Tak Terlupakan Seumur Hidup
Benarkah Khadijah r.a. sudah tiada?
Tidak! Ia tetap hidup di dalam hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Ia selalu membayang-bayangi ingatan di mana pun beliau berada. Ia bagaikan pancaran sinar di tengah gelap gulita….
Benar, sepeninggal Khadijah r.a. Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam nikah dengan beberapa orang wanita; ada yang muda remaja, ada yang rupawan, ada yang gadis, dan ada pula yang janda. Namun, bayangan Khadijah r.a. tidak sirna dan ketenteraman rumah tangganya pun tidak sama dengan masa sebelumnya. Khadijah r.a. adalah istri tunggal beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam selama seperempat abad, tidak ada wanita lain yang menjadi madunya. Tampaknya kesan beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengenai istri kesayangan itu amat mendalam di lubuk hati sehingga tak dapat terlupakan. Setelah Khadijah r.a. wafat para istri beliau berikutnya masing-masing berusaha merebut dan menguasai hati beliau, tetapi kedudukan Khadijah r.a. di hati beliau tak tergoyahkan.
Kaum Muslimin Madinah menjadi saksi, beberapa tahun kemudian seusai kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Badr, terdapat seorang tawanan yang hendak ditebus oleh keluarga Quraisy. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam melihat barang tebusan itu berupa seuntai kalung yang dahulu pernah diberikan oleh Khadijah r.a. sebagai hadiah kepada putrinya yang bernama Zainab, beliau minta kepada para sahabatnya supaya barang itu dikembalikan saja dan tawanan yang hendak ditebus itu dibebaskan. Ternyata tawanan itu adalah mantu beliau sendiri— ketika itu belum memeluk Islam—Abul-‘Ash bin Ar-Rabi’ dan yang hendak menebusnya adalah putri beliau yang masih tinggal di Makkah, Zainab binti Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.[1]
‘A’isyah r.a., istri Nabi yang termuda, juga menjadi saksi akan betapa mantapnya kedudukan Khadijah dalam hati Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Di antara para istri lainnya, ‘A’isyah merupakan istri yang paling cerdas, periang, lembut, dan ramah. Pada suatu hari Halah (saudara perempuan Khadijah r.a.) datang ke Madinah berkunjung ke keluarga Nabi. Ia diterima oleh ‘A’isyah r.a. Ketika Halah baru sampai di halaman rumah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sudah mendengar suaranya yang hampir sama dengan suara Khadijah r.a. Seketika itujuga dengan jantung berdebar-debar beliau menyapa dengan suara keras, “Ya Allah … Halah!”
Suatu saat di kala sedang berbincang-bincang ‘A’isyah tidak dapat menguasai dirinya ketika mendengar berulang-ulang Rasulullah menyebut Khadijah r.a. Terlepas ucapan dari lidahnya, “Nenek-nenek dari Quraisy yang berpipi kempot dan jompo yang Anda sebut itu Allah sudah memberi penggantinya kepada Anda yang lebih baik!” (Shahih Muslim).
Mendengar itu wajah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tampak merah padam dan dengan gusar menjawab, “Demi Allah, Allah tidak memberi kepadaku penggantinya yang lebih baik. Ia beriman kepadaku di kala semua orang mengingkari kenabianku. Ia membenarkan kenabianku sewaktu semua orang mendustakan diriku. Ia menyantuniku dengan hartanya di kala semua orang tidak mau menolongku. Melalui dia Allah menganugerahi anak kepadaku, tidak dari istri yang lain!”
Sebelum itu ‘A’isyah sering tidak dapat mengendalikan kata-katanya mengenai Khadijah r.a. Akan tetapi sejak saat itu ia berjanji kepada diri sendiri tidak lagi akan menyebut-nyebut nama Khadijah r.a., demi menjaga perasaan Rasulullah saw.
Pada suatu hari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menyembelih seekor kambing. Beliau menyuruh salah seorang sahabat mengantarkan sebagian dagingnya kepada teman-teman Khadijah r.a. yang masih hidup. Ketika ‘A’isyah r.a. bertanya, beliau menjawab singkat, “Aku sungguh menyayangi teman-teman Khadijah!” (Al-Istiab: IV/1824). Menurut hadis shahih yang diriwayatkan oleh Muslim, ketika itu beliau menyahut, “Aku telah dikaruniai kecintaannya.”
Kepada salah seorang teman wanita ‘A’isyah r.a. pernah menyatakan isi hatinya, “Aku tidak pernah iri hati kepada perempuan lain kecuali Khadijah. Betapa tidak, Rasulullah baru nikah denganku setelah ia meninggal dunia!” ‘A’isyah iri hati karena hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sudah direbut sepenuhnya oleh Khadijah.
Ucapan ‘A’isyah r.a. tersebut diriwayatkan dalam hadis shahih oleh Muslim sebagai berikut, “Mengenai Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak ada perempuan lain yang kucemburui seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, karena aku sering mendengar beliau menyebutnya. Lagi pula beliau baru menikah denganku tiga tahun setelah Khadijah wafat…!” (Shahih Muslim, hadis nomor 235).
Pada hari Fathu Makkah (jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum Muslimin), yakni kurang-lebih dua puluh tahun setelah Khadijah r.a. wafat, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam membuat sebuah kubah dekat pusara istri pertamanya itu, dan dari tempat itu beliau tinggal beberapa hari sambil mengamati kota Makkah. Di dekat pusara Khadijah r.a. itu beliau merasa sangat tenteram, kemudian menuju Ka’bah untuk ber-thawaf sambil memimpin penghancuran patung-patung berhala yang dahulu dipancangkan kaum musyrikin di atas “Rumah Allah” itu.
Setelah Khadijah r.a. memeluk Islam menyusul kemudian berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan berjuta-juta wanita lain di berbagai pelosok dunia. Namun, Khadijah r.a. adalah wanita satu-satunya yang menempati kedudukan kokoh di dalam hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Ia berjasa besar bagi kehidupan pribadi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan bagi kelangsungan dakwahnya. Demikian besar pengaruh keimanan Khadijah r.a. kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sehingga seorang orientalis Barat yang bernama Bodley mengatakan dalam pengakuanya:
“Kepercayaannya (Khadijah r.a.) kepada lelaki yang dinikahinya (yakni Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.)—karena ia mencintainya—mencerahkan suasana kepercayaan pada tahap-tahap pertama suatu akidah agama yang dewasa ini dipeluk oleh satu dari setiap tujuh orang penduduk dunia.”[2]
Mergiliouth dan Muir dua orang orientalis Barat sangat anti-Islam menilai bahwa kecintaan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam kepada Khadijah hanya karena harta kekayaan dan kedudukan wanita itu di kalangan masyarakat Quraisy. Kedua-duanya menuduh, “Muhammad takut kalau-kalau Khadijah minta cerai!” Begitulah yang dikatakan oleh Muir (Sir William Muir) di dalam bukunya yang berjudul The Life of Mohamed and the History o f Islam.
Kalau apa yang dikatakannya itu benar, mengapa kesetiaan dan kecintaan Rasulullah Shalallahu
[1] Sirah Ibnu Hisyam: 11/207.
[2] Bodley, Ar-Rasul. Terjemahan bahasa Arab oleh Muhammad Faraj dan Abdul-Hamid As-Sahhar.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini