Pada tahun delapan puluh empat atau lima, aku tergerak untuk mencari ilmu, memperoleh manfaat dari lisan orang-orang yang berkedudukan di sisi Allah, begitu pula membaca al-Quran di hadapan mereka. Aku telah menimba ilmu al-Quran dari orang-orang yang belajar al-Quran kepada para penghafal al-Quran yang terkenal. Maka aku melakukan perjalanan ke kota as-Salam di Fas. Pada waktu itu umurku dua puluh satu tahun, saat kondisiku telah matang dan bertanggung jawab. Sebab itu nama al-Fasiy telah mempengaruhi diriku karena aku tinggal di kota Fas dan tempat itu adalah tempat tinggal para pendahuluku yang bernasabkan kepada al-lmam Idris. Di kota ini mereka mendalami imu agama dan menetap di sana, termasuk para ulama dan penuntut ilmu, dijuluki dengan al-Fasiy.
Aku membaca di beberapa buku tarikh tentang penamaan kota ini dengan nama Fas. Disebutkan bahwa ketika asy-Syarif Idris mendirikan kota ini, beliau menemukan banyak kayu pada pondasinya. Maka beliau berkata,”Berilah kota ini nama Fas (kayu).” Kota ini memiliki daerah dan kekuasaan terhadap wilayah-wilayah disekitarnya yang merupakan daerah bagian Maroko dan saling bersambungan.
Aku tinggal di tempat-tempat pembelajaran di kota itu, dan mondar-mandir di antara kota itu dengan kota Maknas, yaitu kota yang terletak di belakang kota Fas dan berjarak kurang lebih satu marhalah. Di antara kedua kota itu terdapat daerah-daerah yang ditinggali oleh banyak ulama yang bermanfaat.
Aku belajar di madrasah Mishbah yang berada di sekitar Masjid Jami’ al-Qarwiyyin. Aku memiliki tempat di bagian atas madrasah itu. Begitu pula tempat untuk kebutuhan makanku yang ada di bagian bawah madrasah itu serta dilengkapi dengan tungku api dan tempat untuk menyalurkan asapnya. Kami, murid di madrasah itu yang mempelajari al-Quran, berjumlah tiga ratus anak. Ustadzku yang mengajarkan al-Quran pada waktu itu adalah asy-Syaikh Ibrahim al-Mamudiy {semoga Allah memberikan manfaat melaluinya, Amin). Lalu aku masuk ke madrasah al-Wadiy di sekitar Masjid Jami’al-Andalus yang terdapat di sekolah. Masjid jami’ yang besar di terdapat di bagian timur kota hingga ke pintu kota al-Futuh. Di sana terdapat makam asy-Syaikh Ali bin Harazim. Terdapat pula pekuburan yang luas tempat para ulama dan guru besar dimakamkan. Di antara mereka yang dimakamkan di tempat itu adalah asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin ‘lbad’s. Pemakaman itu dinamakan Kadyah al-Barathil.
Sekolah ini terdapat di lembah Marshudah yang diperuntukkan bagi para penuntut ilmu yang berasal dari timur kota Fas. Setiap pendatang dari timur kota Fas memiliki tujuan untuk menuntut ilmu. Saat itu masuk di tahun delapan puluh empat atau lima di abad kesepuluh. Umurku di saat itu adalah dua puluh satu tahun. Ustadz yang mengajar di saat itu adalah Abdulqadir. Dialah ustadz yang pertama kali membimbingku di sekolah itu. Beliau berasal dari Masyariq dari kabilah yang terdapat di Talmasan, dari kota al-Jazair yang berjarak sekitar sepuluh marhalah dari Masyariq.
Aku tinggal menuntut ilmu di sekolah ini, dan aku tak pernah meninggalkan negeriku dan negeri para pendahuluku ini kecuali untuk mendalami ilmu agama dan mempelajari al-Quran serta mengambil berkah melalui majelis para ulama dan auliya. Aku tak pernah mengetahui apa yang terjadi di kota tempatku menuntut ilmu ini, apa yang terjadi di pasarnya atau bahkan di jalan-jalan dan pintu masuk kotanya. Kecuali hal-hal yang aku dengar dari murid-murid yang lain. Di kota ini terdapat dua belas madrasah untuk menuntut ilmu, dua belas jalan utama, dan dua belas pintu masuk. Di setiap pintu masuk terdapat seribu tentara. Kadang-kadang aku beranjak dari temanku yang sedang bercerita agar tidak terbawa mencampuri urusan orang lain. Lalu aku berkata kepada mereka yang bercerita kepadaku, “Kita tidak datang dari tanah air kita untuk meninggalkan apa yang diwajibkan bagi orang seperti kita, dan tidak ada ada orang lain yang mendirikannya kecuali kita (yaitu menuntut ilmu). Kita meninggalkan saudara-saudara kita yang menjalankan tugas-tugas kita di tanah air (bekerja mencari nafkah). Lalu bagaimana kita melalaikan sebab Kepergian kita meninggalkan tanah air, keluarga dan ibu?”
Begitulah, aku meninggalkan kota Fas pada tahun sembilan puluh abad ke sepuluh menuju kota Maknas. Aku bertujuan belajar dengan asy-Syaikh Ahmad al-Qanawiy. Beliau adalah seorang imam di Masjid Jami’ an-Najjarin. Sebuah masjid jami’ yang kuno. Dulu di masjid itu terdapat para auliya yang beribadah di sana. Di antaranya adalah asy Syaikh Abu Ya’za (semoga Allah meberikan manfaat melaluinya, Amin). Begitu pula asy-Syaikh Abu Madyan (semoga Allah memberikan manfaat melaluinya, Amin) dan para auliya yang lain. Asy-Syaikh Ahmad al-Qanawiy memperhatikan perasaanku dan bersahabat denganku. Padahal ia tak mengetahui dari mana aku berasal, atau aku seorang syarif (keturunan Nabi Saw) yang menuntut ilmu. Dia juga tak mencari tahu tentang siapa aku, kecuali jika ia telah mengenali kakekku dan tujuan kedatanganku untuk menuntut ilmu. Aku menghafal al-Quran kepadanya. Kadang-kadang beliau memberi uang kepadaku agar aku bisa membeli keperluanku. Aku belajar al-Quran kepadanya dimulai dari bagian akhir dari al-Quran hingga kembali ke awal dan sampai di surat al-Maidah pada akhir bulan Sya’ban. Pada bulan Ramadhan, biasanya beliau akan membagi bacaan al-Quran kepada murid-murid di saat shalat tarawih. Pada empat rakaat tarawih, setiap rakaatnya membaca seperempat atau seperdelapan hizb, sebab satu satu hizb di tempat kami sama dengan setengah juz.Saat itu aku mendapat bagian ayat;
“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari} Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin.” [Qs. al-Maidah [5]: 12)
Dan Bagian akhir Al Maidah, yang artinya;
“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut [kepada Allah] yang Allah telah memberi ni’mat atas keduanya” [Qs. al-Maidah [51:23)
Jumlah ayat yang aku baca itu adalah seperempat hizb. Lalu aku berusaha menghafalkannya dari shalat dhuhur hingga shalat ashar. Saat aku akan membaca hafalanku di hadapan asy-Syaikh Ahmad al-Qanawiy (semoga Allah memberikan manfaat melaluinya, Amin), tanpa kupahami mengapa, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang mengambil hafalanku dari dadaku sehingga lisanku menjadi berat tanpa ada gejala penyakit fisik. Kejadian itu menjadikan aku gundah hingga bumi terasa sempit bagiku. Aku mengadu kepada asy-Syaikh Ahmad tentang apa yang terjadi pada diriku, dan aku ceritakan bahwabiasanyaakutidakmengalami seperti yang aku alami saat aku tak dapat menggerakkan lisanku. Asy-Syaikh Ahmad telah mengetahui bahwa apa yang terjadi pada diriku adalah ketetapan yang di langit, dan memerintahkanku agar bersabar. Beliau berkata kepadaku,”Pintu kebaikan ada banyak (bukan hanya menghafal al-Quran).” Ucapan beliau ini justru menambah sakit batinku, hingga aku takut.
Pada waktu itu salah satu sepupuku dari keluarga ayahku belajar al-Quran bersamaku sejak bulan Rajab. Namanya adalah Abdullah bin Umar. Sedangkan sepupuku dari keluarga ibuku telah lebih dulu belajar, yaitu semenjak beberapa tahun sebelumku di daerah yang termasuk wilayah Maroko. Ketika ia mengetahui tentang pindahnya aku ke kota Fas, maka ia datang ke kota itu. Saat ia tak menemukanku di madrasah al-Wadiy, orang-orang memberitahukan kepadanya bahwa aku telah pergi ke Maknas dan belajar kepada asy-Syaikh Ahmad al-Qanawiy. Maka ia pun pergi ke Maknas dan mendapatiku seperti yang disampaikan oleh orang-orang di madrasah al-Wadiy. la bersamaku saat aku tertimpa kondisi yang menyakitkan batinku ini, dan merasakan kepayahan yang aku rasakan. Saat itu aku rapuh, hingga sering menangis saat orang berbicara kepadaku.
Begitulah kondisiku hingga sampai di hari pertama bulan Ramadhan. Dalam kondisi seperti itu tidak ada seorang guru pun di Maroko yang terlintas di hatiku yang dapat menolongku kecuali seorang syaikh (Abu ath-Thib) yang tinggal di ‘Uluwwyi di dekat sungai Mallawiyyah yang telah kuceritakan. Aku pernah mengunjunginya sebelumnya bersama beberapa penuntut ilmu dan meminta doa kepadanya agar mendapat perlindungan dalam perjalanan kami mendalami ilmu agama dan menghafal al-Quran. Maka aku ingin pergi mendatangi asy-Syaikh Abu ath-Thib. Aku tidak ingin memberitahukan keinginanku kepada sepupu dari keluarga ayahku, karena aku takut ia akan menghambat perjalananku. Hal ini disebabkan jarak perjalanan yang sangat jauh dan membahayakan jiwa karena harus melewati beberapa lembah sehingga memakan waktu berhari-hari di musim dingin dan di perjalanan terdapat binatang buas yang memangsa manusia. Maka jika kita mendapatinya, kita harus berkelahi untuk mencegahnya memangsa kita. Maka aku mengelabui sepupuku itu dengan mengatakan kepadanya bahwa aku hanya akan berziarah ke kubur asy-Syaikh Abdullah bin Ahmad yang terdapat di Maknas. Aku berbicara kepadanya setelah shalat subuh sebelum sinar matahari memancar. Padahal sebenarnya aku ingin pergi mengunjungi asy-Syaikh Abu ath-Thib.
Pada masa itu di kota Maknas terdapat seorang yang bernama Yusuf ad-Dadasiy dari daerah Dadas yang terletak di sebelah barat kota Maknas. la seorang yang dikuasai oleh jadzad dan mengalami penyingkapan-penyingkapan spiritual serta ucapan yang mustajab. Sehingga siapa yang memiliki hajat yang tak dapat dicapai lalu datang kepadanya, kemudian bernazar, maka hajatnya akan terwujud. Terdapat cerita tentang beliau dan para penguasa di zaman itu. Pastilah Allah mengetahui dan menolong mereka yang memiliki kedudukan di sisi-Nya dan bagi siapa yang dikehendaki untuk ditolong-Nya dan melenyapkan penguasa. Mereka para penguasa itu menghukum beliau dengan cara yang malampaui batas, hingga disebutkan mereka melempar beliau ke dalam api. Namun beliau keluar dari api itu dalam keadaan selamat, tak terbakar.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim