syarh Alfiyyah karya al-Makudiy dan ilmu-ilmu lainnya.
Sedangkan aku menyelesaikan pembelajaranku saat tiba musim dingin. Setelah mempelajari semua itu, aku membaca tafsir al-Quran setiap selasai shalat subuh, kitab Khalil setelah shalat dhuhur dan mungkin juga kitab tentang fiqh karya Ibn Hajib. Selebihnya aku membaca di banyak tempat seperti di Masjid Jami’at-Oarwiyyin. Misalnya kitab-kitab tauhid dan sirah yang diajarkan oleh asy-Syaikh Ahmad az-Zamuriy sejak setelah shalat maghrib hingga Isya. Begitu pula setiap malam jum’at di musim dingin, di masjid al-Qarwiyyin diselenggarakan majelis di sana. Semua kitab yang diwaqafkan oleh seseorang dipelajari di masjid itu hingga kitab Syarh al-Burdah juga diajarkan di masjid itu. Aku hadir beberapa kali saat diajarkan Syarh al-Burdah. Namun terkadang, saat aku datang di majelis itu, tak ada orang yang hadir kecuali hanya satu atau dua orang. Tapi aku tetap hadir di majelis itu karena mencari keberkahan. Aku bertanya tentang sebab majelis yang dihadiri oleh sedikit orang itu. Mereka menjelaskan bahwa banyak orang tidak menghadirinya karena banyaknya orang-orang berilmu namun tidak memiliki nasib baik dalam hal harta dan kedudukan di mata manusia, sehingga mereka tidakdihargai. Sebab itu, kedudukan yang difungsikan untuk agama adalah sesuatu yang terpuji. Sebaliknya, menjauhi kedudukan sehingga menyebabkan matinya agama adalah sesuatu yang tercela. Seseorang pernah mengajarkan kepadaku suatu malam, “Katakanlah, wahai Allah.aku berlindung kepada-Mu dari kedudukan yang dipegang dengan kebodohan dan aku berlindung kepada-Mu dari menjauhinya yang menyebabkan matinya ilmu agama.”
Saat itu adalah lahun sembilan puluh sembilan di abad kesepuluh dan umurku saat itu dua puluh lima atau enam tahun. Di saat itu aku bolak-balik ke majelis -majelis tersebut di atas. Setiap hari aku juga mengulang hafalan dua maqra hingga empat maqra hingga aku mengkhatamkannya di hadapan para syaikh yang telah aku sebutkan di atas.
Di Masjid al-Qarwiyyin juga diajarkan ilmu hitung, waktu dan perbintangan yang diperlukan manusia untuk mencari arah kiblat. Pelajaran yang sering kuhadiri adalah yang menjelaskan bait-bait dari kitab syarh karya asy-Syaikh al-Jadiriy. Ilmu ini sangat kuperlukan karena berguna bagiku saat keluar ke tempat-tempat yang tak berpenghuni, tak ada bangunan, serta saat aku menyendiri untuk berzikir. Mereka yang ingin melakukan hal ini harus memiliki ilmu tentang arah kiblat, mengetahui waktu shalat dan hal-hal lainnya.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim