Setelah beliau merasa cukup banyak waktu terbuang sia-sia untuk meredakan kecemburuan para istrinya, dan beliau merasa tidak dapat berbuat terhadap mereka lebih daripada yang sudah beliau lakukan, akhirnya beliau mengambil keputusan hendak menjauhkan diri dari mereka semua. Keputusan tersebut beliau beritahukan kepada mereka dan dengan terus terang menyatakan ingin beroleh ketenangan dalam melaksanakan tugas kewajiban yang jauh lebih besar ….
Kaum Muslimin mendengar berita tentang sikap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam terhadap para istrinya menanggapi dengan berbagai pendapat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau menceraikan istri-istrinya. Mendengar keputusan Nabi mengenai itu para istri beliau yang semulanya banyak ulah berbalik menjadi diam, sedih, dan menyesal karena mereka sadar telah terbuat sesuatu terhadap Nabi melebihi batas yang semestinya. Mereka insyaf bahwa hari depan mereka tidak akan lebih baik jika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak memaafkan mereka dan Allah tidak berkenan melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka …. Hanya ‘A’isyah r.a. sajalah yang karena tidak dapat menahan kepedihan hatinya yang terobek-robek, ia tidak merasa perlu mempedulikan kemarahan suaminya. Namun ia tidak tega melihat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam hidup seorang diri di tempat “pemencilan” hanya bersama maula-nya yang bernama Rabbah. Tidak ada orang yang membantu menyekakan keringat beliau yang bercampur debu sehabis menempuh perjalanan melelahkan dalam rangka perjuangan menegakkan kebenaran agama Allah. Tak ada seorang istri yang duduk bersama beliau untuk menghibur dan menghilangkan keletihan beliau. Satu bulan penuh beliau tinggal seorang diri di tempat yang secara khusus dibuat untuk menjauhkan diri dari para istrinya. ‘A’isyah gelisah dan para istri beliau yang lain takut kalau-kalau beliau marah kepada mereka, sedangkan kaum Muslimin memperhatikan keadaan beliau selama berada di tempat pemencilannya. Akan tetapi tidak seorang pun dari mereka yang berani bertanya mengenai kehidupan rumah tangga beliau. Mengenai soal-soal itu mereka hanya mendengar dari ‘Umar bin Al-Khaththab r.a. setelah menegur keras Hafshah (putrinya) karena mengganggu ketenteraman Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam
***
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak mencerai istri-istrinya. Cukuplah memperingatkan mereka agar bertobat kepada Allah dan tidak mengulang kembali apa yang telah mereka lakukan. Kepada mereka beliau menyampaikan firman Allah SWT yang menegaskan, apabila Nabi sampai mencerai mereka, Allah tentu akan memberikan beliau istri-istri yang lebih baik.[1]
Suasana tampak mulai cerah, awan mendung yang meliputi kehidupan rumah tangga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam lambat laun sirna dan lenyap. Para Ummul-Mu’minin bergembira melihat suami mereka pulang ke rumah. Masing-masing berdiri di pintu tempat kediamannya sendiri-sendiri sambil menatapkan pandangan mata kepada suami tercinta yang sedang berjalan pulang dari tempat “pemencilannya”. Hanya ‘A’isyah r.a. yang tetap berada di dalam rumah berkemas-kemas menyambut kedatangan beliau. Ia tidak ragu, tempat pertama yang akan dituju oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam adalah tempat kediamannya, sebelum beliau mendatangi tempat-tempat istrinya yang lain. Jantungnya berdebar-debar ketika mendengar ayunan langkah suaminya bertambah dekat. Ia berusaha menyambut kedatangan beliau sebaik mungkin. Dalam sambutannya itu antara lain ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya apa yang telah saya ucapkan kepada Anda itu tidak keluar dari hati saya, tetapi Anda marah kepada saya.” Rasulullah belum sempat menjawab, ‘A’isyah sudah menyambung kata-katanya sambil berkelakar, “Anda bersumpah akan menjauhi kami selama satu bulan, padahal sekarang baru dua puluh sembilan hari!” Wajah beliau tampak cerah dan berseri-seri mendengar kata-kata itu. Sebab dari ucapan istrinya itu beliau mengerti bahwa istrinya siang-malam menghitung-hitung hari selama beliau jauhi. Akhirnya beliau menjawab, “Bulan ini hanya dua puluh sembilan hari…!”
Selamatlah ‘A’isyah r.a. dari cobaan, dan sebelum itu Allah SWT telah menyelamatkannya dari cobaan yang lebih berat, tetapi kemudian rahmat Ilahi memancarkan cahaya menerangi kehidupan ‘A’isyah r.a. yang sedang dilanda kegelapan, hingga ia nyaris hilang….
[1]Lihat Al-Quranul-Karim: Surah At-Tahrim 1-5.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini