Ketika ‘A’isyah r.a. tiba di tempat perkemahannya tak ada seorang pun yang dapat ditanya. Semua sudah jauh meninggalkan tempat. Akan tetapi ia tidak takut atau khawatir karena menurut dugaannya, rombongan pasti akan segera berbalik lagi setelah mengetahui ia tidak berada di dalam haudaj. Oleh karena itu ia lalu memutuskan lebih baik menunggu rombongan balik kembali daripada berlari-lari mengejar mereka yang makin tampakjauh dari pandangan mata. Ia pun khawatir kalau makin jauh tertinggal dan ia akan terus mengejar, besar kemungkinan akan tersesat jalan setelah rombongan lenyap dari jangkauan matanya. Jelas itu sangat berbahaya bagi siapa yang berjalan di tengah gurun sahara tanpa bekal, lebih-lebih bagi seorang wanita. Karena lelah dan udara terasa makin panas ia berbaring mengistirahatkan badan di atas pasir beralaskan kain. Ia yakin benar bahwa rombongan pasti akan balik kembali untuk mengangkutnya pulang. Beberapa lama ia berbaring, sinar matahari terasa makin menyengat, tak ada apa pun yang dapat dijadikan tempat berteduh dan keringat membasahi sekujur badan. Rombongan yang dinantikan balik kembali tak kunjung tiba, bahkan tampak pun tidak. Dari kejauhan hanya fatamorgana yang kelihatan bergerak-gerak laksana ombak. Masihkah ia mengharap rombongan datang? Jauh nian, karena semua yakin Ummul-Muminin berada di dalam haudaj. Lagi pula setiap anggota rombongan sudah memusatkan perhatiannya kepada keluarga yang sudah sekian lama ditinggal. Makin dekat Madinah ingatan mereka makin terpancang kepada anak-istri.
Bagaimana Ummul-Muminin ‘A’isyah r.a.? Harapannya makin menipis, lenyap dan akhirnya berserah kepada suratan takdir. Allah sajalah yang akan menentukan, apakah ia akan selamat dari serangan badai pasir sahara, atau …. Ia sendiri tak tahu, tiada daya dan tenaga. Yang tinggal hanya kepercayaan penuh bahwa Allah SWT akan menyelamatkan dirinya dari prahara mengerikan di tengah sahara. Tak ada kesukaran apa pun bagi Allah SWT bila hendak menyelamatkan atau membinasakan hamba-Nya…. Ummul-Mu’minin sebentar berbaring dan sebentar duduk menoleh ke arah kanan, kiri, muka, dan belakang; kalau-kalau melihat ada sesuatu yang dapat diharapkan pertolongannya. Beberapa kali ia menengadah ke langit dan mengangkat tangan mohon kepada Allah agar diselamatkan dari malapetaka. Ia teringat kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam: Sudahkah beliau mengetahui bahwa istrinya tertinggal di padang belantara seorang diri. Ia mohon kepada Allah agar mengingatkan beliau akan hal itu. Sejauh manakah rombongan Muslimin sudah berjalan? Jika setelah tiba di Madinah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam baru mengetahui bahwa istri beliau tertinggal, alangkah gemparnya kota itu! Berbagai macam dugaan, khayalan dan bayangan sangat mengganggu alam pikirannya. Belum lagi pada saat ia membayangkan, kalau hingga malam tiba tidak ada pesuruh Nabi yang datang menjemputnya ….
Dalam keadaan badan lemah lunglai, kepanasan, dan kehausan, ‘A’isyah r.a. berdiri, lalu mengarahkan pandangan ke arah jauh … tak ada apa pun yang tampak selain semacam bayang-bayang hitam kecil bergerak. Bayangan hitam itu dipandang terus-menerus dengan mata hampir tidak berkedip. Ia tidak percaya bahwa bayangan itu makin lama dipandang makin besar sedikit demi sedikit, dan geraknya pun tampak makin nyata. Beberapa saat lamanya bayangan itu diperhatikan, kemudian makin kelihatan jelas seorang manusia bertumpu di atas unta kendaraannya…. ‘A’isyah r.a. bukan malah senang, melainkan ketakutan mulai menguasai dirinya. Bagaimanakah kalau manusia yang tampak dari kejauhan itu seorang badawi yang kasar, keras, dan tak kenal sopan santun? Ke mana ia hendak lari menyelamatkan diri? Ahsiapa tahu kalau yang tampak makin lama makin dekat itu orang yang diutus Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menjemput dirinya. Berpikir seperti itu ‘A’isyah r.a. merasa gembira dan penuh harapan. Penunggang unta yang makin lama makin dekat itu membuat denyut jantung Ummul-Muminin makin keras berdetak. Dari gerak-gerik pendatang yang menunggang unta itu ‘A’isyah r.a. yakin bahwa ia bukan orang badawi. Ummul-Muminin membuka mata lebar-lebar untuk dapat memastikan siapa atau orang dari mana yang makin dekat itu ….Masyd Allah … alliamdulillah, ternyata ia seorang pemuda rupawan dan gagah perkasa. Pemuda itu bernama Shafwan bin Mu’aththal, terlambat pulang dari Muraisi’ hingga tertinggal oleh rombongannya yang termasuk pasukan Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam
Melihat Ummul-Muminin berada seorang diri di tengah sahara itu ia berucap, “Inna lillahi wa inna ilaihi rdjiun! Ia segera bertanya, “Bukankah Anda istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam? Bagaimana sampai tertinggal di tempat seperti ini?” Ummul-Muminin tidak menjawab, ia hanya menundukkan muka. Shafwan memahami mengapa ‘A’isyah r.a. tidak menyahut, yaitu karena Islam telah mensyariatkan hukum hijab. Ia mendekatkan untanya kepada Ummul-Mu’minin, dan setelah unta itu bersimpuh ia mundur seraya mempersilakan Ummul-Muminin naik. Setelah naik, unta mulai berdiri lagi kemudian berjalan. Shafwan berjalan kaki cepat-cepat sambil menuntun unta, berusaha mengejar rombongan Nabi, tetapi tidak berhasil karena sudah terlalu jauh tertinggal, bahkan mungkin sudah tiba di Madinah. Sepanjang perjalanan dua insan beriman itu tidak bercakap-cakap, bahkan masing-masing berzikir dan bersyukur kepada Allah SWT. Tiba di Madinah tengah hari, kemudian langsung menuju ke tempat permukiman keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini