Hadits yang menunjukkan keharaman nikah mut’ah selain yang tersebut di atas adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali ra.:
إن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن متعة النسآء يوم خيبر وعن اكل لحوم الحمر الأهلية
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu Alaihi WaAlihi Wa Shahbihi Wasalam telah melarang menikahi wanita dengan nikah mut’ah pada waktu perang Khaibar, dan melarang pula makan daging keledai piaraan.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Malik)
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali ra. dari Rasulullah Shalallahu Alaihi WaAlihi Wa Shahbihi Wasalam .Bagaimanakah orang-orang Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah? Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari mengutip dari Imam al-Khatthabi, ia berkata: Pengharaman nikah mut’ah itu seperti menjadi ijma’, kecuali menurut sebagian orang Syi’ah. Padahal menurut riwayat yang shahih dari Imam Ali, bahwa nikah mut’ah telah dinasakh.
Imam Muslim telah menyebutkan lebih dari sepuluh hadits tentang keharaman nikah mut’ah. Demikianlah pendapat ulama Ahlussunnah. Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan sanadnya:
إن رسول الله صلى الله عليه و سلم حرم المتعة فقال يآايها الناس إنى كنت اذنت لكم فى الإستمتاع الا وإن الله قد حرمها الى يوم القيامة
“Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu Alaihi WaAlihi Wa Shahbihi Wasalam telah mengharamkan nikah mut’ah; beliau bersabda: “Hai orang-orang, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu menikahi wanita secara nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah mengharamkannya sampai hari kiamat.”
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir:
إنه سئل عن المتعة فقال هي الزنى بعينه
“Sesungguhnya Imam Ja’far Ash-Shadiq ditanya tentang nikah mut’ah, dan ia berkata: “Nikah mut’ah itu hakekatnya adalah zina.”
Dengan demikian, maka klaim golongan syi’ah tentang kehalalan nikah mut’ah adalah batil.
Para ulama menerangkan: Allah Swt dalam kitab-Nya telah menjelaskan, bahwa senggama (hubungan badan) itu halal dilakukan dengan isteri atau budak perempuan miliknya, sebagaimana dalam firman-Nya:
والذين هم لفروجهم حافظون إلا على ازواجهم اوما ملكت ايمانهم فإنهم غير ملومين
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (QS. 23, al-Mukminun: 4-5)
Wanita yang dinikahi dengan nikah mut’ah statusnya bukanlah sebagai isteri dan bukan pula sebagai budak miliknya. Sebab jika ia sebagai isteri, tentu berlaku di dalamnya hukum waris, penentuan nasab dan kewajiban iddah. Tetapi dalam nikah mut’ah tidak terdapat aturan tersebut. Dan dalam nikah mut’ah tidak ada tujuan selain melampiaskan nafsu seksual, bukan untuk tujuan mengembangkan keturunan dan memelihara anak yang menjadi tujuan utama pernikahan. Barangkali, tidak berlebihan ucapan yang mengatakan: Nikah mut’ah sama dengan zina dari segi tujuan mencari kepuasan hubungan badan. Orang yang mencari kepuasan seks melalui nikah mut’ah berarti termasuk orang-orang yang melewati batas ketentuan al-Qur’an:
فمن ابتغى ورآء ذالك فأولئك هم العادون
“Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang melampaui batas.” (QS. 23, al-Mukminun: 7)
Sebagai penutup dialog, marilah kita memohon taufik dan hidayah kepada Allah Swt. Semoga Allah memastikan kita benar dalam ucapan, perbuatan dan keyakinan, memberi anugerah kita dapat mengikuti Rasulullah Shalallahu Alaihi WaAlihi Wa Shahbihi Wasalam lahir dan batin secara sempurna.
وصلى الله على سيدنا محمد و على آله وصحبه اجمعين
Sumber : Tanya Jawab Akidah Ahlussunnah wal Jamaah Karya Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Al-Alawi Al-Husaini