Ditinggal Hijrah
Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bersama Abu Bakar r.a. secara diam-diam berangkat hijrah ke Madinah, beliau membiarkan ‘A’isyah r.a. tinggal di Makkah. Beliau tidak tega mengajak istri yang belum dewasa itu menanggung berbagai kesukaran dan penderitaan. Demikian pula istri beliau yang sudah berusia senja, Saudah r.a. Ia ditinggal sementara di Makkah. Ketika itu penganiayaan dan pengejaran kaum musyrikin Qu-raisy terhadap kaum Muslimin yang masih amat sedikit jumlahnya, terutama terhadap mereka yang lemah, telah mencapai puncaknya. Bahkan pembunuhan terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sudah direncanakan. Untuk menyelamatkan Islam dan membangun kekuatan kaum Muslimin, Allah SWT memerintahkan Rasul-Nya berhijrah ke Madinah.[1] Sebelum beliau sendiri berangkat hijrah bersama Abu Bakar r.a. hampir semua pemeluk Islam sudah berhijrah lebih dulu ke Madinah, kecuali mereka yang berada di dalam sekapan kaum musyrikin Quraisy. Oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib r.a. diminta supaya menangguhkan keberang-katan hijrahnya, tetap tinggal beberapa hari di Makkah untuk mengembalikan barang-barang amanat yang dititipkan orang kepada beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Setelah semua persiapan selesai direncanakan dan diatur serapih-rapihnya, berangkatlah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam secara diam-diam ditemani oleh sahabatnya yang setia dan yang juga sekaligus telah menjadi mertuanya, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Selama dalam perjalanan bertindak sebagai pemandu (penunjuk jalan) seorang yang dapat dipercaya, bernama ‘Abdullah bin Uraiqith. Ia seorang pemandu profesional, berpengalaman dan dapat dipercaya tidak akan membocorkan berita perjalanan hijrah Nabi kepada siapa pun. Putra Abu Bakar r.a. yang bernama ‘Abdullah ditugasi memantau berita-berita reaksi kaum musyrikin Quraisy setelah mengetahui Rasulullah “hilang” dari Makkah. Setiap sore ia menyampaikan berita-berita yang dipantaunya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam di gua Tsaur, tempat beliau bersama Abu Bakar r.a. bersembunyi untuk menghilangkan jejak di dalam perjalanan. Putri Abu Bakar r.a. yang bernama Asma (saudara perempuan ‘A’isyah r.a. dari lain ibu) bertugas mempersiapkan makanan dan minuman serta mengantarkannya secara diam-diam ke gua Tsaur setiap petang menjelang malam.
[1]Lihat Siratul-Musthafa: 446-473. Kota tersebut pada mulanya bernama Yatsnb, kemudian oleh Rasulullah saw. diubah menjadi Madinah, yang arti harfiahnya adalah “tempat peradaban.” Hal itu menunjukkan bahwa hijrah ke kota itu dilakukan dalam rangka membangun peradaban baru, yakni Peradaban Islam, dan terbukti kebenarannya dalam perjalanan sejarah.
Dari saudara-saudaranya itulah ‘A’isyah r.a. mengikuti berita tentang perjalanan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan ayahnya. Dari ‘Abdullah ia mendengar bahwa kaum musyrikin Quraisy telah mengetahui bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sudah keluar meninggalkan Makkah. Kepada siapa yang dapat menangkap dan membawanya kembali ke Makkah akan diberi hadiah seratus ekor unta. Mendengar berita seperti itu jiwa ‘A’isyah r.a. seolah-olah terbang ditiup angin topan. Mujurlah ia karena Allah SWT menjauhkannya dari putus asa dan memantapkan imannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Selain berita tersebut dari maula-nya yang bernama ‘Amir bin Fuhairah (yang oleh Abu Bakar r.a. dibebani tugas menghilangkan jejak dengan cara menggembalakan kambing orang Quraisy di waktu siang hingga petang), ia juga mendengar cerita bagaimana mania itu berusaha membelokkan perhatian setiap orang yang mungkin lewat di sekitar tempat itu.
Sepanjang hari ‘A’isyah r.a. resah gelisah menghitung detik-detik yang terasa seakan-akan bertahun-tahun. Ia selalu ingin mendengar berita dan cerita baru dari saudara-saudara dan maula-nya tentang keadaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan ayahnya. Lebih-lebih lagi karena Asma banyak menceritakan kesukaran-kesukaran yang dialami oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bersama ayahnya di dalam gua yang gelap dan sempit. Cerita-cerita yang mendebarkan hati seperti itulah yang menambah kecemasan ‘A’isyah r.a. Pada hari berikutnya Asma membawa berita baru tentang sejumlah orang Quraisy yang berusaha mengejar dan menangkap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan ayahnya. Bahkan diceritakan pula bahwa mereka tiba di gua dan hendak masuk ke dalamnya, tetapi berkat lindungan dan pertolongan Allah mereka membatalkan niatnya karena melihat sarang laba-laba dan beberapa ekor burung merpati bertengger di mulut gua. Betapa keras denyut jantung ‘A’isyah r.a. mendengar berita itu, tetapi justru berita-berita demikian itulah yang menambah besar keinginannya mendengar lebih banyak lagi.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini