Di negeri Anqad ini terdapat sungai yang besar yang dinamakan Malwiyyah. Pangkal sungai itu keluar dari gunung yang menghadap ke kota Fas yang terletak di sebelah timur negeri Anqad. Di dalamnya terdapat desa, kebun, dan pertanian.
Di bagian atas tempat mata air Muluk ini terdapat sebuah kota yang bernama Wathatha. Di sanalah Muhammad bin Umar bin Ibrahim bin Umar bin Isa bin Abu al-Wakil mempelajari al-Quran, dan tujuh bacaannya, beserta riwayatnya, la juga mendalami ilmu agama kurang lebih selama lima belas tahun. Kota itu masih dipenuhi keberkahan, sehingga setiap penuntut ilmu meminum air dari mata airnya.
Di negeri Anqad ini terdapat penduduk yang banyak sekali. Tetapi sebagian besar penduduknya adalah suku badui (pedalaman). Setiap orang dari mereka membawa makanan pokok kabilahnya di atas unta. Pada unta itu terkadang diletakkan persediaan makanan pokok kabilahnya selama setahun. Kebiasaan mereka pada hari-hari dan bulan-bulan tertentu adalah pergi ke padang rumput.
Di antara negeri ayah-ayahku ini dan kota Fas terdapat sungai Mallawiyyah. Pada bagian belakang sungai itu yang mengarah kepada kota Fas, ada pula sebuah kota yang bernama Tazah. Di sekeliling kota itu terdapat gunung-gunung, kebun-kebun. Di antaranya adalah gunung Baranis, Bani Hamid dan gunung ar-Ra’su yang bersambung dengan gunung Bani Hamid. Begitu pula terdapat gunung Ghimarah dan lain-lainnya. Penghuninya adalah sekelompok umat yang dirahmati dan memiliki keyakinan agama islam yang kuat. Segala puji bagi Allah atas semua ini.
Maka begitulah, aku tinggal di negeri Anqad di tengah-tengah keluargaku hingga aku berumur dua puluh tahun. Pada saat itu bertepatan dengan tahun delapan puluh empat atau delapan puluh lima di abad kesepuluh. Aku tinggal di salah tempat di negeri Anqad ini, pergi dan pulang dari kota itu ke kota Wahdah. Di sana terdapat asy-Syaikh Musa al-Wahidiy yang menggembalakan ternaknya di antara negeri kami hingga negeri Talmasan. Terkadang aku harus bolak-balik dari kotaku menuju kepadanya untuk mempelajari al-Quran.
Di sana juga terdapat kabilah yang disebut dengan anak-anak Isa dan anak-anak Zain. Mereka adalah dua kabilah yang memiliki hubungan sebagai sepupu, namun keduanya saling berperang di kota itu. Peperangan dan perdamaian kerap kali terjadi di antara mereka seperti yang terjadi di antara anak-anak Thalhah bin Ya’qub dan anak-anak Musa bin Thalhah. Musa memiliki anak bernama Abdullah, Ahmad, dan Aisyah. Mereka adalah saudara sekandung. Lalu ia memiliki anak-anak dari istri yang lain bernama Abdul malik, Madhfar, dan Manshur. Mereka semua saling berperang, hingga peperangan itu berkembang di negeri Anqad. Setiap orang di kota itu mendukung salah satu dari anak Thalhah bin Ya’qub. Anak-anak Abdullah bin Musa, Ahmad bin Musa, dan Aisyah binti Musa, mereka berkelompok sendiri dan memiliki kekuatan di kota Fas. Sedangkan saudara mereka anak-anak Abdulmalik bin Musa, dan Manshur bin Musa, memiliki kekuatan di kota Fas juga. Demikian pula saudara mereka yang merupakan anak-anak Abdulmalik, anak-anak Madhfar bin Musa dan Manshur bin Musa, mereka berkelompok sendiri dan memiliki kekuatan di Talmasan dan Masyariq.
Begitulah fitnah ini tersebar di antara kabilah. Setiap mereka memiliki kefanatikan terhadap kabilahnya, hingga masalah ini melebar menjadi masalah yang tidak ada yang dapat memecahkannya kecuali Allah.
Sedangkan keluarga kami, keturunan Abu al-Wakil di kota ini, adalah mereka yang bernasab kepada Isa bin Abu al-Wakil. Para pendahulu kami yang hidup sebelum Abu al-Wakil tidak tinggal di negeri ini. Sebab negeri kami yang sebenarnya adalah setelah pindahnya al-lmam Muhammad bin Idris bin al-lmam Idris ke as-Sus, yaitu sebuah negeri yang terletak di belakang kota Fas. Dulu kakek kami Muhammad bin Idris adalah raja di negeri as-Sus. Sebagai seorang raja yang adil, beliau meletakkan hukum-hukum Allah di negeri itu. Beliau memiliki sifat seperti yang disebutkan oleh datuknya al-lmam Idris al-Akbar pada khutbahnya yang telah disebutkan dalam pembahasan yang lalu. Beliau juga menebarkan dakwah di Maroko. Lalu kerajaan itu berkembang hingga zaman Abu al-Wakil. Di ujung kota Fas ini, di sekitar sungai yang bernama Ummu Rabi’, terdapat desa khusus yang dihuni oleh anak-anak Abu al-Wakil.
Dalam tarikh para pendahulu disebutkan bahwa, sebab bepindahnya beliau (Isa bin Abu al-Wakil) ke daerah ini (Anqad), adalah saat wafatnya datuk kami Abu al-Wakil. Pada saat itu anaknya yang bernama Isa diberinya seekor kuda, namun saudaranya meminta pemberian itu kepadanya sebagai warisan. Dia tidak memberikannya sebab itu adalah pemberian ayahnya untuknya. Lalu ia pergi meninggalkan saudaranya menuju ke negeri Anqad. Menurutku, ia sebenarnya tidak menginginkan tinggal di kota itu tetapi semata-mata hanya karena marah terhadap keluarganya. Namun kehendak Allah Swt menetapkannya di daerah itu dan menikah dengan wanita di daerah itu, sehingga memiliki dua orang anak yaitu Yahya dan Umar bin Isa yang merupakan keturunan Abu al-Wakil. Setelah wafat ayah mereka Isa, maka kedua anak tersebut, yakni Yahya dan Umar tetap tinggal di daerah itu dan keberkahan mereka tampak di sana kerena mereka menempuh jalan datuk mereka Abu al-Wakil. Pada zamannya, Abu al-Wakil termasuk seorang guru besar yang masyhur serta memiliki keberkahan. Tampaklah pada dirinya banyak keistimewaan. Sejarah beliau dikenal oleh para ahli sejarah di zamannya, sehingga keturunan beliau di Maroko menjadi orang-orang yang dihormati hingga saat ini.
Kabar tentang anak-anak Isa bin Abu al-Wakil -Yahya dan Umar-tersiardi mana-mana. Mereka berdua termasuk orang-orang yang memiliki kekuasaan di masa para penguasa Talmasan dan sekitarnya. Lalu, dengan harga yang cukup, mereka membeli dari kabilah Mutha’ daerah al-Faidhah berserta isinya termasuk perkebunan, pohon-pohonnya beserta beragam manfaatnya di antara perbatasan, sebagaimana diketahui oleh para kabilah. Maka kedua anak sekandung Isa bin Abu al-Wakil, Yahya dan Umar itu menjadi lebih dikenal dari saudara-saudaranya seayah dan seibu.
Ketika masa kerajaan kabilah Abdulmu’min selesai, kabilah Murayyan tampil sebagai pengganti. Mereka memberikan kepada Yahya dan Umar bin Isa bin Abu al-Wakil emas sebesar satu sha’ atau empat raupan di setiap tahun pada Asyura, sapi, serta satu wasaq gandum atau enam puluh sha’ (24 raupan). Semua itu disebabkan jasa mereka terhadap negeri Anqad. Maka di situlah akhirnya para pendahulu kami menetap, sampai di zamanku, yaitu di tahun empat puluh delapan dari abad kesepuluh. Setiap orang di antara kami memiliki tempat khusus dan dikenal oleh siapapun.
Begitulah kami, keturunan Abu al-Wakil terbagi menjadi beberapa keluarga; keluarga kami yaitu keluarga Isa bin Abu al-Wakil, dan keluarga Umar bin Isa bin Abu al-Wakil. Kita memiliki saudara sepupu dari anak-anak Yahya bin Ibrahim, dan anak-anak Ya’qub bin Ibrahim di negeri Anqad. Kita juga memiliki keluarga di gunung al-Hanasy yang datuk mereka adalah Muhammad bin Abu Wakil. Begitu pula yang terdapat di desa, yaitu anak-anak Umar bin Abu al-Wakil. Dan aku mendengar salah satu dari keturunan Abu al-Wakil terdapat di Masyariq di daerah kami atau Isybiliyah atau Tunisia. Begitulah daerah para pendahuluku. Di sanalah aku tumbuh, dan di antara merekalah aku mondar-mandir hingga aku mencapai usia dua puluh tahun.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim