Siapakah Saudah binti Zam’ah?
Penduduk Makkah gempar mendengar berita lamaran Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam kepada Saudah binti Zam’ah. Berita seperti itu nyaris tidak dipercayai orang. Apakah maksud Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam melamar Saudah? Mereka saling bertanya. Saudah seorang janda tua, tak ada lagi sisa-sisa kecantikannya. Apakah wanita seperti itu akan menggantikan Khadijah binti Khuwailid, seorang wanita yang berkedudukan terhormat di tengah masyarakat Quraisy, dan tidak sedikit pula tokoh-tokoh terpandang yang ingin mempersuntingnya, tetapi selalu ditolak?
Tidak…! Saudah binti Zam’ah tidak menggantikan Khadijah binti Khuwailid. Tidak ada wanita lain yang dapat menggantikan Khadijah r.a. Saudah bersedia menjadi istri Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam karena tidak ada kehormatan bagi seorang wanita yang melebihi kehormatan istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Apalagi dengan pernikahannya itu ia akan beroleh keringanan beban hidup sebagai janda, yaitu menghidupi anak-anak yang ditinggal ayahnya, Sakran bin Abdusy-Syams bin Abdi Wudd Al-Qu-raisyiy Al-Amiriy. Sakran adalah saudara sepupu Saudah sendiri. Ia seorang sahabat Nabi yang beriman teguh dan gigih mempertahankan keislamannya dari penindasan serta pengejaran kaum musyrikin Qu-raisy. Ia bersama sejumlah sahabat-Nabi yang lain terpaksa hijrah ke Habasyah (Ethiopia) bersama keluarganya. Di sana ia wafat, dan Saudah hidup menjanda, tabah menghadapi berbagai kesukaran di negeri orang.
Pada suatu kesempatan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam pernah menyebut delapan orang dari Bani Amir yang dengan kemantapan iman meninggalkan kampung halaman, berjalan kaki menelusuri gurun sahara dan mengarungi lautan berangkat hijrah ke negeri asing untuk mempertahankan agama yang dipeluknya, Islam. Mereka menghindari penindasan kaum musyrikin yang hendak memaksa mereka kembali kepada kepercayaan keberhalaan. Di antara mereka itu terdapat Malik bin Zam’ah bin Qais bin Abdu Syams Al-‘Amiriy (saudara lelaki Saudah); Sakran bin Amr bin Abdu Syams (suami Saudah yang juga saudara sepupunya); dua orang saudaranya, yaitu Salith dan Hathib, dua anak lelaki ‘Amr bin Abdu Syams; dan saudara sepupu Sakran bernama Abdullah bin Suhail bin ‘Amr. Tiga di antara delapan orang yang disebut oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam diikuti oleh istri masing-masing. Tiga orang wanita itu adalah Saudah binti Zam’ah, Ummu Kaltsum binti Suhail, dan ‘Umrah binti Al-Wiqdam, semuanya cucu Abdu Syams. Demikianlah sejumlah keluarga beriman itu keluar berbondong-bondong meninggalkan tanah tumpah darah, tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan …. Mereka pergi menuju suatu negeri yang belum pernah dikenalnya, hidup di tengah orang-orang asing yang bukan serumpun dan bukan seketurunan; lain bangsa, lain budaya, dan lain bahasa.
Itulah tantangan berat yang dihadapi Saudah binti Zam’ah bersama suaminya. Nasib malang masih menimpanya dengan cobaan lebih berat. Sebelum kembali dari rantau menginjakkan kaki ke Makkah lagi, suaminya meninggal dunia. Suratan takdir tidak memberinya penundaan waktu agar jenazahnya dapat disemayamkan di pangkuan Ummul Qura, Makkah.[1]
Tak sukar dibayangkan betapa berat penderitaan Saudah binti Zam’ah sepeninggal suaminya. Hidup di rantau, tiada batu tempat berpijak dan tiada tali tempat bergantung. Akan tetapi ia wanita mulia, semulia suaminya yang wafat sebagai pahlawan syahid ….
Begitu lembut hati Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan demikian mendalamnya rasa kasih sayang kepada seorang sahabat setia yang telah mengorbankan segala-galanya bagi tegaknya kebenaran Allah di muka bumi…. Begitu nama Saudah binti Zam’ah disebut oleh Khaulah, terbayang oleh beliau penderitaan janda yang mulia itu dan seketika itu juga beliau menyambut baik tawaran pernikahan dengannya.
[1]Mengenai wafatnya Sakran terdapat dua sumber riwayat yang berlainan. Yang satu mengatakan Sakran wafat di Habasyah, dan yang lain mengatakan ia wafat setelah kembali ke Makkah, sebelum Nabi berhijrah ke Madinah.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini