“Istri Muth’im ketika itu masih seorang wanita musyrik dan menolak agama Islam. Setelah mengetahui maksud kedatangan Abu Bakar r.a. ia berkata terus terang, “Hai Abu Quhafah (nama panggilan Abu Bakar r.a.), jika anak lelaki kami nikah dengan anak perempuan Anda bisa jadi ia akan Anda selewengkan dan Anda masukkan ke dalam agama Anda sekarang!” Kata-kata tersebut tidak dijawab oleh Abu Bakar r.a. Ia menoleh kepada suaminya (Muth’im bin ‘Adiy) lalu bertanya, “Apakah sebenarnya yang dimaksud oleh istri Anda?” Muth’im hanya menjawab, “Yang Anda dengar itulah yang dimaksud!” Abu Bakar r.a. mengerti apa yang dimaksud oleh Muth’im bin ‘Adiy dan istrinya, yakni tidak menghendaki lagi anak lelakinya nikah dengan ‘A’isyah ….
“Abu Bakar meninggalkan rumah Muth’im bin Adiy dengan perasaan lega dan bersyukur kepada Allah yang telah melepaskan dirinya dari ikatan janji dengan Muth’im. Setibanya di rumah ia segera berkata kepada Khaulah yang sudah agak lama menunggu, “Persilakan Rasulullah datang menemui saya.” Khaulah meninggalkan rumah Abu Bakar r.a. untuk menyampaikan undangan itu kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Beliau segera datang dan setelah mengadakan percakapan mengenai masalah lamaran, pada akhirnya Abu Bakar r.a. menikahkan beliau dengan putrinya, ‘A’isyah, yang ketika itu belum mencapai usia dewasa. Dalam pernikahan tersebut beliau menyerahkan mahr (maskawin) sebanyak 500 dirham….
Sejarah tidak memberitakan bagaimana keadaan ‘A’isyah r.a. pada masa itu selain menyebut bahwa ia masih remaja putri, belum dewasa, dan pernah dilamar oleh Muth’im bin Adiy untuk dinikahkan dengan anak lelakinya yang bernama Jubair. ‘A’isyah r.a. adalah putri Abu Bakar bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Mur-rah. Sedangkan ibunya ialah Ruman binti ‘Umair bin ‘Amir dari Bani Al-Harits bin Ghanim bin Kinanah. Keluarga ‘A’isyah r.a. termasuk dalam marga Bani Taim yang dalam masyarakat Quraisy terkenal sebagai marga yang dermawan, pemberani, jujur, dan berpikir cerdas. Kaum wanitanya terkenal patuh, lemah-lembut dan dapat bergaul dengan baik. Abu Bakar r.a. sendiri di samping mewarisi sifat-sifat leluhurnya ia pun terkenal sebagai orang yang tinggi budi pekertinya, peramah dan banyak bergaul. Para ahli sejarah Islam dengan bulat mengakui bahwa Abu Bakar r.a. adalah seorang Quraisy yang ahli di bidang asal-usul silsilah Quraisy. Ia dipandang sebagai orang yang ahli di bidang asal-usul silsilah Quraisy. Ia dipandang sebagai orang yang paling banyak mengetahui baik dan buruknya orang-orang Quraisy. Ia seorang pedagang yang berakhlak terpuji, disukai oleh masyarakatnya dan menjadi tempat bertanya mengenai berbagai soal. Itu semua berkat pengetahuan, pengalaman dan pergaulannya yang baik dengan semua orang.
Dengan bi’tsah kenabian Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan dengan kedinian Abu Bakar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kehormatan Abu Bakar r.a. tambah meningkat. Ia turut berjuang menegakkan agama Islam dengan segala yang dimilikinya. Dengan keberanian dan semangat tinggi ia berdakwah menyebarluaskan agama Islam. Di antara para sahabat Nabi yang menyambut baik dakwah (ajakan) Abu Bakar r.a. ialah ‘Uts-man bin Affan r.a., Zubair bin Al-‘Awwam r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abl Waqqash r.a., Thalhah bin ‘Ubaidillah r.a…..Mereka termasuk sepuluh orang sahabat Nabi yang oleh beliau diberitahu akan menjadi penghuni sorga. Mengenai keislaman Abu Bakar r.a., Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam pernah menegaskan, “Setiap orang yang kuajak memeluk Islam ia selalu bingung lebih dulu, banyak berpikir dan bimbang ragu; hanya Abu Bakar yang tidak. Begitu Islam kusebut ia segera menerimanya tanpa ragu-ragu.” Dalam kesempatan lain beliau juga pernah mengatakan, “Harta kekayaan tidak berguna bagiku, harta kekayaan Abu Bakar pun tak berguna bagiku.” …. Mendengar pernyataan beliau itu Abu Bakar konon menangis, lalu berkata, “Ya Rasulullah, diriku dan harta kekayaanku tidak lain hanya untuk Anda!”[1]
Ibu ‘A’isyah r.a., Ummu Ruman, termasuk wanita sahabat Nabi yang terhormat. Pada masa jahiliyah ia nikah dengan Abdullah bin Harits Al-Asadiy, dan dari perkawinannya itu ia melahirkan seorang anak, bernama Thufail. Setelah suaminya yang pertama meninggal dunia ia nikah lagi dengan Abu Bakar r.a. dan dikaruniai dua orang anak lelaki dan perempuan, yaitu ‘Abdurrahman dan ‘A’isyah. Ummu Ruman hijrah ke Madinah setelah Rasulullah dan sahabatnya (Abu Bakar, suami Ummu Ruman) berada di dalam keadaan mantap di kota itu. Ia meninggal dunia di Madinah, beberapa waktu setelah peristiwa Haditsul-IJk[1]. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam turut memakamkan jenazahnya dan turun ke liang kubur sambil memohonkan ampunan kepada Allah baginya. Dalam doanya antara lain berucap, “Ya Allah, tidak tersembunyi bagi-Mu apa yang diketahui Ummu Ruman tentang Engkau dan Rasul-Mu.”[2] Beliau juga pernah berkata kepada para sahabatnya, “Barang-siapa yang ingin melihat seorang wanita dari para bidadari, hendaklah ia melihat kepada Ummu Ruman.”[3]
[1]Haditsul-ljk = Peristiwa gosip atau desas-desus yang disebarkan kaum munafik,
[2]+ 4 Thabaqat Ibnu Sa’ad; Al-Ishabah (Ibnu Hajar); Al-Isti’ab (Ibnu ‘Abdul-Birr) dan
Tahdzibut-Tahdzib (Ibnu Hajar).
[1]Sirah (Ibnu Hisyam): IV/293; Tarikh (Ath-Thabariy): IH/177; Al-Isti’ab: IV/1881 dan ‘Uyunul-Atsar: 11/300.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini