Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berkata kepadanya, “Jawablah; suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa!”
(Al-Ishabah: VIII/127, Al-Isti’ab: I V/1872, danAs-Samthuts-Tsamin: 121)
Penaklukan Yahudi Khaibar
Lewatlah sudah tahun ke-6 Hijriyah, tahun terjadinya beberapa peristiwa penting, yaitu pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Juwairiyyah binti Al-Harits r.a., peristiwa Haditsul-Ifk (gosip atau penyebaran kabar bohong dengan maksud mencemarkan keluarga Nabi), dan perjanjian gencatan senjata dengan kaum musyrikin Quraisy (Shulhul-Hudaibiyyah).
Awal tahun ke-7 Hijriyah ditandai dengan kesiagaan kaum Muslimin untuk menghadapi peperangan menentukan di kandang kaum Yahudi Khaibar. Merekalah yang dari belakang layar menggerakkan kaum musyrikin Arab untuk menyerbu ke Madinah. Kejahatan mereka itu didorong oleh kedengkian terhadap Islam dan kaum Muslimin yang makin hari makin kuat dan kokoh bersatu.
Pada pertengahan kedua bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memimpin pasukan dengan kekuatan cukup besar berangkat ke Khaibar, pusat kekuatan kaum Yahudi dan daerah perbentengan mereka yang terkenal tangguh. Peperangan berlangsung selama beberapa hari. Semua benteng di Khaibar dapat diserbu satu demi satu, orang-orang Yahudi yang mengangkat senjata dihancurkan, kekayaan dan tanah-tanah perkebunan mereka disita sebagai rampasan perang, termasuk kaum wanitanya.’ Di antara para wanita Yahudi itu terdapat seorang yang dihormati oleh kaumnya, bernama Shafiyyah binti Huyaiy bin Akhthab, keturunan Nabi Harun a.s. saudara Nabi Musa a.s. Ibu wanita itu bernama Barrah binti Syamwal (atau Samaual). Usianya baru 17 tahun lebih sedikit, tetapi meskipun masih muda ia sudah nikah dua kali. Suaminya yang pertama bernama Salam bin Misykam, seorang prajurit berkuda terkenal dan juga seorang penyair. Suami berikutnya ialah Kinanah bin Ar-Rabi’ bin Abil-Haqiq, pemimpin kaum Yahudi yang bermukim di dalam benteng “Qumush,” benteng terkuat di Khaibar. Melalui pertempuran sengit benteng tersebut berhasil direbut dan Kinanah tertangkap hidup-hidup. Dialah yang oleh kaum Yahudi Khaibar dipercaya menyembunyikan harta kekayaan agar tidak jatuh ke tangan kaum Muslimin. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menanyakan harta itu, Kinanah mungkir dan menjawab tidak mengetahui tempatnya. Karena ia tetap menjawab seperti itu akhirnya beliau berkata, “Kalau kami menemukan harta itu ada padamu, apakah engkau bersedia dibunuh.” Kinanah menjawab, “Ya.”
Setelah dilakukan penggeledahan terbukti tempat penyembunyian harta itu berada di permukimannya. Sesuai dengan kesediaannya yang dinyatakan sendiri, Kinanah oleh beliau diserahkan kepada Muhammad bin Salamah, anggota pasukan Muslimin yang saudaranya gugur dalam peperangan itu di tangan orang Yahudi. Saudara Muhammad bin Salamah bernama Mahmud bin Salamah.
Semua wanita yang bertempat tinggal di dalam benteng Qumush ditawan sebagaimana yang telah menjadi ketentuan hukum perang pada zaman itu. Di antara mereka terdapat Shafiyyah, istri Kinanah bersama anak perempuan pamannya. Dua orang wanita itu dikawal oleh Bilal bin Rabbah, muazzin Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Ketika berjalan melewati sebuah lapangan yang banyak mayat bergelimpangan, dua orang wanita yang dikawal oleh Bilal itu terkejut dan ngeri melihatnya sehingga nyaris berteriak. Shafiyyah dapat menahan suaranya hingga tersumbat dalam kerongkongan, tetapi anak perempuan pamannya tidak hanya berteriak, bahkan menjerit-jerit kesetanan sambil menangis, melolong, dan meremas-remas rambutnya dengan pasir.[1] Dua orang wanita itu kemudian oleh Bilal dihadapkan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Lain halnya Shafiyyah, ia diam menunduk sangat ketakutan. Akan tetapi ia berusaha memperlihatkan dirinya sebagai orang yang terhormat. Tidak ada yang dapat mengetahui apa yang sedang dipikirkan pada saat itu, meskipun dari gerak-geriknya tampak sedang berusaha menutupi kehormatan dan harga dirinya yang sudah tiada lagi, karena ia sudah menjadi tawanan perang.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam benar-benar pengap melihat anak perempuan paman Shafiyyah yang berambut kotor dan kusut, berpakaian koyak-koyak dan tidak henti-hentinya meratap melolong-lolong. Kepada para sahabatnya beliau minta supaya perempuan yang kesetanan itu disingkirkan. Setelah itu beliau mendekati Shafiyyah yang tampak memelas mengharap lindungan beliau agar tidak sampai dijadikan budak. Beliau dapat memahami isi hati Shafiyyah dan maksud baiknya dari sinar matanya di saat ia mengarahkan pandangannya kepada beliau. Terdorong oleh perasaan iba dan belas kasihan beliau berniat mengulurkan tangan pertolongan. Niat baik beliau itu tampak dimengerti juga oleh Shafiyyah ketika beliau mendekat dengan sikap lemah-lembut. Kepada Bilal beliau bertanya, “Hai Bilal, apakah engkau sudah kehilangan rasa belas kasihan ketika mengawal perempuan ini melewati mayat-mayat bangsanya?” Bilal tidak menyahut…. Beliau lalu menyuruh Bilal mengawal perempuan Yahudi itu, berjalan di belakang beliau menuju ke tempat tinggal sementara. Di saat berjalan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memberikan ridha (kain penutup punggung) yang sedang dipakainya kepada Shafiyyah. Itu merupakan isyarat bahwa beliau akan memberi perlindungan kepada Shafiyyah, yakni bersedia menjadikan Shafiyyah sebagai istri.
[1]Kebiasan wanita Arab dan Yahudi yang bermukim di Hijaz, bila mereka sedih ditinggal mati keluarganya, mereka melolong-lolong histeris sambil memukuli badan sendiri dan meremas-remas rambutnya dengan pasir atau tanah.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini