Hai anakku, jangan engkau iri hati kepada perempuan yang bangga karena kecantikannya dan karena kecintaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam kepadanya! Demi Allah, engkau tentu tahu bahwa Rasulullah tidak mencintaimu, dan kalau bukan karena aku engkau tentu sudah dicerai.”
(Dari ‘Umar Ibnul-Khaththab dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)
Menantu Mulia
Dari kabilah Bani Sahm tidak ada seorang pria Muslim yang turut berperang membela Islam dalam perang “Badr” kecuali seorang sahabat Nabi bernama Khunais bin Hudzafah bin Qais bin ‘Adiy As-Sahmiy Al-Qurasyiy. Ia termasuk orang yang dini beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta dua kali hijrah bersama rombongan lainnya. Yang pertama ke Habasyah (Ethiopia) dan yang kedua ke Madinah. Ia pun turut dalam peperangan yang sama di “Uhud,” dan karena luka-lukanya ia wafat di Madinah, meninggalkan istri yang masih muda, Hafshah binti ‘Umar bin Al-Khaththab r.a.
‘Umar sungguh sedih dan prihatin melihat putrinya yang baru berusia delapan belas tahun hidup menjanda. Ia benar-benar kasihan dan sangat khawatir kalau putrinya itu akan kehilangan masa mudanya. Setiap hari ia tak sampai hati melihat putrinya tampak sedih, sering duduk menyendiri, nyaris kehilangan gairah hidup. Mulailah ‘Umar berusaha mencarikan teman hidup bagi putrinya. Ia berpikir, jika putrinya telah berumah tangga lagi barang selama enam bulan atau lebih tentu akan dapat melupakan kenangan pahit ditinggal wafat suami pertama….
Setelah banyak berpikir, menimbang, dan memilih ia berpendapat betapa baiknya kalau putrinya itu dinikahkan saja dengan teman karibnya sendiri, sahabat Nabi terkemuka dan sekaligus mertua beliau, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Mengenai perbedaan usia antara Abu Bakar dan Hafshah bukan soal dan tidak aneh di kalangan masyarakat Arab pada masa itu. ‘Umar mengenal baik Abu Bakar sebagai orang yang cukup usia, dewasa berpikir, berperangai lembut, berakhlak mulia, dan rendah hati. Orang seperti itu tentu akan sanggup membimbing istri semuda Hafshah, yang mewarisi tabiat kaku, mudah curiga, berperasaan peka, dan gejala-gejala kejiwaan lainnya akibat tekanan kehidupannya sebagai janda muda. Betapa senangnya ‘Umar kalau beroleh seorang menantu yang dicintai Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam
Tanpa bimbang ragu ‘Umar berusaha ke arah itu. Ia menemui Abu Bakar r.a. dan dengan terus terang ia menyatakan kecemasan pikirannya mengenai nasib putrinya, Hafshah. Ia minta agar sahabatnya itu, Abu Bakar, bersedia menerima Hafshah sebagai istri. ‘Umar r.a. mengemukakan maksud kedatangannya itu dengan keyakinan, Abu Bakar r.a. tentu akan menyetujui dan memenuhi permintaannya dengan baik. Sebab Abu Bakar r.a. tahu benar siapa Hafshah itu, ia adalah seorang janda muda putri sahabat Nabi yang terdekat seperti Abu Bakar r.a. juga. Demikian pikir ‘Umar.
Akan tetapi alangkah kecewanya ‘Umar r.a. ketika dalam pertemuan itu Abu Bakar tidak berbicara sama sekali mengenai Hafshah, bahkan mengalihkan pembicaraan ke soal-soal lain yang tidak menjadi maksud kedatangan ‘Umar r.a. Beberapa kali ‘Umar r.a. berusaha membelokkan pembicaraan Abu Bakar r.a. kepada soal yang dimaksud, dan berusaha membuka jalan agar Abu Bakar r.a. memasuki pembicaraan mengenai Hafshah, tetapi tidak berhasil. Abu Bakar r.a. tetap diam mengenai hal itu.
Habislah sudah kesabaran ‘Umar r.a. Dari rumah Abu Bakar ia pergi ke rumah ‘Utsman bin Affan r.a. yang ketika itu belum lama ditinggal wafat istrinya. Sebagaimana diketahui istri ‘Utsman r.a. ialah Ruqayyah binti Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Sepulangnya dari hijrah ke Habasyah ia sakit dan tepat pada waktu terjadinya Perang Badar sakitnya bertambah keras. Setelah peperangan berakhir dengan kemenangan pasukan Muslimin Ruqayyah wafat. Apa yang dikatakan ‘Umar r.a. kepada Abu Bakar dikatakan juga kepada ‘Utsman r.a. Ia menghimbau agar ‘Utsman r.a. bersedia dinikahkan dengan Hafshah. Sekalipun saat itu ‘Umar r.a. sedangjengkel terhadap Abu Bakar karena “membisu” terhadap tawarannya, tetapi kejengkelannya itu tidak diperlihatkan di depan ‘Utsman r.a. Ia hanya berharap mudah-mudahan Allah SWT memilih ‘Utsman r.a. sebagai suami Hafshah, karena menurut penilaian ‘Umar r.a. ‘Utsman pun sama baiknya dengan Abu Bakar r.a. serta cocok menjadi suami putrinya.
‘Utsman r.a. minta waktu untuk dapat memberi jawaban mengenai soal itu. Akan tetapi akhirnya ‘Umar r.a. pun sangat kecewa karena beberapa hari kemudian ‘Utsman r.a. memberi jawaban, “Sekarang saya belum ingin mempunyai istri.” ‘Umar r.a. sebagai orang yang sangat emosional bertabiat keras dan kaku merasa tak dapat lagi menguasai gejolak hatinya yang meluap-luap karena mengalami kegagalan demi kegagalan. Ia tidak dapat menahan kesabarannya, seketika itujuga ia langsung datang menghadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, hendak mengadukan kepada beliau sikap Abu Bakar r.a. dan ‘Utsman r.a. terhadap permintaannya. Apakah pantas wanita muda yang hidup bertakwa dan putri sahabat Nabi serta janda pahlawan syahid ditolak sebagai istri? Lagi pula yang menolak bukan lain adalah Abu Bakar dan ‘Utsman, dua orang sahabat Nabi, yang satu mertua dan yang lainnya menantu beliau! Apakah dua orang sahabat itu tidak mengenal siapa ‘Umar, seorang sahabat Nabi terdekat seperti mereka juga?!” Demikianlah ‘Umar berpikir sambil berjalan cepat menuju kediaman Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini