Mariyah Al-Qibthiyyah juga mengalami kepahitan akibat kecemburuan para istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang lain, khususnya ‘A’isyah r.a. dan Hafshah r.a. Pada mulanya ‘A’isyah memang tidak menghiraukan Mariyah karena ia tidak lebih hanya seorang wanita yang dihibahkan oleh penguasa Mesir, Muqauqis kepada Nabi. Toh ia tidak akan beroleh kedudukan sebagai Ummul-Mu’minin. ‘A’isyah tampak acuh tak acuh dan Mariyah dianggap tidak akan dapat menyainginya, lebih-lebih lagi karena Mariyah ditempatkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam di pinggiran kota Madinah. Akan tetapi setelah ‘A’isyah mengetahui bahwa Mariyah hamil, darahnya menjadi panas seakan-akan membakar jantungnya. Kecemburuan dan kemarahannya muncul kemudian merencanakan cara-cara untuk menjauhkan Mariyah dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam
Pada suatu hari Mariyah hendak bertemu dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang ketika itu sedang berada di kediaman Hafshah r.a. Ia menuju ke rumah Hafshah dan bertemu dengan beliau di sana, karena ia diberi tahu oleh salah seorang istri beliau, bahwa Hafshah sedang pergi menjenguk ayahnya, ‘Umar bin Al-Khaththab r.a. Di saat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sedang bercakap-cakap dengan Mariyah r.a. di dalam rumah, datanglah Hafshah. Karena ia melihat Rasulullah bersama Mariyah sedang berada di kediamannya, ia tidak terus masuk ke dalam. Beberapa saat ia menunggu di luar. Dengan perasaan gundah ia menghitung-hitung waktu yang terasa makin lama. Setelah Mariyah keluar barulah ia masuk dan dengan hati panas membara menangis tak henti-hentinya hingga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berkata, bahwa beliau tidak lagi akan mendekati Mariyah. Ucapan beliau itu oleh Hafshah dianggap sebagai janji, karenanya ia merasa lega dan berhenti menangis. Menurut Ath-Thabariy peristiwa itulah yang menjadi sebab turunnya lima ayat pada bagian pertama Surah At-Tahrim dalam Alquran.
Meskipun Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam telah minta kepada Hafshah supayaja-ngan membicarakan kejadian itu kepada siapa pun, tetapi ia tidak dapat menyimpan “rahasia”, lalu memberitahukannya kepada ‘A’isyah. Dengan demikian seolah-olah Hafshah menyiram api dengan minyak, kecemburuan ‘A’isyah r.a. memuncak terhadap suaminya. Kejengkelan, kekesalan, keresahan, iri hati, dan kekecewaan semua tertumpah kepada Mariyah r.a. Itu dapat dimengerti, karena ‘A’isyah r.a. dan para istri Nabi yang lain menyaksikan Mariyah dalam waktu tidak lama lagi akan melahirkan putra Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Sedangkan tak seorang pun dari mereka yang dikaruniai kehormatan seperti itu. Mariyah r.a. tetap mereka pandang sebagai seorang jariyah, lagi pula bukan wanita Arab, tetapi dengan melahirkan putra Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ia akan beroleh kedudukan istimewa dalam kehidupan rumah tangga beliau. Itulah yang mereka khawatirkan dan cemaskan. Dengan berbagai cara yang baik beliau seda-pat mungkin mendinginkan kepanasan hati mereka sesuai dengan kadar gejolaknya masing-masing, akan tetapi sebagai wanita mereka tidak dapat menghilangkan naluri yang sudah menjadi fitrah kaum Hawa.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini