Setelah Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. wafat di tangan kaum pemberontak pada bulan Zulhijjah tahun ke-35 Hijriyah, ‘Ali bin Abi Thalib r.a. dibai’at sebagai Khalifah dan AmirulMuminin. Dalam masa kekhali-fahannya terjadi malapetaka besar. Ummul Muminin ‘A’isyah r.a. bersama dua orang tokoh sahabat, Thalhah bin ‘Ubaidillah dan Zubair bin Al-‘Awwam, menggerakkan pemberontakan bersenjata melawan Amirul Muminin Ali bin Abi Thalib r.a. Atas himbauan ‘A’isyah r.a., Hafshah nyaris terseret dalam pemberontakan tersebut. Beruntunglah ia karena sebelum berangkat keburu diperingatkan oleh saudaranya, Abdullah bin ‘Umar r.a., agar membatalkan niatnya dan menjauhkan diri dari bencana pertikaian di antara sesama kaum Muslimin.
Ummul Muminin Hafshah r.a. hingga wafatnya tetap tinggal di Madinah, menjauhkan diri dari berbagai persengketaan, menekuni ibadah, dan memperbanyak amal kebajikan mengharap keridaan Allah SWT. Ia wafat pada masa kekuasaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pendiri dinasti Bani Umayyah. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan Baqi’ bersama para Ummul Muminin lainnya. Mengenai tahun wafatnya beberapa sumber riwayat berbeda pendapat, tetapi yang paling mendekati kebenaran ialah tahun 47 Hijriyah. Demikianlah menurut para penulis Ath-Thabaqat,Al-Ishabah,Al-Istiab, dan Uyunul-Atsar.
Dalam sejarah kodifikasi ayat-ayat Alquran nama UmmulMu’minin Hafshah binti ‘Umar r.a. tercatat sebagai penyimpan mushhaf yang pertama. Selain itu ia juga meriwayatkan sejumlah hadis yang berasal dari ayahnya, ‘Umar Ibnul-Khaththab r.a. Sedangkan riwayat mengenai pribadinya banyak dikemukakan oleh saudara lelakinya, Abdullah bin ‘Umar, oleh kemanakannya yang bernama Hamzah bin Abdullah bin ‘Umar dan oleh sejumlah huffadz (para penghafal Alquran) di kalangan generasi Tabi’in.
Ummul Mu’minin Hafshah r.a. merasa dirinya sepadan dengan Ummul Mu’minin ‘A’isyah r.a. Ia tidak merasa lebih rendah dalam banyak hal. Itu dapat dimengerti karena ia juga putri seorang sahabat Nabi terkemuka, ‘Umar Ibnul Khaththab r.a. Sama dengan ‘A’isyah r.a. yang juga putri Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
Mengenai sikap Hafshah r.a. yang demikian itu Ummul Mu’minin ‘A’isyah r.a. berkata, “Dialah (Hafshah r.a.) seorang istri Nabi yang merasa lebih tinggi daripada diriku.”[1]
Setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam nikah lagi dengan beberapa wanita lainnya, Hafshah r.a. mengelompokkan diri dengan ‘A’isyah r.a. bersama Saudah dan Shafiyyah binti Huyaiy—radhiyallahu ‘anhuma. Sedangkan para Ummul Mu’minin yang lain, seperti Ummu Salamah dan Zainab binti Jahsy—radhiyallahu ‘anhuma, berada dalam kelompok yang lain. Pengelompokan demikian itu semata-mata terdorong oleh sifat kewanitaannya masing-masing yang mudah cemburu terhadap saingannya.
Sebagaimana telah diketahui Ummul Mu’minin Hafshah r.a. terdapat riwayat yang menurutkan, bahwa akibat “kebengalannya” ia pernah dicerai oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Kejadian itu oleh ayahnya (‘Umar) dirasa sebagai musibah sangat berat. Pada akhirnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam merujuknya kembali sebagai istri beliau setelah malaikat Jibril a.s. datang dan berkata, “Rujuklah dia! Ia seorang wanita yang tekun berpuasa dan shalat malam. Ia adalah istri Anda juga di dalam surga!”[2]
Akan tetapi sebagian para ahli tarikh tidak membenarkan riwayat tentang terjadinya perceraian Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Hafshah. Yang benar ialah, ia bersama Ummul-Mu’minin lainnya, pernah didiamkan selama beberapa waktu. []
[1] Siyar A’lamin-Nubala: 11/227.
[2] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’iy, Ibnu Sa’ad, Abu Nu’aim, Al-Hakim, Thabrani, Al-Haitsamiy dan lain-lain.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini