Pada malam lailatul-qadr di gua Hira, yaitu ketika turun wahyu Ilahi pertama yang dibawakan kepada beliau oleh malaikat Jibril a.s., beliau sangat ketakutan. Dengan wajah pucat pasi dan badan gemetar menjelang fajar beliau segera pulang ke rumah, seolah-olah hendak mencari tempat yang aman di bawah naungan istri yang setia, ramah, dan lemah lembut. Dengan suara terputus-putus dan badan menggigil beliau menceritakan kepada Khadijah r.a. apa yang baru disaksikannya di gua Hira dan terus terang beliau menyatakan ketakutannya. Bagaikan seorang ibu yang hendak melindungi anaknya dari marabahaya, Khadijah merangkul suaminya lalu mendekapkannya erat-erat di dada seraya berkata lembut menghibur:
“Ya Abul-Qasim,[1] Allah melindungi kita, tenangkan dan mantapkan hati Anda! Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, aku berharap Anda akan menjadi Nabi bagi umat ini! Allah sama sekali tidak akan menistakan Anda … Anda seorang yang menjaga baik hubungan silaturrahmi, selalu berbicara benar, sanggup menghadapi kesukaran, hormat kepada tamu dan menolong orang-orang yang berada di atas kebenaran.”[2]
Suara lembut seorang istri yang penuh rasa keibuan ternyata meredakan ketakutan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Lambat laun ketenangan beliau pulih kembali kemudian tertidur pulas bermandikan keringat dingin. Khadijah r.a. yang hatinya penuh dengan kepercayaan bahwa suaminya bukan mengigau dan bukan “kemasukan jin,” dengan perlahan-lahan meninggalkan suaminya terbaring berselimut. Apakah sesungguhnya yang disaksikan suaminya di gua Hira? Benarkah suaminya akan menjadi Nabi seperti yang sejak dahulu banyak dibicarakan dan diramalkan kedatangannya oleh masyarakat luas? Niat hendak bertanya kepada saudara misannya, seorang pendeta Nasrani bernama Waraqah bin Naufal, timbul mendadak di dalam hati. Ia mengayun kaki ke lengkan pintu, tetapi apakah suaminya yang masih tertidur itu harus ditinggal seorang diri? Namun pada akhirnya pergi jugalah ia ke rumah Waraqah bin Naufal yang di kalangan masyarakat Nasrani setempat terkenal sebagai penginjil terkemuka. Hari masih pagi dan udara masih terasa dingin. Kedatangannya diterima baik oleh Waraqah. Setelah dipersilakan duduk, Khadijah diminta untuk menerangkan maksud kedatangannya di pagi buta. Waraqah yang sudah lanjut usia tak dapat berjalan baik, sambil duduk mendengarkan semua yang diceritakan oleh Khadijah r.a. Tiba-tiba wajahnya tampak kemerah-merahan berseri-seri dengan semangat Waraqah menyahut:
“Quddus … Quddus…. Demi Tuhan yang menentukan hidup-matiku, jika engkau percaya, hai Khadijah, yang datang kepadanya itu adalah malaikat terbesar yang dahulu datang kepada Musa dan ‘Isa! Ia (Muhammad) adalah Nabi bagi umat ini…. Katakan kepadanya hendaknya ia tetap tabah dan mantap.”
Tanpa menunggu tambahan penjelasan lagi Khadijah cepat-cepat minta diri untuk segera pulang. Laksana terbang ia berjalan cepat ingin segera menyampaikan berita gembira itu kepada suaminya …. Namun ternyata Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam masih tidur, dan Khadijah tidak tega membangunkannya. Beberapa saat ia duduk di sampingnya menunggu hingga beliau terbangun sendiri dari tidurnya …. Dengan keringat dingin membasahi muka dan dengan nafas terengah-engah Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bergerak, kemudian membuka mata dan bangun. Beberapa saat beliau tampak masih dalam keadaan seperti itu hingga pulih kembali ketenangannya. Begitu rupa keadaan beliau hingga kelihatan sedang mendengarkan orang berbicara di depannya perlahan-lahan, seakan-akan sedang meng-imla-kan kalimat-kalimat yang tak boleh dilupakan:
يا يها المدثر . قم فانذر , وربك فكبر وثيابك فطهر والرجز فاهجر ولا تمنن تستكثر , ولربك فاصبر
Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan (kepada semua manusia), dan agungkanlah Allah, Tuhanmu, bersihkanlah pakaian-mu dan jauhilah perbuatan dosa. Janganlah engkau memberi (dengan harapan) mendapat balasan lebih banyak. Hendaklah engkau tabah (sabar) dalam melaksanakan perintah Allah, Tuhanmul (QS Al-Muddatstsir: 1-7)
Dengan mata bersinar-sinar Khadijah r.a. menatap wajah suaminya seraya memberitahukan apa yang baru saja dikatakan oleh Waraqah bin Naufal kepadanya. Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memandang wajah istrinya dengan rasa terima kasih … beberapa saat menoleh ke kanan dan ke kiri sekitar tempat tidur, tetapi tak ada orang lain kecuali istrinya …. Akhirnya beliau berkata, “Khadijah, habislah sudah waktu untuk tidur dan beristirahat. Malaikat Jibril menyuruhku memberi peringatan kepada semua manusia dan mengajak mereka supaya bersembah sujud serta beribadah hanya kepada Allah. Siapakah gerangan yang dapat kuajak dan siapa pula yang akan menerima ajakanku?”
Seketika itu juga Khadijah r.a. tanpa ragu-ragu menyatakan, dialah manusia pertama yang beriman kepada beliau. Betapa tenang dan tenteram pikiran beliau menyaksikan sambutan istrinya yang dengan semangat menyatakan keimanan kepada Allah dan mengakui serta membenarkan kenabian beliau. Namun beliau masih ingin mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh Waraqah mengenai kenabiannya. Beliau berangkat ke rumah Waraqah bersama istrinya. Ketika Waraqah melihat dari jendela rumahnya kedatangan Khadijah bersama suaminya ia menyambutnya dengan suara keras:
“Demi Tuhan yang nyawaku berada di tangan-Nya, Anda benar-benar Nabi bagi umat ini. Anda pasti akan didustakan orang, akan diganggu, akan diusir, dan akan diperangi. Seumpama aku mengalami hari-hari mendatang itu, kebenaran Allah pasti kubela …!”
Kemudian Waraqah minta agar Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mendekat kepadanya … lalu diciumlah ubun-ubunnya. Setelah itu beliau bertanya, “Benarlah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya …. Setiap orang yang datang membawa seperti yang engkau bawa itu ia pasti dimusuhi. Betapa beruntung kalau aku masih muda…. Alangkah beruntung kalau aku masih hidup!”[3]
Tenteramlah sudah jiwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam., tidak lagi cemas gelisah seperti pada saat menerima wahyu pertama. Dari rumah Wara-qah beliau pulang bersama Khadijah r.a. Beliau bertekad hendak memulai dakwahnya sebagaimana diperintahkan Allah. Beliau yakin bakal menghadapi permusuhan keras dari kaumnya. Sebab bagaimanapun kaum musyrikin Quraisy tidak akan rela “agama” mereka diusik dan disalah-salahkan. Mereka tidak akan tinggal diam “kepercayaan”-nya dicela dan “tuhan-tuhan” pusaka nenek moyangnya dihina, kendati yang mereka sembah dan mereka puja-puja itu adalah patung-patung terbuat dari batu.
Dalam melaksanakan perintah Ilahi yang berat dan penuh risiko itu Khadijah r.a. tidak hanya mendukungnya, tetapi bahkan membantu, memperkuat, dan mendorong suaminya supaya terus maju dan tabah menghadapi berbagai macam gangguan, ejekan, dan penghinaan. Ketika kaum musyrikin Quraisy melancarkan pemboikotan total (embargo ekonomi dan sosial) terhadap semua orang Bani Hasyim dan Bani Abdul-Muththalib (kaum kerabat Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.) serta mengusir mereka keluar dari tengah kota dan minggir ke syi’ib5 Abu Thalib, Khadijah r.a. tanpa ragu-ragu meninggalkan segala-galanya mengikuti Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berkumpul di tempat tersebut bersama kaum kerabat Nabi.
Duka derita, haus dan lapar ia tetap menyertai suaminya, bahkan terus mendorong beliau agar tabah dan sabar menghadapi cobaan, betapapun beratnya, demi kebenaran Allah. Ia rela meninggalkan rumah kesayangan yang dihuninya sejak kanak-kanak, rela meninggalkan kaum kerabatnya sendiri, rela meninggalkan perniagaannya yang mendatangkan banyak keuntungan dan rela mengorbankan harta kekayaannya. Padahal ketika itu ia sudah bukan wanita muda lagi, melainkan sudah berusia enam puluh tahun lebih. Beban usia lanjut, penderitaan dan penindasan kaum musyrikin Quraisy dihadapinya dengan gigih. Ia bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan kaum kerabatnya tinggal di dalam syi’ib Abu Thalib selama kurang-lebih tiga tahun. Kesukaran hidup dan penderitaan selama berada di dalam syi’ib sangat berpengaruh pada kondisi kesehatannya, tetapi semuanya tidak mengurangi kesetiaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
[1]Nama panggilan pribadi Muhammad Rasulullah saw. “Abu” bermakna “Bapak” dan “Al-Qasim” adalah nama putra pertama beliau yang wafat dalam usia kanak-kanak.
[2]Lihat Sirah Ibnu Hisyam: 1/253 dan Tarikh Ath-Thabariy 11/250.
[3]Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Sirah Ibnu Hisyam: 1/254, dan Tarikh Ath-Thabariy. 11/206-207.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini