Dalam suasana keresahan dan kebingungan melanda pikiran Khadijah r.a., datanglah teman wanitanya bernama Nafisah binti Munayyah. Bagi Khadijah r.a. Nafisah bukan sekadar teman biasa, bahkan lebih dari itu. Ia dianggap sebagai saudara sendiri. Karena itu tak ada soal-soal pribadi yang harus dirahasiakan kepadanya. Kini tahulah sudah Nafisah apa yang bergejolak di dalam hati Khadijah r.a. Ia rela menjembatani hubungan yang hendak dibangun oleh Khadijah r.a. dengan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Pada suatu kesempatan yang dianggapnya tepat datanglah Nafisah kepada Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.[1] Kepada Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. ia menanyakan mengapa beliau lebih suka membujang … bukankah lebih baik dan lebih tenteram kalau beliau berumah tangga, hidup didampingi seorang istri yang akan menghilangkan kesepiannya? Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. beberapa saat tidak menyahut. Beliau teringat akan nasib hidupnya yang sejak lahir dirundung malang. Ketika teringat akan bundanya, beliau tak dapat lagi menahan linangan air mata. Setelah ketenangannya pulih kembali beliau balik bertanya:
“Dengan apa aku dapat beristri…?”
Belum selesai beliau mengucapkan kata-katanya, Nafisah cepat-cepat melanjutkan pertanyaannya:
“Jika Anda dikehendaki oleh seorang wanita rupawan, hartawan, dan bangsawan, apakah Anda bersedia menerimanya?”
Mendengar pertanyaan itu Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam segera mengerti wanita mana yang dimaksud oleh Nafisah. Wanita itu bukan lain tentu Khadijah binti Khuwailid. Wanita lain manakah yang rupawan, hartawan, dan bangsawan, kalau bukan dia? Kalau benar-benar ia menghendaki tentu beliau bersedia, tetapi benarkah ia menghendaki beliau?
Tanpa memperpanjang percakapan lagi Nafisah cepat-cepat minta diri untuk meninggalkan tempat, meninggalkan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam seorang diri dengan segala gejolak pikiran dan perasaannya. Beliau sudah sering mendengar berita bahwa Khadijah berulang-ulang menolak lamaran tokoh-tokoh dan bangawan-bangsawan Quraisy yang kaya dan terhormat. Pada mulanya beliau agak terpengaruh pikirannya oleh apa yang dikatakan Nafisah, tetapi pada akhirnya beliau sanggup mengendalikannya dan terserah saja pada kenyataan nanti. Beliau lalu keluar meninggalkan rumah berjalan menuju Ka’bah hendak ber-thawaf sebagaimana yang sudah biasa dilakukan. Di tengah jalan beliau disapa oleh seorang perempuan tua yang oleh masyarakat Makkah dikenal sebagai jururamal. Ia minta agar beliau berhenti sejenak, kemudian bertanya, “Hai Muhammad, Anda tampaknya baru saja melamar Khadijah !” Beliau terperanjat juga mendengar pertanyaan seperti itu. Beliau menjawab dengan sebenarnya, “Tidak, Perempuan tua itu segera melanjutkan kata-katanya, “Mengapa? Demi Allah, di kalangan Quraisy tidak ada perempuan yang merasa sepadan (kufii’) denganmu, walau Khadijah sekalipun!”7
Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak menghiraukan apa yang dikatakan oleh jururamal itu. Beliau hanya tersenyum lalu terus berjalan menuju Ka’bah.
Beberapa minggu setelah bertemu dengan Nafisah beliau menerima undangan dari Khadijah r.a. untuk datang ke rumahnya bersama dua orang pamandanya, Abu Thalib dan Hamzah (dua-duanya putra Abdul-Muththalib). Di rumah Khadijah sudah menunggu beberapa orang dari kaum kerabatnya. Segala sesuatunya tampak telah dipersiapkan demikian rupa untuk menerima kedatangan tamu penting. Setelah berbasa-basi beberapa saat kemudian Abu Thalib berkata, “Muhammad adalah seorang pemuda yang tak ada tolok bandingnya di kalangan kaum Quraisy. Ia melebihi semua pemuda dalam hal kehormatan, kemuliaan, keutamaan, dan kecerdasan. Meskipun ia bukan orang kaya, namun kekayaan itu dapat lenyap, karena setiap pinjaman (titipan) pasti akan diminta kembali. Ia mempunyai keinginan terhadap Khadijah binti Khuwailid, begitu pula sebaliknya.
Paman Khadijah r.a. yang bernama Amr bin Asad bin Abdul-‘Uzza bin Qushaiy, yang dalam pertemuan itu bertindak selaku wali menyahut setelah membenarkan apa yang dikatakan oleh Abu Thalib dan memuji-muji Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallamIa berkata, “Kunikahkan Khadijah dengan Muhammad atas dasar maskawin bernilai dua puluh bakrah.”[2]
Usai ijab-kabul pernikahan diselenggarakan walimah dengan menyembelih beberapa ekor unta dan kambing, dihadiri oleh sahabat dan handai tolan kedua pengantin. Di antara mereka ternyata hadir pula Halimah As-Sa’diyyah dari daerah permukiman Bani Sa’ad yang cukup jauh dari tengah kota Makkah. Ia datang untuk menyaksikan pernikahan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallamsebagai anak susuannya yang ketika masih kecil diserahkan kepadanya oleh Aminah binti Wahb, bunda Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallamKetika pulang ke daerah tempat tinggalnya Halimah dibekali sejumlah bahan makanan oleh Khadijah r.a. sebagai tanda terima kasih atas jasa-jasanya mengasuh suami tercinta di masa kanak-kanak. Konon di antara berbagai bahan makanan itu terdapat lebih dari empat puluh kepala kambing.
Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallamkini telah beroleh teman hidup yang dengan lembut penuh rasa kasih sayang menghiburnya dari duka derita dan kemalangan yang menimpa dirinya sejak lahir.
[1]Demikianlah riwayat yang termaktub di dalam Syarhul-Mawahib dan hhabah. Dalam Sirah Ibnu Hisydm disebut, Khadijah r.a. menyatakan sendiri keinginannya tanpa melalui perantara. Dalam Tarikh Ath-Thabariy disebut, Khadijah mengirim utusan kepada Muhammad saw., tetapi tidak disebut siapa utusan itu.
[2]Menurut riwayat Ibnu Ishaq dan Az-Zuhriy yang menikahkan Khadijah ketika itu adalah ayahnya sendiri. Lihat Uyunul-Atsar: 1/50 danAs-Sirah: 1/201. Sumber riwayat lain yang menikahkan ialah ‘Amr bin Asad bin ‘Abdul-‘Uzza bin Qushaiy, dan maskawin yang diserahkan oleh Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.