‘A’isyah r.a. merupakan istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, sesudah Khadijah r.a., yang paling banyak beroleh curahan kasih sayang beliau. Putri Abu Bakar r.a. itu merupakan istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, sesudah Khadijah r.a., yang paling mendalam cinta kasihnya kepada beliau. Berbagai sumber riwayat memberitakan bahwa ‘A’isyah r.a. seorang Ummul-Mu’minin yang paling besar kecemburuannya kepada beliau. Dan kita tahu bahwa kecemburuan seorang istri terhadap suaminya adalah gejala kejiwaan yang menandakan kadar kecintaan seorang wanita terhadap seorang pria pujaan hatinya. Pada umumnya semua anak Hawa cemburu terhadap anak Adam kesayangannya, hanya gejalanya saja yang tampak berbeda. Pada wanita yang emosional gejala kecemburuan lebih menonjol daripada yang ada pada wanita yang rasional. Sedangkan yang tersimpan di dalam hati dan perasaan adalah sama.
Di antara para istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ‘A’isyah r.a. adalah seorang Ummul-Mu’minin—sesudah Khadijah r.a.—yang paling beruntung mendapat keridaan beliau lebih besar dibanding dengan para Ummul-Mu’minin lainnya. Beberapa waktu menjelang akhir usia, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berziarah ke pekuburan Baqi’ (Buqai’) memanjatkan doa mohon ampunan Ilahi bagi semua penghuni kubur. Esok harinya ia melihat ‘A’isyah mengeluh kepalanya pusing. Entah apa sebabnya beliau sendiri pun merasa kepalanya pusing. Karenanya beliau lalu berkata, “Wah… kepalaku juga sakit, hai ‘A’isyah!” Karena ‘A’isyah r.a. berulang-ulang mengeluh kepalanya pusing, dengan lemah lembut beliau berkata berseloroh, “Hai ‘A’isyah, apa keberatanmu seandainya engkau mati lebih dulu sebelum aku? Aku sendiri yang akan membenahi jenazahmu, mengafanimu, menyalatimu, dan menguburmu!” Kecemburuan ‘A’isyah muncul lalu menjawab, “Biarlah itu terjadi pada yang lain saja! Demi Allah, seumpama itu benar terjadi dan Anda melakukan semuanya tadi, sepulang Anda ke rumahku Anda akan kupertemukan dengan beberapa orang istri Anda di rumahku!”
Mendengar jawaban tersebut Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tersenyum lembut. Beberapa saat kemudian pusingnya hilang, lalu beliau pergi mendatangi istri-istri yang lain. Akan tetapi tiba-tiba rasa nyeri di kepala beliau muncul kembali, bahkan lebih nyeri dari semula. Setibanya di kediaman Maimunah r.a. beliau seolah-olah tak dapat lagi menahan pusingnya. Para istri beliau berkumpul di rumah Maimunah, beliau melihat mereka satu per satu kemudian bertanya-tanya, “Di manakah saya besok pagi? Di manakah saya besok lusa?” Beliau merasa terlampau lama menunggu tiba waktu gilir di rumah ‘A’isyah r.a. Para istri beliau memahami hal itu, karenanya mereka lalu menyahut, “Ya Rasulullah, hari-hari giliran kita telah kita serahkan kepada ‘A’isyah!”[1] Beliau lalu menyuruh seorang sahabat memberi tahu Abu Bakar r.a. supaya mengimami shalat jamaah di masjid menggantikan beliau. Beliau lalu pindah ke tempat ‘A’isyah r.a. Di sana para Ummul-Mu’minin menjaga beliau secara bergantian. Hanya putri beliau, Fathimah r.a. yang hampir tidak pernah meninggalkan tempat kecuali untuk suatu keperluan. Mereka berusaha meringankan penyakit beliau, tetapi beliau tampak makin letih.
Beberapa saat sebelum ajal Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam membisikkan kata-kata kepada putrinya, Fathimah r.a., hingga membuatnya menangis. Akan tetapi setelah dibisikkan lagi kata-kata yang lain, Fathimah r.a. tampak tersenyum. Ketika ‘A’isyah r.a. bertanya apa sebabnya, putri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam itu menjawab, “Aku tidak akan membuka rahasia Rasulullah!” Kemudian setelah beliau wafat, Fathimah r.a. sendiri menerangkan, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam membisikkan, bahwa beliau akan wafat karena penyakit yang dideritanya. Sedangkan ia tersenyum karena beliau membisikkan, bahwa ia merupakan orang pertama dari keluarga beliau yang akan menyusul ke alam baka.
[1] As-Samthuts-Tsdmin: 55, Sirah Ibnu Hisyam: IV/292 dan Tarikh Ath-Thabariy. III/ 191.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini