Bagaimanapun pada akhirnya desas-desus itu didengar juga oleh ‘A’isyah r.a. dari seorang wanita kaum Muhajirin. Alangkah terkejutnya ‘A’isyah r.a. mendengar berita itu sehingga badannya terkulai hampir pingsan. Ia menangis dan menumpahkan beban perasaannya selama ini kepada ibunya. Ia berkata, “Maafkan saya, ibu di luar banyak orang berbicara mengenai diriku, tetapi mengapa ibu tidak memberitahukan semuanya itu kepadaku?” Demikian ‘A’isyah r.a. menggugat sambil terus menangis tak sanggup menahan emosinya. Ibunya tak sampai hati membiarkan anaknya dalam kesedihan seberat itu. Karenanya ia lalu berkata menghibur, “Anakku, jangan engkau terlampau sedih dan cemas. Anakku, tak usah engkau risaukan urusan itu. Demi Allah, tidak sedikit istri cantik yang disayang suaminya dan mempunyai beberapa orang madu, ia tentu banyak dibicarakan mereka.”
Kata hiburan demikian itu tidak ada artinya sama sekali bagi ‘A’isyah r.a. yang hatinya sedang meronta-ronta. Ia sekarang telah mengerti bahwa kekakuan sikap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam terhadap dirinya tentu disebabkan oleh kecurigaan beliau. Akan tetapi apakah yang dapat diperbuat? Apakah ia hendak membicarakan soal itu dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam? Apakah ia harus bersumpah bahwa ia tidak berbuat sebagaimana yang didesas-desuskan? Jika ia bersumpah tentu menimbulkan kesan seolah-olah ia berusaha membersihkan diri. Apakah ia akan bersikap kaku terhadap suaminya sebagaimana suaminya yang bersikap kaku terhadap dirinya? Namun ‘A’isyah sadar, bahwa suaminya bukan orang biasa, beliau adalah seorang Nabi dan Rasul utusan Allah Maha Mengetahui. Bukan salah beliau, kalau banyak orang mendesas-desuskan berita bohong tentang dirinya, karena ia sendirilah yang pulang terlambat diantar oleh Shafwan!
Makin lama perasaan yang membebani dada semakin berat. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam kemudian minta pendapat dari beberapa orang sahabat terdekat; apa yang sebaiknya perlu dilakukan! Beliau pergi ke rumah mertuanya (Abu Bakar r.a.) lalu menyuruh orang memanggil ‘Ali bin AblThalib r.a. dan Usamah bin Zaid. Atas permintaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Usamah menegaskan, ia tidak dapat membenarkan tuduhan yang didesas-desuskan orang terhadap Ummul-Mu’minin ‘A’isyah r.a. Semua desas-desus itu bohong belaka dan tidak berdasarkan bukti nyata. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan semua sahabat mengenal ‘A’isyah r.a. sebagai wanita yang saleh, taat, dan bertakwa. Demikianlah pendapat Usamah bin Zaid.
Lain halnya dengan Ali bin Abl Thalib r.a., terdorong oleh simpati dan kecintaannya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ia menjawab, “Ya Rasulullah masih banyak wanita lainnya!” Ia lalu menyarankan supaya beliau bertanya kepada pembantu Ummul-Mu’minin, kalau-kalau ia mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Pembantu itu datang atas panggilan beliau dan Imam ‘Ali r.a. berdiri di sampingnya. Dengan suara agak keras ia berkata pembantu itu, “Hai, katakanlah yang sebenarnya kepada Rasulullah!” Pembantu itu agak ketakutan, tetapi ia menjawab tegas, “Demi Allah, yang kuketahui Ummul-Muminin ‘A’isyah adalah baik!” Selanjutnya pembantu itu lalu menyanggah semua tuduhan jahat yang didesas-desuskan orang terhadap Ummul-Mu’minin.
Untuk mencari kebenaran mengenai itu tak ada jalan lain bagi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang dipandang baik kecuali berbicara langsung dengan ‘A’isyah r.a. di rumah mertuanya. Beliau berkata, “‘A’isyah, engkau telah mendengar sendiri apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Hendaklah engkau tetap bertakwa dan takutlah kepada Allah. Jika engkau benar berbuat sebagaimana yang dikatakan orang banyak itu, cepatlah bertobat kepada Allah. Allah berkenan menerima tobat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya.”
Betapa mendidih darah ‘A’isyah mendengar ucapan yang bernada tuduhan itu. Jantungnya berdegup dan berdebar menyemburkan darah panas ke sekujur badan. Wajahnya tampak merah padam. Dengan pandangan mata yang tajam menyala ia menoleh kepada ayah dan ibunya, menunggu apa yang hendak mereka katakan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Akan tetapi, baik Abu Bakar maupun istrinya tetap diam, tidak menjawab sepatah kata pun! Siapakah yang dapat menjawab selain ‘A’isyah sendiri?! ‘A’isyah dapat mengerti mengapa ayah dan ibunya diam, tetapi dengan perasaan meronta ia masih bertanya, “Mengapa ayah dan ibu tidak menjawab?” Atas desakan putrinya itu mereka berkata, “Kami tidak tahu apa yang harus kami katakan, Nak …!”
Sementara ayah dan ibunya tetap diam, ‘A’isyah r.a. menangis lagi karena tidak dapat menahan ledakan dalam dadanya. Sinar mata yang pada mulanya tampak menyala tajam, sekarang tenggelam dalam genangan air mata yang meluap dan membanjiri dua belah pipinya. Sambil menangis sedu-sedan dan dengan suara terputus-putus ia berkata kepada Rasulullah, “Demi Allah, aku tidak akan bertobat mengenai itu kepada Allah, karena aku tidak merasa berbuat. Aku tahu, jika aku bertobat itu berarti aku membenarkan semua yang dikatakan orang mengenai diriku. Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan itu. Aku tidak sudi mengakui suatu perbuatan yang tidak kulakukan, tetapi kalau aku membantah, tak ada orang yang mau percaya …!” Ia diam sejenak memulihkan nafas yang terengah-engah. Sambil mengeringkan air mata ia melanjutkan, “Aku hanya dapat mengatakan seperti yang dahulu pernah dikatakan oleh ayah Nabi Yusuf, Bersabar lebih baik, dan kepada Allah sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang kalian ceritakan.” (QS Yusuf: 18)
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini