Tibalah kafilah Quraisy di Makkah dengan selamat. Keluarga dari masing-masing anggota kafilah menyambut berbondong-bondong mengerumuni unta-unta yang masih tampak letih. Mereka bergembira-ria menyambut kedatangan keluarganya masing-masing. Tentu saja disertai harapan bahwa keluarga yang baru datang itu beroleh rezeki yang sepadan dengan jerih payah perjalanan jauh ke negeri Syam.
Itulah mereka, tetapi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam siapakah yang menyambut kedatangannya? Beliau langsung menuju ke rumah Khadijah r.a. setelah beberapa kali ber-thawaf mengitari Ka’bah. Saat itu Khadijah sedang berada di rumah. Dari sotoh (lantai terbuka di atas atap rumah) rumahnya yang tinggi itu ia dengan resah gelisah mengamati jalan yang dilewati kafilah. Maisarah yang datang lebih dulu duduk di sebelah Khadijah r.a. sambil menceritakan segala yang disaksikannya dalam bepergian ke Syam, khususnya mengenai perilaku Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallamselama berniaga di negeri itu. Begitu rupa cara Maisarah bercerita hingga sangat menarik perhatian majikannya, Khadijah r.a.3 Ketika tampak Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menuju ke arah rumahnya, Khadijah r.a. yang tak sabar menanti cepat turun untuk menyambut kedatangan beliau. Dengan ramah dan suara lemah lembut ia mengucapkan selamat datang seraya berdiri di depan pintu. Sejenak Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengangkat kepala dan dua mata saling beradu pandang. Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam malu tersipu-sipu dan segera membuang pandangannya ke arah lain. Beliau mengangguk tanda pernyataan terima kasih atas kesempatan berniaga yang diberikan oleh Khadijah r.a. Tanpa membuang-buang waktu beliau segera melaporkan hasil-hasil perniagaan yang diperoleh dari Syam sambil menyerahkan beberapa macam barang sebagai oleh-oleh. Tanpa disadari apa sebabnya Khadijah r.a. ketika itu diam terpaku. Lidahnya terasa sulit bergerak untuk mengucapkan kata-kata. Ia terpesona menyaksikan kejujuran seorang pria yang dipercayainya berniaga ke rantau menjualkan barang-barang dagangannya. Tanpa sepatah kata pun ia menyerahkan bagian keuntungan yang telah dijanjikan kepada Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Hingga beliau beranjak meninggalkan tempat, Khadijah masih tetap termangu—mangu. Dengan suara lirih dan irama sejuk ia mengucapkan “selamat jalan.” Beliau tampak makin jauh meninggalkan rumah Khadijah r.a., tetapi janda rupawan dan hartawan yang berusia empat puluh tahun itu tetap mengarahkan pandangan matanya ke arah beliau yang makin lama makin jauh dan akhirnya menghilang di tikungan jalan …. Beliau pulang ke rumah pamandanya, Abu Thalib, dengan perasaan lega dan gembira. Pertama, karena beliau tiba kembali di Makkah, selamat dari gangguan orang-orang Yahudi di Syam. Kedua, karena beliau dapat meringankan beban penghidupan pamandanya sekeluarga.
Perkawinan Bahagia
Beberapa hari setiba kafdah Quraisy dari Syam, kota Makkah tampak sibuk. Kaum saudagar besar menghitung-hitung untung-rugi dari penjualan barang-barang dagangannya yang dibawa oleh tenaga-tenaga upahan ke negeri Syam. Mereka sekarang telah berada di tengah-tengah keluarganya untuk beristirahat setelah mengalami jerih payah dalam perjalanan jauh yang penuh resiko. Hubungan mereka dengan para saudagar besar yang lain terputus sementara hingga tiba musim kebe-rangkatan kafilah beberapa bulan mendatang. Hanya hubungan Khadijah r.a. dengan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sajalah yang tidak terputus. Khadijah r.a. adalah seorang wanita yang sudah mengalami manis-pahitnya berumah tangga. Ia pernah dua kali nikah dengan dua orang pria terpandang dalam masyarakat, yaitu Atiq bin Aid bin Abdullah Al-Makhzumiy dan Abu Halah Hindun bin Zararah At-Tamimiy.4 Dalam kegiatan mengemudikan perniagaan ia banyak mempekerjakan orang-orang lelaki, baik yang sudah berkeluarga maupun yang masih jejaka. Akan tetapi di antara mereka semua dalam pandangan Khadijah r.a. tidak ada seorang pun yang memiliki sifat-sifat dan perangai mulia seperti Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Dalam waktu cukup lama Khadijah r.a. tercekam pikiran dan perasaannya oleh harapan untuk dapat hidup berdampingan dengan seorang pemuda yang anggun dan berbudi, seorang pemuda Bani Hasyim yang menjadi buah bibir masyarakat. Perasaan aneh sering muncul dalam dirinya dan setiap terbayang seorang pemuda yang telah menguasai hatinya itu, badannya terasa lemah lunglai dan denyut jantungnya makin bertambah cepat. Hati Khadijah terbenam di dalam asmara, makin lama duduk termenung makin tak tahu apa yang harus diperbuat. Ia sadar telah jatuh cinta kepada Muhammad saw., tetapi apakah cinta yang meronta di dalam dadanya itu akan mendapat sambutan beliau? Berbagai macam angan-angan dan khayalan muncul silih berganti, kadang menggembirakan dan kadang memedihkan. Hatinya bertanya-tanya: Bagaimanakah jika pemuda yang dikagumi dan dicintainya itu tidak menyambut cintanya? Jika cintanya mendapat sambutan baik, bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap dirinya? Bukankah ia sudah dikenal sebagai seorang janda yang tidak berniat membangun rumah tangga lagi karena kepahitan dua kali perkawinan di masa lalu? Berapa kali sudah ia menolak lamaran sejumlah pria terpandang dari kalangan masyarakatnya? Apa yang akan dikatakan oleh tokoh-tokoh Quraisy dan lain-lain yang pernah melamarnya?
Ah… semuanya itu tidak perlu banyak dipikirkan. Mengapa ia merisaukan orang lain. Yang penting baginya ialah perlu segera mengetahui bagaimanakah sambutan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam terhadap cintanya! Mungkinkah beliau berkenan menerima tumpahan isi hatinya? Bukankah ia seorang janda berusia empat puluh tahun, sedangkan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun? Khadijah mengetahui bahwa pujaan hatinya itu tidak tertarik oleh gadis-gadis Quraisy dan Bani Hasyim yang sedang mekar-mekarnya. Mungkinkah beliau tertarik padanya… ? Khadijah kadang-kadang merasa malu kepada dirinya sendiri, karena ia menyadari usianya sebanding dengan usia bibi atau ibunda Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Ia membayangkan Aminah binti Wahb, seumpama masih hidup tentunya sebaya dengan dirinya. Lebih-lebih lagi dari dua orang suaminya terdahulu ia beroleh dua orang anak. Dari Atiq bin Aid Al-Makhzumiy ia beroleh seorang anak perempuan yang sudah mencapai usia pernikahan, dan dari Abu Halah Hindun bin Zararah At-Tamimiy ia beroleh seorang anak lelaki yang diberi nama “Hindun.”[1] Kadang-kadang Khadijah r.a. merasa putus asa lalu berkata dalam hati: Apa gunanya pohon asmara yang tak dapat diharapkan buahnya?!
[1]Lihat Jamharatul-Ansab: 133 dan Al-Isti’ab: IV/1545.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini