Kaum orientalis yang lancang tangan menulis soal tersebut bukannya tidak bertujuan. Tujuan mereka jelas, yaitu, menyerang pribadi Nabi pembawa agama Islam, Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Tujuan lebih jauh ialah mempengaruhi umat Islam agar mengingkari kebenaran agamanya, kemudian meninggalkannya dan memeluk agama lain yang dipeluk oleh kaum orientalis itu sendiri.
Kejadian 1400 silam mereka ungkit dan mereka besar-besarkan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi bersamaan dengan itu mereka menutup-nutupi perbuaran Raja Henry VIII sekitar tahun 1491 Masehi, yakni baru 500 tahun yang lalu. Raja Henry VIII (yang menurunkan Ratu Elizabeth I) mempunyai 6 (enam) orang istri yang dipilih sebagian besarnya adalah gadis-gadis. Padahal Raja Henry sendiri tidak lagi dapat disebut muda. Lebih dari itu, ia memancung kepala dua orang istrinya! Mengapa peristiwa sejarah itu oleh kaum orientalis tidak disebut sebagai “keganjilan”? Kalau itu bukan “keganjilan,” bukankah itu “kebengisan”?
Selain mereka yang lancang masih ada orientalis yang agak objektif menulis apa yang disaksikannya sendiri di Jazirah Arabia. Ia mengatakan, “Sekalipun ‘A’isyah usianya masih sangat muda, tetapi pertumbuhan badannya demikian cepat sebagaimana yang lazim dialami oleh kaum wanita Arab, dan itulah yang menyebabkan mereka kelihatan tua setelah berusia lebih dari 20 tahun …. Akan tetapi perkawinan itu (yakni pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan ‘A’isyah r.a.) ternyata menarik perhatian beberapa penulis sejarah. Mereka melihat persoalan itu dengan kacamata masyarakat tempat mereka hidup. Mereka tidak mengetahui bahwa perkawinan seperti yang terjadi pada masa dahulu itu hingga sekarang masih menjadi kebiasaan di negeri-negeri Asia. Mereka tidak juga mau berpikir bahwa kebiasaan seperti itu masih berlaku di Eropa Timur, bahkan beberapa tahun lalu masih dianggap wajar di Spanyol dan Portugis. Di beberapa daerah pegunungan Amerika Serikat pun itu merupakan kebiasaan hingga sekarang ….”[1]
[1] R.W. Boudly, Ar-Rasul (terjemahan bahasa Arab), hlm. 129.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini