Beberapa minggu setelah perkawinan Aminah dengan “Abdullah pada suatu malam ia mimpi melihat pancaran sinar terang benderang dari sekitar dirinya sehingga ia seolah-olah dapat melihat istana-istana di Bushara dan di negeri Syam. Tidak berapa lama sesudah itu ia mendengar suara berkata kepadanya, “Engkau telah hamil dan akan melahirkan orang termulia di kalangan umat ini.”
Mendengar mimpi istrinya seperti itu Abdullah bukan main gembiranya, akan tetapi kegembiraan itu segera disusul dengan kesedihan, karena ia harus segera bergabung dengan kafilah perniagaan Quraisy yang akan berangkat ke Gaza dan Syam ….
Tibalah saat perpisahan. Tidak seorang pun yang mengetahui apakah perpisahan dua orang suami-istri yang baru kawin itu bersifat sementara, ataukah untuk selama-lamanya. Pada waktu yang sudah ditentukan, berangkatlah Abdullah bin Abdul-Muththalib bersama rombongan kafilah Quraisy….
Lewatlah sebulan sudah Aminah ditinggal pergi suami tercinta. Hari berganti hari dan minggu berganti minggu, Aminah tetap tinggal di rumah, bahkan lebih sering berada di tempat tidur. Kadang duduk dan kadang berbaring resah membayangkan suaminya yang sedang menempuh perjalanan jauh. Keluarga Abdul-Muththalib berusaha menghibur Aminah dan mengisi kesunyian hatinya dengan berbagai tutur kata manis meriangkan. Mereka mengkhawatirkan kesehatan Aminah bila dibiarkan terus-menerus berada di pembaringan. Akan tetapi Aminah lebih suka menyendiri, bahkan bila ada orang lain mendekat hendak menemaninya dianggap sebagai mengganggu keasyikanjiwanya yang mengembara di alam khayal….
Sebulan lewat tanpa terjadi hal-hal baru yang dialami Aminah selain merasakan keidamannya (tanda awal kehamilan). Namun keidaman yang dirasakan itu tidak seberat yang dirasakan wanita lain. Dengan kehamilannya itu Aminah makin merindukan suaminya yang sedang bepergian jauh. Makin besar kandungannya kerinduan Aminah makin mencekam perasaannya. Kepergian Abdullah sudah melampaui bulan kedua. Biasanya, setelah masa dua bulan lewat kafilah Quraisy yang berniaga di negeri Gaza atau Syam, tak lama lagi akan segera pulang.
Pada suatu pagi ia melihat gugus depan sebuah kafilah berjalan menuju pusat kota Makkah Quraisy, dan tidak ada apa pun yang di pikirkan selain bagaimana keadaan suaminya! Adakah Abdullah datang dari Syam itu? Ia terpogoh-pogoh berjalan keluar untuk melihat kafilah yang tampak semakin dekat. Demikian resah hati hatinya ingin segera melihat suaminya, sehingga ia seolah-olah melihat kafilah itu berjalan lambat bagaikan semut! Ia menyuruh pembantunya, Barakah Ummu Aiman, supaya mencegat kedatangan kafilah untuk mencari kepastian, apakah suaminya termasuk dalam rombngan kafilah itu atau tidak. Lama ia menunggu, tetapi Ummu Aiman tak kunjung dating. Di sekitar pemukiman Bani Hasyim terdengar suara hiruk pikuk orang menyambut kedatangan keluarganya masing-masing. Aminah dengan sabar menunggu. Suara gaduh mereda sedikit demi sedikit, tetapi suami yang di tunggu-tunggu belum juga tiba. Demikian juga Barakah Ummu Aiman, lama ditunggu kabarnya, tetapi ia pulang dengan tangan hampa. Ia sudah melihat anggota kafilah-kafilah yang data satu demi satu, tetapi Abdullah bin Abdul Muthtalib tidak tampak di tengah mereka.
Baru saja masuk ke dalam rumah merebahkan diri dari kebingungan di atas tempat tidur, tiba-tiba ia mendengar suara pintu diketuk orang. Abdullahkah gerangan? Ia segera bangun membukakan pintu, ternyata yang datang bukan Abdullah melainkan mertuanya, Abdul-Muththalib bin Hasyim, ditemani ayahnya sendiri, Wahb, bersama beberapa orang Bani Hasyim. Dengan penuh perhatian Aminah mendengarkan kata-kata ayahnya, “Aminah, tabahkan hatimu menghadapi soal-soal yang terasa mencemaskan. Kafilah yang kita nantikan kedatangannya telah tiba kembali di Makkah. Ketika kami tanyakan kepada para peserta kafilah itu mereka memberi tahu, bahwa suamimu mendadak sakit dalam perjalanan pulang. Setelah sembuh ia akan segera kembali dengan selamat…..”
Abdul-Muththalib menyambung, “Memang begitulah, Aminah! Ia hanya sakit demam, tidak lebih dari itu. Teman-temannya memberi tahu bahwa suamimu untuk sementara menumpang di rumah pamannya dari Bani Makhzum. Saya sudah menyuruh saudaranya, Al-Harits, berangkat ke sana untuk menemani dan mengantarnya pulang bila telah sehat. Sabar sajalah dulu, dan berdoalah agar ia segera sembuh
Dua bulan lamanya Aminah dengan sekuat tenaga menyabarkan diri dan melawan perasaan putus asa. Apabila bayangan buruk muncul ia segera menghadapkan diri kepada Allah semoga berkenan memulangkan suaminya dalam keadaan sehat dan selamat. Di waktu-waktu tidur ia sering mimpi menyaksikan kelahiran putranya dalam suasana kebesaran. Akan tetapi mimpi yang amat membahagiakan itu segera lenyap di saat ia terjaga dan tidak melihat suami berada di sampingnya.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini