Soal Biasa yang Dibesar-Besarkan
‘A’isyah r.a. telah menjadi istri Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Ia pindah dari asuhan tangan ayah-bundanya ke dalam naungan suami yang kehormatan dan kemuliannya tiada bertolok-banding di dunia sepanjang zaman. Ia tidak hanya menempati rumah tangga beliau, tetapi juga menempati hati beliau. Ia seorang wanita muda yang berwajah ceria, bersikap lembut, peramah, dan cerdas. Ia lahir di Makkah 4 atau 5 tahun sesudah bit’sah kenabian Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan memeluk Islam sejak masih remaja putri bersama saudara perempuannya (dari lain ibu) Asma. Pada masa itu jumlah kaum Muslimin masih dapat dihitung dengan jari. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengenalnya sejak ia masih kanak-kanak, karena ia anak perempuan dari sahabatnya yang terdekat. Bahkan beliau sering berpesan kepada Ummu Ruman supaya menjaga ‘A’isyah baik-baik. Pada suatu hari ketika beliau melihat Ummu Ruman marah kepada putrinya, beliau segera menegur, “Hai Ummu Ruman, bukankah aku sudah berpesan supaya ‘A’isyah dijaga baik-baik?!”
***
Masyarakat Makkah tidak heran mendengar berita tentang terjalinnya ikatan kekeluargaan antara Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan Abu Bakar r.a., dua orang bersahabat yang ikhlas dan setia. Berita itu mereka sambut dengan biasa-biasa saja, karena kejadian demikian itu mereka anggap wajar. Bahkan orang-orang yang keras menentang dan memusuhi Islam tidak menggunakan peristiwa itu sebagai alasan untuk mencemarkan pribadi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Padahal mereka telah menempuh segala cara melancarkan serangan dan tuduhan-tuduhan palsu terhadap beliau.
Apa yang hendak mereka katakan? Apakah mereka hendak mencela beliau karena melamar seorang remaja putri yang belum cukup dewasa? Bukan rahasia lagi, mereka tahu bahwa sebelum itu ‘A’isyah telah dilamar lebih dulu oleh Muth’im bin ‘Adiy untuk dinikahkan dengan anak lelakinya, Jubair. Apa salahnya kalau setelah lamaran itu batal atau dibatalkan sendiri oleh keluarga Muth’im, kemudian Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam melamar putri Abu Bakar r.a.? Apakah ada sementara orang yang hendak menyalahkan beliau karena nikah dengan seorang remaja putri yang belum cukup usia, sedangkan beliau sendiri telah berusia lebih dari 53 tahun? Pada masa itu, yakni lebih dari 14 abad silam, ‘A’isyah bukan remaja putri satu-satunya yang nikah dengan pria seumur ayahnya. Itu sudah menjadi kelumrahan yang banyak terjadi di dalam masyarakat. Abdul-Muththalib, seorang kakek, nikah dengan Halah anak perempuan paman Aminah binti Wahb. Bahkan pernikahannya itu bersamaan dengan pernikahan anak lelakinya yang bungsu, yaitu Abdullah yang nikah dengan Aminah binti Wahb. ‘Umar Ibnul-Khaththab r.a. nikah dengan anak perempuan Imam Ali bin Abl Thalib r.a. Padahal usia ‘Umar ketika itu sebaya dengan usia Imam Ali r.a., bahkan lebih tua, ‘Umar sendiri minta kepada Abu Bakar r.a. supaya bersedia nikah dengan putrinya yang menjadi janda muda. Padahal perbedaan usia antara Abu Bakar r.a. dan putri ‘Umar itu (Hafshah) sama dengan perbedaan usia antara Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan ‘A’isyah r.a. Masih banyak lagi kenyataan-kenyataan serupa di kalangan masyarakat pada zaman itu.
Akan tetapi setelah semuanya itu lewat 1400 tahun silam ada beberapa orang dari kaum orientalis Barat yang mengungkit-ungkit tradisi yang berlaku pada masa itu. Mereka pura-pura tidak mengerti perbedaan situasi, kondisi, dan tradisi yang terjadi dalam proses perkembangan sejarah. Mereka berbicara panjang-lebar mengenai apa yang mereka sebut “keganjilan” dengan terjadinya pernikahan seorang pria tua dengan seorang gadis remaja pada masa yang sudah lewat lebih dari 1400 tahun! Dengan cara tak semena-mena mereka membandingkan pernikahan di Makkah sebelum hijrah dengan pernikahan yang terjadi dalam zaman sekarang; di mana seorang gadis biasanya tidak memasuki jenjang perkawinan sebelum mencapai usia 25 tahun. Malah dalam zaman kita sekarang pun usia 25 tahun dianggap terlambat bagi seorang gadis untuk mulai berumah tangga. Anggapan seperti itu masih umum dikalangan masyarakat Jazirah Arabia, di daerah-daerah pedalaman Mesir dan di negeri-negeri Timur.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini