Belum lama ia merasa tenang, tidak terguncang lagi setiap hari oleh perasaan sendiri sebagai wanita mandul, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan istri Nabi yang baru, yaitu Hafshah binti ‘Umar bin Al-Khaththab r.a. Ia menempati ruangan di sebelah ruangan ‘A’isyah r.a. dan ruangan Saudah r.a. Seorang madu baru yang akan menyertai kehidupan rumah tangga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam siang dan malam.
‘A’isyah r.a. tidak dapat mengerti mengapa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memadunya dengan istri yang lain lagi, padahal dengan Khadijah r.a. dahulu—hingga saat ia wafat—beliau tidak pernah memadunya, meski usianya sudah mencapai 65 tahun! Yang lebih sukar dimengerti oleh ‘A’isyah r.a. ialah mengapa terhadap Khadijah dahulu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak berbuat sesuatu yang dirasakan pahit getir seperti yang dirasakannya?
‘A’isyah bukan hanya dimadu dengan Saudah dan Hafshah—radhiyalldhu ‘anhuma—saja, tetapi masih terus dimadu juga dengan istri-istri beliau yang lain sehingga mengisi sembilan ruang permukiman yang tersedia. Mereka yang berdatangan sesudah ‘A’isyah r.a. ialah: Zainab binti Jahsy, seorang janda muda rupawan; Ummu Salamah binti Abu Umayyah, janda pejuang bekas istri pejuang yang mati syahid; Juwariy-yah binti Al-Harits, wanita yang banyak menarik pandangan mata pria karena kemanisan wajahnya; Shafiyyah bin Huyaiy, wanita Yahudi yang lemah gemulai; dan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, putri seorang pemimpin Quraisy dan panglima perangnya. Paling belakangan menyusul Mariyah Al-Qibthiyyah, wanita Mesir berparas menarik dan yang kemudian melahirkan Ibrahim bin Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam (wafat setelah berusia beberapa bulan). Selain para istri beliau yang berjumlah delapan orang itu (tidak termasuk Khadijah r.a. yang telah wafat) masih terdapat seorang jariyah bernama Raihanah binti Amr, seorang wanita dari Bani Quraidzah. Kendati ia bukan istri Nabi, selama Nabi masih hidup ia mendampingi beliau dan berada di bawah naungannya.
Kenyataan tersebut tentu saja membuat dada ‘A’isyah r.a. terasa sesak setiap hari dan setiap saat. Akan tetapi bukan itu yang paling pahit dirasakan. Yang terpahit dan paling membuatnya sedih dan gun-dah-gulana ialah suratan takdir yang menentukan ia tak dikaruniai anak. Nama panggilan “Ummu ‘Abdullah” (Ibu Abdullah) dan kedudukannya sebagai Ummul-Mukminin (ibu kaum beriman) tidak meredam keinginannya yang terus-menerus membakar perasaannya untuk melahirkan anak dari suami yang dicintainya. Karena itu merupakan kebahagiaan tersendiri dalam kehidupan setiap keluarga.
Pada mulanya ‘A’isyah r.a. memang tidak mengerti mengapa ia mengalami suratan takdir yang malang itu. Lain halnya istri-istri Nabi yang lain, mereka dapat mengerti bahwa setiap pernikahan beliau dengan seorang wanita adalah terdorong oleh suatu keperluan dan hikmah tertentu, tidak semata-mata karena dorongan naluri beliau sebagai manusia. Meskipun ‘A’isyah r.a. tahu benar bahwa dirinya adalah seorang istri yang dicintai suaminya lebih dari yang lain dan dialah yang paling “manja” dalam pandangan suaminya, tetapi apakah itu semua dapat membuatnya merasa tenteram, puas, dan berserah diri?
Tidak! Ia berusaha sekuat-kuatnya agar para istri Nabi yang lain tidak dapat menempati kedudukan di dalam hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Dengan kewanitaannya, dengan kecerdasannya, dan dengan kemudaannya ia berusaha keras agar mereka menempati kedudukan di dalam hati beliau tidak melebihi porsi yang ia tentukan sendiri. Usaha ‘A’isyah itu dipermudah oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sebagai manusia yang tidak mungkin dapat melepaskan diri dari kemanusiawiannya; dan beliau pun tidak dapat memaksa ‘A’isyah r.a. atau istri-istri yang lain supaya masing-masing melepaskan naluri kemanusiawiannya. Karena itu, baik ‘A’isyah maupun istri-istri Nabi yang lain, semuanya hidup sesuai dengan fitrah kewanitaannya masing-masing. Tegasnya adalah, sebagai para istri yang dimadu mereka tidak dapat menghilangkan perasaan cemburu yang menyelinap di dalam jiwanya masing-masing.
Dan di antara para istri Nabi yang paling besar kecemburuannya ialah ‘A’isyah r.a. Ia terus-menerus berjuang untuk dapat memonopoli.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini