kecintaan beliau. Ia mempunyai alasan yang dianggap kuat dan wajar. Pertama, ia istri pertama sesudah Khadijah r.a. yang membuka hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Kedua, ia gadis satu-satunya yang dinikah oleh beliau. Ketiga, ia putri sahabat Nabi yang terkemuka, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.! Ia memandang para madunya dengan ukuran yang ada pada dirinya sendiri. Ia berusaha keras agar masing-masing dari mereka itu menyadari dari mana Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengambil mereka!
A’isyah r.a. memang seorang wanita muda yang lincah dan cerdas. Untuk melampiaskan kecemburuannya terhadap istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang lain ia berhasil menarik Hafshah binti ‘Umar sebagai kawan dalam hal itu. Di antara para istri Nabi yang lain, Hafshah r.a. adalah yang terdekat hubungannya dengan ‘A’isyah r.a. Mungkin disebabkan oleh eratnya hubungan antara kedua ayah mereka. Hafshah r.a. menyambut baik ajakan ‘A’isyah r.a. Ia memang memiliki sifat-sifat pemberani dan tidak kurang lincahnya dibanding ‘A’isyah r.a. Kepada Hafshah r.a. ‘A’isyah mempercayakan rahasia naluri kewanitaannya.
Pada suatu hari, ketika ‘A’isyah r.a. mendengar kabar tentang pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Ummu Salamah r.a. ia meneruskan kabar itu kepada Hafshah. Begitu besar kecemburuan ‘A’isyah r.a. setelah banyak orang mengatakan, bahwa Ummu Salamah seorang wanita rupawan. Hafshah tidak seberapa cemburu, karena ia tahu bahwa sekalipun Ummu Salamah itu rupawan, tetapi ia seorangjanda yang agak tua. Menurut Hafshah, kecantikan Ummu Salamah tidak lama lagi akan segera layu dan pudar. Karenanya, terlalu cemburu kepadanya adalah sikap yang tidak pada tempatnya. ‘A’isyah r.a. dapat menerima pendapat Hafshah r.a. tersebut dan merasa agak tenang.
Beberapa lama kemudian ‘A’isyah r.a. mendengar lagi bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menikah dengan Zainab binti Jahsy. Ia siap-siap dengan rencana tertentu menjelang kedatangan Zainab. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengumumkan bahwa pernikahannya dengan Zainab r.a. merupakan perintah wahyu (untuk meniadakan sistem pengangkatan anak atau adopsi), ‘A’isyah r.a. meronta hingga mengucapkan kata-kata, “Kukira Allah hanya hendak memacu nafsu Anda!” Jelas, ucapan seperti itu memperlihatkan betapa hebat ledakan dalam dada ‘A’isyah r.a. akibat kecemburuannya….
Pada suatu hari ‘A’isyah r.a. bersama Hafshah r.a. mengamat-amati istri Nabi yang baru, Zainab binti Jahsy r.a. Kedua-duanya menghitung-hitung waktu berapa menit dan berapa detik Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berada di tempat Zainab. Setelah dirasa terlalu lama ‘A’isyah r.a. mencari akal bagaimana cara menjauhkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dari Zainab r.a. Dalam usaha mencari cara itu ia bersepakat dengan Hafshah dan Saudah untuk menanyakan sesuatu kepada beliau pada saat giliran masing-masing tiba. Pertanyaan yang akan diajukan kepada beliau adalah sama, yaitu apakah beliau habis makan maghafirV0 Ketika tiba giliran ‘A’isyah, beliau ditanya, “Apakah Anda habis makan maghafir?” Demikian juga yang ditanyakan oleh Hafshah r.a. pada saat gilirannya tiba. Begitu juga Saudah. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam selalu menjawab tidak, karena beliau memang tidak mau makan apa saja yang berbau tidak sedap dan menyengat hidung. Bawang pun beliau tidak suka. Kepada Saudah beliau menjawab, “Zainab memberi minuman madu kepadaku.” Dengan gaya orang yang berpengalaman tinggal di daerah-daerah pegunungan, Ummu Salamah menanggapi jawaban beliau, “Barangkali lebahnya bergerumut di pohon ‘irfithl”[1] Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak menjawab. Beliau hanya tidak lagi mau minum madu di kediaman Zainab r.a. Ketika Saudah mengetahui hal itu ia menyesal, lalu berkata kepada ‘A’isyah dan Hafshah, “Subhanallahl Kita telah membuat beliau tidak mau minum madu!”
Peristiwa tersebut oleh sementara ulama dipandang sebagai sebab turunnya ayat At-Tahrim:
يا يها النبي لم تحرم ما احل الله لك تبتغي مرضات ازواجك
Hai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu (hanya) karena engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? (QSAt-TahrIm: 1)
Bahkan ‘A’isyah r.a. dengan kecerdasan dan kelihaiannya dapat menggagalkan pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan seorang wanita dari Bani Kindah bernama Asma binti Nu’man bin Al-Aswad Al-Kindiyyah Al-Jauniyyah. ‘A’isyah r.a. sangat cemburu karena ia merasa kalah cantik. Seusai ijab-kabul ‘A’isyah r.a. bersama dua orang “kawan”-nya (Hafshah dan Saudah) merencanakan tipu daya agar Asma binti Nu’man dipulangkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam kepada orang tuanya. ‘A’isyah r.a. memanggil Hafshah lalu diminta kesediaannya memberi tahu Asma binti Nu’man, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam senang sekali jika datang kepada istrinya disambut dengan ucapan a’udzu billdh. Hafshah melaksanakan apa yang dikehendaki oleh ‘A’isyah r.a. Ia mendatangi Asma lalu berpesan supaya tidak lupa mengucapkan kata-kata itu pada saat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memasuki kediamannya. Asma sebagai orang baru tidak mempunyai prasangka buruk, karena itu bersedia melaksanakan “petunjuk” yang diberikan oleh Hafshah. Begitu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memasuki kediamannya, dengan wajah berseri-seri Asma berucap, “A’udzu billdhl” Jelas ucapan seperti itu menusuk hati beliau, oleh sebab itu beliau sambil membuang muka berkata, “Engkau sudah mohon perlindungan kepada Allah…!” Seketika itu juga beliau pergi meninggalkan Asma, membatalkan pernikahannya, dan menyuruh salah seorang sahabatnya supaya menyerahkan pemberian tertentu (mut’ah) kepada Asma dan mengantarkannya pulang ke rumah orang tuanya. Ayah Asma datang kepada beliau dengan maksud hendak mengembalikan putrinya. Kepada beliau ia menceritakan bahwa apa yang dilakukan oleh Asma adalah petunjuk yang diberikan oleh beberapa orang istri beliau. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sambil tersenyum menjawab, “Mereka memang sama dengan perempuan-perempuan (pada zaman) Nabi Yusuf. Tipu daya mereka sungguh luar biasa hebatnya!” Beliau tidak mau lagi mendekati Asma, karena sudah menyatakan mohon perlindungan kepada Allah dari beliau. Dengan kegagalan Asma menjadi istri beliau, ‘A’isyah dan istri-istri Nabi yang lain “selamat” dari saingan berat!
Riwayat tersebut cukup terkenal, tetapi sebagian ulama ahli hadis menolak kesahihannya atas dasar alasan, bahwa tidak mungkin Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memutuskan hubungan perkawinan hanya karena salah paham mengenai perkataan yang diucapkan dengan maksud menggembirakan beliau.
[1]Jenis pepohonan yang baunya berbau busuk.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini