‘A’isyah r.a. menyadari, baik suaminya maupun semua pria Arab dari kabilah apa pun, sangat kuat keinginannya mempunyai anak lelaki. Makin banyak anak lelaki yang dilahirkan oleh istrinya, mereka makin bangga. Perasaan yang selalu menyesakkan dada ‘A’isyah r.a. itu ditambah lagi oleh kenyataan yang dilihatnya sendiri, bahwa suami yang dicintainya itu malah tampak lebih condong kepada putri-putri Khadijah daripada kepada dirinya, terutama kecondongan beliau kepada Siti Fathimah Az-Zahra r.a. Betapapun berat perasaan yang menumpuk di dalam dada, namun ‘A’isyah r.a. dapat menahan kesabarannya, karena ia tahu bahwa suaminya adalah seorang Nabi dan Rasul yang dicintai dan diimaninya sepenuh hati. Sesungguhnya jika ‘A’isyah r.a. dengan hati jernih memandang putri-putri suaminya sebagai anak angkat tentu mereka tidak sukar memandangnya sebagai pengganti ibu yang sudah lama wafat. Akan tetapi untuk bersikap demikian itu ‘A’isyah r.a. menghadapi beberapa kesukaran pada dirinya sendiri. Pertama, usianya yang sebaya dengan usia putri bungsu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan lebih muda daripada dua orang putri beliau, Ummu Kaltsum dan Zainab— radhiyalldhu ‘anhuma. Kedua, ‘A’isyah r.a. sukar sekali melupakan kenyataan bahwa putri-putri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam itu dilahirkan oleh Khadijah, yang walau telah wafat masih tetap menawan hati suaminya. ‘A’isyah r.a. memandang mereka itu sebagai darah-daging Khadijah r.a. Bayangan wajah Khadijah r.a. yang terpantul pada wajah mereka selalu membangkitkan perasaan pahit akibat kemandulannya sendiri hingga sukar mengharap akan dapat melahirkan anak.
Untuk meringankan kepahitan itu ‘A’isyah r.a. menoleh kepada anak-anak saudara perempuannya sendiri, Asma, istri Zubair bin Al-Awwam. Anak lelaki Asma yang bernama Abdullah bin Zubair oleh ‘A’isyah diambilnya sebagai anak angkat, karena itulah ia dikenal juga dengan nama “Ummu Abdullah”.[1] Setelah saudara lelakinya, Abdurrahman bin Abu Bakar wafat, ‘A’isyah r.a. mengambil anak lelakinya yang bernama Al-Qasim dan adiknya yang masih bayi. Karena itulah dalam sebuah riwayat Al-Qasim pernah menyatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang ibu yang kebaikannya melebih dia!”
Demikianlah cara ‘A’isyah r.a. menghibur keparahan hati akibat kemandulannya. Ia mengerti benar bahwa tempat yang diperolehnya dalam hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak setinggi yang diperoleh Khadijah r.a. Meskipun ia tahu bahwa kecintaan beliau kepadanya tidak sedalam yang ditumpahkan kepada Khadijah r.a., ia merasa puas juga dengan harapan akan dapat melupakan seorang madu yang telah lama wafat.
[1] Penggunaan nama panggilan itu seizin Rasulullah saw. (Al-hti’ab: IV/1883).
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini