‘A’isyah r.a. sama sekali tidak menduga bahwa dirinya akan menjadi pembicaraan orang banyak, hanya karena datang terlambat dengan diantar oleh seorang pemuda rupawan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam pun tidak mempunyai prasangka buruk sedikit pun terhadap Shafwan, bahkan beliau sangat berterima kasih. Akan tetapi di tengah masyarakat terhembus suara berbisa membisik-bisikkan; mengapa ‘A’isyah datang terlambat dan diantar oleh pemuda tampan, Shafwan bin Mu’aththal?”
Hamnah binti Jahsy (saudara perempuan Ummul-Muminin Zainab bin Jahsy) tahu benar, bahwa ‘A’isyah r.a. beroleh tempat istimewa di dalam hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam lebih daripada yang diperoleh saudaranya, Zainab r.a. Untuk menjatuhkan ‘A’isyah r.a. dalam pandangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan untuk mengalihkan cinta kasih beliau lebih banyak kepada saudaranya, Zainab r.a., Hamnah menyebarkan desas-desus bohong mengenai pribadi ‘A’isyah r.a. Kegiatannya dalam hal itu beroleh dukungan dari Hasan bin Tsabit. Ali bin Abi Thalib r.a. mendengar desas-desus seperti itu, tetapi ia tidak menghiraukannya, karena masih banyak persoalan lebih besar yang perlu ditanggulangi.
Abdullah bin Ubaiy, seorang gembong kaum munafik di Madinah, menemukan tanah subur untuk menyebar benih malapetaka di tengah kehidupan kaum Muslimin. Ia tidak rela Islam makin kokoh dan kaum Muslimin kuat bersatu. Kegiatan jahat Abdullah bin Ubaiy dihambat oleh orang-orang Anshar dari kabilah Aus yang bersikap tidak membiarkan Ummul-Muminin dijadikan bulan-bulanan berita yang tidak karuan sumbernya. Mereka tidak rela keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dicemarkan oleh kabar berita yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Karena itulah mereka merasa wajib membela dan akan bertindak keras terhadap orang-orang yang menyebarkannya. Sikap orang-orang Aus yang demikian itu nyaris mengakibatkan terjadinya pertikaian dan bentrokan dengan orang-orang Anshar dari kabilah Khazraj, yang tidak dapat membenarkan orang-orang Aus akan mengambil tindakan sendiri
Makin hari desas-desus mengenai soal itu makin santer dan akhirnya sampailah kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam hingga cukup mempengaruhi pikiran beliau. Berbagai tanda tanya bermunculan: Benarkah ‘A’isyah me-lakukan pengkhianatan sejauh itu? Ah, itu tidak mungkin, karena ia tahu benar bahwa itu perbuatan keji yang sangat tidak patut dan amat tercela. Ya, tetapi ia seorang wanita! Siapakah yang dapat menjajagi hati perempuan? Apalagi ia perempuan muda belia! Benarkah ia tertinggal dan datang terlambat karena mencari-cari kalungnya yang jatuh? Mengapa ia tidak berbicara mengenai itu sebelum rombongan berangkat pulang …? Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam masih terus berpikir dan menimbang serta mencari bukti kebenaran apa yang didesas-desuskan orang.
Tidak seorang sahabat Nabi pun berani menyampaikan desas-desus yang peka itu kepada ‘A’isyah r.a. Yang dirasakan olehnya hanyalah kekakuan sikap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam terhadap dirinya. Itu merupakan soal yang tidak biasa. Itulah yang dirisaukan olehnya dan yang menyayat-nyayat hatinya selama beberapa waktu. Beberapa kali ia bertanya kepada beliau, tetapi tidak mendapat jawaban memuaskan. Akhirnya ‘A’isyah r.a. jatuh sakit, makin hari makin kurus dan wajahnya lesu pucat pasi. Ia dirawat oleh bundanya, Ummu Ruman. Bila Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam datang menengok beliau hanya bertanya, “Bagaimanakah keadaanmu?” Sungguh pilu ‘A’isyah menyaksikan kekakuan sikap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam seperti itu. Timbul pertanyaan di dalam hati; apakah Juwariyah sekarang telah merebut kedudukannya di dalam hati beliau?
Untuk meringankan beban perasaan yang bertambah berat ia mohon diizinkan pindah sementara ke rumah bundanya, dengan alasan untuk mendapat perawatan lebih baik. Beliau mengizinkan, tetapi izin beliau ini menambah kepedihan hati ‘A’isyah r.a. Kurang-lebih selama 20 hari ia sakit. Hingga saat kesehatannya mulai pulih ia masih belum mengetahui apa yang dibicarakan orang mengenai dirinya.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sendiri masih tetap bingung, antara percaya dan tidak. Dalam suatu khutbah beliau antara lain berkata, “Hai kaum Muslimin, mengapa banyak orang yang senang mengganggu ketenanganku dan ketenteraman keluargaku? Mereka mengatakan hal-hal yang tidak benar mengenai diriku. Padahal sepanjang pengetahuanku mereka itu orang-orang baik. Mereka membicarakan juga seorang yang kukenal (yang beliau maksud ialah Shafwan bin Mu’aththal); demi Allah ia orang baik. Tidak pernah datang ke rumahku kecuali jika kuajak!”
Menanggapi ucapan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam itu Usaid bin Hudhair berkata, “Ya Rasulullah, kalau orang-orang yang membicarakan soal itu dari kaum Aus, biarlah kami yang menyelesaikan (yakni mengambil tindakan). Akan tetapi kalau mereka itu dari kaum Khazraj, perintahkanlah kami bertindak. Mereka memang patut dipancung kepalanya!” Mendengar ucapan itu seorang pemimpin kabilah Khazraj, Sa’ad bin ‘Uba-dah, bangkit menjawab, “Usaid berani berkata seperti itu karena ia menyangka yang mengganggu ketenangan Anda orang dari Khazraj! Kalau dia tahu bahwa yang berbuat itu orang dari kabilahnya sendiri, ia tentu tidak akan berani berkata seperti itu!” Suasana menjadi gaduh, tuding-menuding dan tuduh-menuduh, dan bentrokan fisik nyaris terjadi seandainya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak bijaksana menyelesaikan persoalannya. Di masa jahiliyah dua kabilah di Madinah itu (Aus dan Khazraj) memang selalu bermusuhan dan sering terjadi pertikaian senjata.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini