Membocorkan Rahasia
Setelah dinikah oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Hafshah binti ‘Umar r.a. pindah ke rumah beliau dan menempati ruang tersendiri di antara beberapa ruangan yang belum berpenghuni. Dua orang istri beliau yang lain, yaitu Saudah binti Zam’ah dan ‘A’isyah binti Abu Bakar memperlihatkan sikap yang berlainan. Saudah r.a. menyadari keadaan dirinya, oleh sebab itu ia tidak sukar menerima kenyataan itu. Lain halnya dengan ‘A’isyah r.a. Hatinya “panas” melihat madunya datang. Ia tidak dapat mengerti mengapa ia masih dimadu, padahal ia lebih muda dan lebih cantik. Terhadap istri pertama, Khadijah r.a. dahulu, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak berbuat seperti terhadap dirinya, padahal Khadijah r.a. usianya 15 tahun lebih tua dibanding dengan usia beliau. Selain merasa lebih muda dan lebih cantik ‘A’isyah r.a. juga merasa sebagai keturunan orang yang lebih mulia dan ia selalu patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana tidak, bukankah ia putri seorang sahabat Nabi yang terdini memeluk Islam? Terhadap Saudah yang usianya jauh lebih tua saja ‘A’isyah selalu merasa “pengap,” apalagi dengan kedatangan seorang madu baru yang masih muda. Ia sangat jengkel bila tiba giliran suaminya menginap di kediaman Hafshah. Akan tetapi ia tidak tahu bagaimana harus berbuat. Akhirnya terpaksa ia menerima saja apa yang telah menjadi nasibnya, karena ia tahu bahwa pernikahan suaminya dengan Hafshah r.a. semata-mata bertujuan menyenangkan ‘Umar Ib-nul-Khaththab r.a., dan hal itu beroleh sambutan baik dari kaum Muslimin.
Dengan kejengkelan hati dan kecemburuan yang tersembunyi dalam dada ‘A’isyah r.a. memilih sikap diam, menahan diri dari dorongan nafsu untuk “memusuhi” Hafshah. Sikap seperti itu dipertahankan terus hingga saat datangnya madu-madu baru. Kedatangan mereka berturut-turut di tengah keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam membuat ‘A’isyah melupakan kejengkelannya terhadap Hafshah. Bahkan ia berusaha membuat Hafshah sebagai seorang madu yang terdekat dan terakrab dibanding dengan para madu lainnya. ‘A’isyah r.a. berpikir, Hafshah merupakan madu yang paling cocok diajak bersatu menghadapi “bahaya” bersama.
Hafshah sendiri menyadari dirinya tidak mungkin dapat menutup mata dari kenyataan, bahwa kehadiran ‘A’isyah r.a. sebagai keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam lebih dulu daripada dirinya. Ia merasa tidak layak dan tidak adil kalau memandang ‘A’isyah sebagai “lawan,” lebih-lebih lagi karena ia tahu bahwa ‘A’isyah beroleh tempat khusus di dalam hati beliau. Mungkin saja Hafshah lebih merasa teriris-iris hatinya setelah mengerti betapa besar kecintaan beliau kepada ‘A’isyah. Akan tetapi setelah ia menyaksikan beberapa orang madu lainnya datang berturut-turut, ia membutuhkan teman untuk bersama-sama menghadapi “pesaing-pesaing” baru yang perlu dikalahkan. Karena itu ia mengambil keputusan; tanpa ragu-ragu berdiri di samping ‘A’isyah.
Gerak-gerik Hafshah r.a. tidak luput dari pengamatan ayahnya, ‘Umar r.a. Ketika ‘Umar melihat putrinya menjalin hubungan erat— dianggap tidak wajar—dengan ‘A’isyah r.a. ia mulai menebak-nebak apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik keakraban itu? Pada akhirnya ia mengetahui bahwa keakraban dan eratnya hubungan antera putrinya dan putri Abu Bakar r.a. bertujuan mengganggu ketenteraman para istri Rasulullah yang lain. ‘Umar tidak membiarkan Hafshah berhubungan erat dengan ‘A’isyah. Ia tahu bagaimanapun Hafshah tidak akan beroleh nasib seperti yang diperoleh ‘A’isyah, yakni tidak akan mendapat tempat khusus di dalam hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sebagaimana yang didapat oleh ‘A’isyah. Pada kesempatan yang baik ia menemui Hafshah untuk mengingatkan agar jangan berlaku seperti anak kecil. ‘Umar dengan gayanya yang khas berkata, “Hai Hafshah, insyaflah apa arti dirimu dibanding dengan ‘A’isyah, dan apalah arti ayahmu dibanding dengan Abu Bakar?!”
Hafshah menyadari semuanya itu, tetapi sebagai wanita yang dimadu ia tidak menghiraukan peringatan ayahnya. Pada suatu hari ‘Umar r.a. mendengar dari istrinya (ibu Hafshah) bahwa anak perempuannya berani membantah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengenai urusan rumah tangga hingga beliau benar-benar marah selama sehari. Mendengar kabar demikian itu ‘Umar cepat-cepat pergi menemui Hafshah. Setelah Hafshah mengakui berbuat seperti yang dikatakan oleh ibunya, dengan suara membentak ‘Umar berkata, “Mengertikah engkau, hai Hafshah, bahwa kedatanganku ini untuk memperingatkan engkau mengenai akibat kemurkaan Allah dan kemarahan Rasul-Nya? Jangan engkau mengiri kepada perempuan yang bangga karena kecantikannya dan karena kecintaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam kepadanya. Demi Allah, engkau tentu tahu bahwa Rasulullah tidak mencintaimu. Kalau bukan karena aku engkau tentu sudah dicerai!”
Sehabis memarahi putrinya, ‘Umar pulang, ia yakin putrinya tentu mengindahkan benar-benar peringatan yang telah diberikan kepadanya. Ia tidak memikirkan kenyataan, bahwa Hafshah adalah seorang wanita. Ia tetap sebagaimana biasanya seorang wanita yang dimadu. Sekalipun ia mengerti kedudukan ‘A’isyah dan para istri Nabi yang lain, tetapi kewanitaan Hafshah tidak sudi kedudukannya sebagai istri diganggu oleh wanita-wanita lain, madu atau bukan madu. Ia tidak sanggup memaksakan diri untuk berpikir dan berperasaan menyimpang dari alam kodratinya. Ia tidak segan-segan membantah suaminya jika ada suatu soal yang tidak menyenangkan hatinya. Kebiasaan demikian itu barangkali disebabkan oleh kecemburuannya yang tertekan terhadap ‘A’isyah. Dari hubungannya yang erat dengan ‘A’isyah yang periang dan cerdik itu, dan dari kegiatannya bersama ‘A’isyah dalam “perjuangan” menghadapi wanita-wanita lain yang menjadi saingan bersama, Hafshah merasa beroleh hiburan untuk menghilangkan kesedihannya yang tersembunyi….
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini