‘A’isyah r.a. adalah salah seorang sumber utama hadits-hadits Nabi. Hadits-hadits beliau yang diriwayatkan olehnya tidak kurang dari 2.210 (dua ribu dua ratus sepuluh) buah. Pengetahuannya tentang agama Islam cukup banyak. Imam Azzuhriy menegaskan, “Pengetahuan ‘A’isyah r.a. mengenai agama jika dibanding dengan semua pengetahuan yang ada pada istri Nabi lainnya, atau jika dibanding dengan pengetahuan agama yang ada pada semua wanita (masa itu) maka pengetahuan yang ada pada ‘A’isyah r.a. tentu lebih banyak.”[1] Sebuah riwayat menuturkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam pernah bersabda, “Ambillah separuh (ajaran) agamamu melalui Al-Humaira ‘A’isyah r.a.).” Hadits tersebut menunjukkan bahwa ‘A’isyah r.a. memiliki pengetahuan cukup luas tentang ajaran agama Islam. Bukan hanya agama saja, ‘A’isyah r.a. juga seorang wanita kritikus, sejarawan dan banyak mengetahui soal-soal pengobatan. Mengenai itu ‘Urwah bin Az-Zubair mengatakan, “Saya belum pernah melihat seorang yang lebih mengetahui soal-soal sejarah, hukum, dan ketabiban melebihi ‘A’isyah!”
Ummul-Mu’minin tersebut memang istri Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang paling banyak pengalamannya, baik yang manis maupun yang pahit. Ia mendampingi beliau semasa perjuangan Islam sedang gencar-gencarnya melawan kekufuran dan syirik. Ia juga secara langsung berkecimpung dalam malapetaka terbesar yang menentukan jalannya roda sejarah Islam semenjak terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin Affan a.s. Dialah yang memimpin pasukan bersenjata dalam peperangan melawan Ummul-Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib r.a., yakni dalam Waq’atul-Jamal (Perang Unta) di Bashrah.
‘A’isyah binti Abu Bakar r.a. wafat dalam usia 66 tahun, pada malam Rabu tanggal 17 Ramadhan tahun 50 Hijrah. Demikianlah menurut berbagai sumber sejarah.
Abu Hurairah r.a. turut serta dalam shalat jenazahnya berjamaah di masjid Nabawi, dan turut pula mengantarnya ke pekuburan Baqi’ di malam hari, sesuai dengan pesan Ummul-Mu’minin sendiri sebelum wafat. Di pekuburan yang gelap gulita itu orang menyalakan api penerangan dengan membakar pelepah-pelepah kurma yang sudah dicelupkan ke dalam minyak (lemak). Banyak sekali kaum Muslimin yang turut mengantar jenazah Ummul-Mu’minin ke pekuburan hingga ada yang mengatakan, bahwa belum pernah terjadi malam seramai itu. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan yang sama dengan tempat pemakaman para Ummul-Mu’minin yang sudah wafat lebih dahulu, selain Siti Khadijah r.a. yang dimakamkan di Makkah.
Dengan wafatnya Ummul-Mu’minin ‘A’isyah r.a. hilanglah sudah sisa-sisa kecemburuan yang masih ada antara pribadinya dan para Ummul-Mu’minin lainnya, yang pernah menggelora selama bertahun-tahun. ‘A’isyah r.a. tidur lelap menantikan saat kebangkitannya kembali, sedangkan dunia yang ditinggalkannya belum pernah sempat tidur. Buku-buku sejarah masih terus melukiskan riwayat kehidupannya sejak remaja putri dan pernikahannya pada bulan Syawwal, dengan manusia terbesar dan termulia sepanjang zaman, Nabi terakhir Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Banyak para ahli hadits dan ahli riwayat, termasuk Bukhari dan Muslim, memberitakan, bahwa beberapa waktu sebelum Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam nikah dengan ‘A’isyah r.a., beliau melihat malaikat membawa selembar kain sutera bergambar ‘A’isyah r.a. Malaikat itu memberi tahu beliau, “Inilah istri Anda.” Beliau menyahut, “Jika itu yang menjadi kehendak Allah, baiklah.”
Riwayat mengenai itu yang dikemukakan oleh Turmudzi agak berlainan sedikit, yaitu Malaikat Jibril datang kepada beliau membawa selembar kain sutera berwarna hijau bergambar ‘A’isyah r.a. Kepada beliau Jibril memberi tahu, “Inilah istri Anda di dunia dan akhirat.”
Mengenai ibu ‘A’isyah r.a., Ummu Ruman, Ibnu Abdul Bar mengemukakan sebuah riwayat dalam Al-Isti’ab, bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam pernah menyatakan, “Barangsiapa ingin melihat seorang wanita dari para bidadari, hendaklah ia melihat Ummu Ruman.”
‘A’isyah r.a. adalah istri Nabi yang paling cerdas. Ia tekun mempelajari soal-soal agama dan soal-soal keduniaan. Setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam wafat ia dikenal oleh para sahabat sebagai wanita ahli fiqh (faaihah). Berbeda dari para Ummul-Mu’minin lainnya, ia memang yang termuda usianya, gadis satu-satunya yang dinikah oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Ketika beliau wafat ia masih dalam usia kurang dari 20 tahun. Kondisi usia, badan dan kesehatannya memang memungkinkan ia bertindak lincah. Ia tidak membiarkan sesuatu yang menurut pendapatnya perlu ditegur. []
[1] Tarikh Ath-Thabariy, As-Samthuts-Tsamin dan Al-Isti’ab.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini