SHALAWAT DAN SALAM semoga selalu diberikan kepada Rasulullah, keluarga dan sahabat-sahabatnya, tidak ada daya dan upaya melainkan pertolongan Allah.
Wa ba’du:
Buku ini semacam diary (catatan harian) yang mengisahkan perjalanan Ibnu Bathuthah. Dia merekonstruksi ulang pengalaman perjalanannya itu dan mendiktekan kepada Ibnu Juzai untuk ditulis ulang. Karena merupakan bahasa lisan atau bahasa diary, maka wajar saja jika alur cerita dalam buku ini kadang melompat-lompat. Misalnya, saat sedang membahas Mesir, tiba-tiba saja ceritanya melompat untuk bercerita tentang raja India. Saat bercerita tentang kota Hijr atau Yamamah, tiba-tiba ceritanya melompat dan mengisahkan tentang Raja Mesir, Al-Malik An-Nashir.
Kadangkala sang penulis narasi, Ibnu Juzai, menyelipkan komentar sendiri di dalam buku ini. Tentu saja, komentarnya itu bukanlah merupakan tuturan yang disampaikan oleh Ibnu Bathuthah. Untuk membedakan komentarnya dengan tuturan Ibnu Bathuthah, Ibnu Juzai memulai komentarnya dengan kalimat: “Berkata Ibnu Juzai…”
Penuturan kisah ini menggunakan setting waktu tahun 700-an Hijriyah (Abad 8 Hijriyah) atau abad 13-14 Masehi. Ibnu Bathuthah, misalnya, mengatakan, “Pada tahun 29, tepatnya hari Selasa, kami melakukan wukuf lagi.” Yang dimaksud di sini adalah tahun 729 H. Hal yang sama biasa juga kita lakukan, di Indonesia misalnya kita menyebut tahun 1945 hanya dengan mengatakan “tahun 45”.
Kata “sekarang” atau “kini” yang ditulis dalam buku ini merujuk pada setting waktu kala itu. Misalnya, “Sekarang, wilayah itu banyak dihuni pemeluk agama Nasrani yang mendapatkan jaminan keamanan dari penguasa Muslim bangsa Turkuman.” Kata “sekarang” pada kalimat ini merujuk pada masa dimana Ibnu Bathuthah mengatakannya, yaitu tahun 732 H. Hal ini perlu dijelaskan, agar saat membaca tulisan ini, pembaca memasuki dunia masa-lampau. Bukan masa “sekarangnya” pembaca, karena secara antropologi dan demografi kondisi masa kini pasti sudah jauh berbeda dari masa di mana Ibnu Bathtuhah menuturkan kisah perjalanannya.
Dalam buku ini, penulisan nama kota (kota Arab maupun Ajam) mengacu pada karakter huruf sesuai dengan kaidah transliterasi penerbit
Pustaka Al-Kautsar. Misalnya kata دمياط ditulis Dimyath; kata طوران شاه ditulis Thauran Syah, meski pada buku-buku lain sering ditulis Tauran Shah. Namun, hal ini tidak diterapkan pada kosakata yang sudah populer di kalangan masyarakat Indonesia. Misalnya, غزة tidak ditulis Ghazzah, karena penulisan Gaza lebih populer. Demikian pula, karena alasan yang sama, kata طرابلس tidak ditulis Tharablus, tetapi Tripoli.
Dalam hal penulisan doa di belakang nama sahabat, Ibnu Bathuthah menggunakan cara yang berbeda dengan penulis-penulis lain pada umumnya. Ketika menyebut nama Khalifah Ali bin Abu Thalib رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ atau keluarganya, terkadang is menyebutkan رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ dan pada saat yang lain عليه السلام. Redaksi terakhir ini lazim ditulis di belakang nama nabi. Gaya penulisan semacam itu dipertahankan dalam edisi terjemahan ini.
Untuk kosakata Arab yang tidak memiliki padanan yang pas dalam bahasa Indonesia, terpaksa tetap digunakan kosakata versi Arab-nya. Misalnya, kata farsakh tidak memiliki padanan yang pas dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, maka kata asli tetap dipertahankan. Selain karena alasan tersebut, terjemahan dengan menggunakan kosakata kontemporer akan mengurangi “aroma” masa-lampau atau bahkan memerlukan bahasa yang bertele-tele. Misalnya dalam kalimat: “Setengah wilayahnya yang berdekatan dengan Syiraz, dengan panjang 12 farsakh, adalah sebuah wilayah yang sangat dingin diselimuti salju dan ditumbuhi pohon kenari.
1 farsakh adalah ukuran jarak yang setara dengan 8 km. 12 x 8 km= 96 km. Kalau kata “12 farsakh” diganti dengan kata “96 km”, maka “aroma” masa lampau akan memudar.
Juga, kata wazir tidak diartikan “menteri” untuk mempertahankan kesan masa-lampau yang melekat pada buku ini. Namun demikian, untuk memberikan kemudahan bagi pembaca untuk menyelami masa-lampau itu, buku ini dilengkapi dengan glosarium pada bagian akhir.
Edisi terjemahan ini berhutang budi pada Muhammad Abdurrahim, muhaqqiq (penelaah/peneliti) buku edisi Arabnya. Tanda syakal yang ditulisanya sangat membantu penerjemah dalam menuliskan nama-nama ajam yang banyak dijumpai dalam buku ini. Jazaahullah khairal jazaa’.
Buku ini bukanlah merupakan buku fikih atau syariah. Bisa jadi, unsur subyektivitas penulisnya (Ibnu Bathuthah) turut mewarnai buku ini. Atau, beberapa bagian dalam buku ini oleh sebagian kalangan dipandang sebagai khurafat atau takhayul. Pandangan ini tentu saja akan mempengaruhi apresiasinya terhadap buku ini. Namun, siapakah di dunia ini —selain Rasulullah ﷺ yang memiliki sifat maksum, terpelihara dari dosa dan salah? Untuk itu, buku Ibnu Bathuthah tetaplah merupakan warisan sejarah Islam yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk zamannya, bahkan mungkin zaman ini, rihlah Ibnu Bathuthah merupakan mahakarya sejarah yang belum pernah dilakukan oleh orang sebelumnya, sehingga catatan perjalanan Ibnu Bathuthah dijadikan rujukan oleh para sejarahwan dari pelbagai kalangan, Timur maupun Barat.
Selamat membaca! Semoga buku ini bermanfaat bagi semua orang yang gemar membaca sejarah, karena sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Bogor, Juni 2011
Penerjemah
Sumber : RIHLAH IBNU BATHUTHAH Penulis: Muhammad bin Abdullah bin Bathuthah