IBNU BATHUTHAH adalah sebuah ikon sejarah. Nama aslinya Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Lawati At-Thanji. Dilahirkan di Kota Thanjah (Tangier), Maroko, tahun 1304 M, di masa kekuasaan Dinasti Marin.
Nama Ibnu Bathuthah telah dicatat dalam kepustakaan-kepustakaan sejarah dunia, khususnya sejak abad pertengahan sampai zaman modern. Namanya masyhur di mata ilmuwan Muslim, maupun Barat. Banyak buku atau karya ilmiah disusun bersumber dan memoar-nya, Rihlah Ibnu Bathutah. Judul asli memoar itu, sebagaimana yang didiktekan kepada Muhammad
Ibnu Juzai Al-kalbi, adalah Tuhfah An Nuzhar fi Gharaibil Amshar wa Ajaibil
Asfar (Hadiah Berharga dan Pengalaman Menyaksikan Negeri-negeri Asing dan Menjalani Perjalanan-perjalanan Ajaib).
Ross E. Dunn, seorang profesor sejarah dari San Diego State University, menulis analisis menarik seputar perjalanan Ibnu Bathutah. Dalam bukunya, The Adventures of Ibnu Battuta, A Muslim Traveler of 14th Century, Ross mencoba melakukan analisis mendalam terhadap berita-berita yang disampaikan oleh Ibnu Bathutah. Kemudian dia melakukan upaya “down to earth” (pembumian) cerita-cerita itu dalam realitas sejarah di zaman Ibnu Bathutah. Ross mengkomparasikan cerita Ibnu Bathuthah dengan karya Ibnu Khaldun, catatan-catatan Marco Polo, dan lainnya. Tentu saja, tulisan Ross tidak sepi dan perspektifnya sebagai seorang ilmuwan Barat. Tetapi hal itu bisa dilihat sebagai bentuk apresiasi besar sejarawan Barat terhadap karya Rihlah Ibnu Bathutah.
Kalau membaca karya Ibnu Bathuthah, tidak bisa tidak, kita akan terpana; antara percaya dan tidak, antara yakin dan ragu. Di sana kerap digoreskan cerita-cerita tertentu yang menakjubkan. Mari kita sebutkan sebagian dari cerita itu.
Di Kota Dimyath Mesir, tersebut Syaikh Jamaluddin As-Sawi, seorang pemimpin tarekat sufi Qalandariyah. Dia adalah seorang syaikh yang saleh, alim, dan rupawan. Begitu rupawan sampai dia pernah dijebak seorang nenek di rumahnya, untuk diajak berbuat zina. Namun dia minta izin ke kamar mandi terlebih dulu. Di kamar mandi itu Syaikh Jamaluddin mencukur semua bulu di mukanya, baik jenggot, kumis, dan alis. Saat keluar dari kamar mandi, sang nenek merasa jijik melihat penampilan Syaikh Jamaluddin, sehingga enggan meneruskan niat buruknya. Di hari-hari selanjutnya, Syaikh Jamaluddin mempertahankan penampilan seperti itu, dan diikuti murid-muridnya.
Suatu ketika, seorang qadhi bernama Ibnu Al Amid mencela penampilan Syaikh Jamaluddin. Dia dituduh sebagai ahli bid’ah, karena telah mencukur jenggot. Namun Syaikh Jamaluddin balas mencela Ibnu Al Amid. Bahkan dia kemudian memperlihatkan keajaiban. Sekali waktu Syaikh Jamaluddin menundukkan kepala, sehingga manakala dia mengangkat kepalanya, tiba-tiba sudah ada jenggot lebat warna hitam di dagunya. Kali berikutnya, ketika mengangkat kepala, jenggot itu sudah memutih, tampak bagus. Di kali selanjutnya, jenggot itu kembali bersih seperti semula. Tentu saja semua orang tampak takjub, termasuk Ibnu Al Amid dan Para pengikutnya. Apakah cerita ini merupakan karamah seorang wali Allah, atau sekedar cerita fantasi yang tidak nyata? Hanya Allah yang Mahatahu.
Menurut Ibnu Bathuthah, negeri Mesir memiliki 12.000 petugas penyuplai air. Di Sungai Nil terdapat 36.000 kapal milik raja dan rakyat. Penduduk Mesir katanya senang bersantai. Ketika Raja Malik An Nashir sembuh dari luka tangannya, penduduk Mesir merayakan hal itu dengan memakai pakaian sutera, menghiasi toko-toko, dan bergembira selama beberapa hari. Semua itu, hanya lantaran Sang Raja sembuh dari luka di tangan. Lihatlah perangai rakyat Mesir ini! Begitu kagumnya dengan urusan-urusan “hiburan”, hingga ketika raja sembuh dan luka di tangan, mereka bergembira-ria sedemikian rupa. Belum lagi jumlah kapal-kapal di Sungai Nil yang fantastik.
Di bagian lain, Ibnu Bathuthah menceritakan tentang asal-usul seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham. Katanya, suatu hari Adham di wilayah Bukhara menemukan sebutir apel di sungai. Lalu apel itu dia makan. Setelah dimakan, dia merasa menyesal, sebab tidak tahu apel itu milik siapa. Ternyata apel itu milik persekutuan antara seorang wanita dan seorang sultan. Pihak wanita bersedia mengikhlaskan. Namun dia menyarankan, kalau Adham ingin apel itu dihalalkan secara penuh, dia harus menemui sang sultan di daerah Balkh untuk meminta diikhlaskan.
Setelah menempuh perjalanan 10 hari, Adham bertemu sang sultan. Sang sultan tidak begitu saja mengikhlaskan permintaan Adham. Dia mau mengikhlaskan, asalkan Adham bersedia menikahi putrinya. Setelah dinikahi, Adham selama 7 hari terus melakukan ibadah. Lalu sultan menambah syarat, dia akan mengikhlaskan apelnya, kalau Adham mau menggauli isterinya. Pada malam harinya, Adham bersedia menggauli isterinya. Setelah itu mandi, dan shalat lagi. Pada esok harinya, Adham ternyata wafat. Melalui hubungan seksual pada malam hari itu, sang putri hamil. Kelak dia melahirkan seorang anak diberi nama Ibrahim. Dari sinilah muncul sosok Ibrahim bin Adham yang terkenal itu. Benarkah ceritanya demikian? Hanya Allah yang Mahatahu.
Sumber : RIHLAH IBNU BATHUTHAH Penulis: Muhammad bin Abdullah bin Bathuthah