Mengenai pertemuan pertama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan istrinya, ‘A’isyah r.a., beberapa buku riwayat menceritakan tutur ‘A’isyah r.a. sebagai berikut, “Pada suatu hari di saat aku sedang bermainan ayunan datanglah ibuku mendekat. Aku diturunkan, kemudian rambutku dirapikan, dan mukaku dibersihkan dengan air. Setelah itu aku digandeng berjalan hingga di pintu. Ibuku berhenti dan aku pun bingung ketakutan. Ibu lalu mengajakku masuk ke dalam sebuah ruangan, di sana kulihat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sedang duduk di atas tempat tidur, kemudian ibu mendudukkan aku di dalam ruangan itu sambil berucap, ‘Beliau itulah keluargamu, semoga Allah melimpahkan berekah kepada kalian.’[1] Tidak berapa lama sesudah itu kulihat orang-orang yang mengantar beliau ke rumahku beranjak meninggalkan tempat…. Ketika itu aku seorang gadis remaja…. Masuklah seorang ke dalam ruangan membawa sewadah susu. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam minum lebih dulu, lalu diberikan sisanya kepadaku. Kuterima wadah susu itu dengan perasaan malu, kemudian isinya kuminum.
‘A’isyah r.a. seorang pengantin yang manis, bertubuh ramping, dua belah matanya bulat lebar, berambut ikal (keriting), berwajah cerah, kulitnya putih kemerah-merahan. Beberapa hari kemudian ia pindah ke rumah yang baru. Rumah yang baru itu, yakni tempat tinggal Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, bukan lain hanya sejumlah ruangan yang dibangun menghadap masjid, terbuat dari kayu dan pelepah kurma. Di dalamnya terdapat sebuah alas tidur terbuat dari kulit berisi serabut pohon kurma, terbentang di atas tanah dan hanya beralas tikar. Pintu ruangan yang menghadap ke arah halaman masjid itu hanya ditutup dengan tenunan bulu domba.
Di dalam rumah amat sederhana itulah ‘A’isyah r.a. memulai kehidupan rumah tangganya bersama seorang Nabi dan Rasul. Di dalam rumah yang sangat minimum itulah ‘A’isyah r.a. melukis sejarah hidupnya hingga zaman kita dewasa ini dan zaman-zaman berikutnya. Di dalam rumah yang sukar dibayangkan oleh manusia masa kini itulah ‘A’isyah r.a. menempatkan dirinya di tengah kehidupan keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan di tengah perjuangan menegakkan kebenaran agama Allah, Islam.
Keberadaan Saudah di dalam rumah tangga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sebagai istri kedua sesudah Khadijah r.a., sedikit atau banyak terasa merisaukan hati ‘A’isyah r.a., tetapi ia yakin bahwa Saudah r.a. tidak beroleh tempat di dalam hati suaminya. Yang benar-benar merisaukan hati ‘A’isyah ialah kecintaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang sangat mendalam kepada istri beliau pertama yang telah wafat, yaitu Siti Khadijah r.a. Kecintaan yang selama lebih dari seperempat abad dipupuk oleh Khadijah r.a. di dalam lubuk hati beliau. Kadang-kadang ‘A’isyah r.a. tidak dapat menahan emosinya bila ia melihat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa hati suaminya tidak pernah kosong dari Khadijah r.a., sekalipun ‘A’isyah tahu benar bahwa Khadijah r.a. berbaring di bawah tanah di tempat yangjauh dari Madinah, yaitu Makkah. Kebanggaannya sebagai gadis satu-satunya yang menjadi istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak dapat meredam gejolak perasaannya bila mendengar nama “Khadijah” disebut-sebut oleh suaminya dalam pembicaraan.
‘A’isyah r.a. telah berusaha sekuat mungkin untuk melupakan istri suaminya yang telah wafat itu, tetapi entah mengapa bayangan Khadijah r.a. selalu tampak di pelupuk mata, seolah-olah sedang menatapkan pandangan matanya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ‘A’isyah r.a. tidak mengerti mengapa nama “Khadijah” tidak dapat hilang sama sekali dari tutur kata beliau; suaranya tidak dapat lenyap dari telinga beliau dan kenangan indah yang ditinggalkannya tidak terlupakan oleh beliau sepanjang hidup! Lebih kesal lagi hatinya karena bertahun-tahun ia hidup dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, tetapi tidak melahirkan seorang anak pun; sedangkan Khadijah r.a. yang olehnya sering disebut “nenek tua” dapat melahirkan beberapa orang anak.
[1]As-Samthuts-Tsdmin: 22, Tarikh (Ath-Thabarly): III/176, Wafaul-Wafa: 1/260 dan buku-buku lain, dengan kelainan redaksi di sana-sini. Juga terdapat di dalam Shahih Muslim (Kitabun-Nikah: 1442).
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini