“Demi Allah, aku sama sekali tidak ingin bersuami lebih dari satu kali, akan tetapi aku ingin agar pada hari kiamat kelak Allah akan menghidupkan aku kembali sebagai istri Anda.”
(“Saudah binti Zam’ah r.a. dikutip dari kitab Al-Ishabah)
Kesepian
Sepeninggal istri Khadijah binti Khuwailid r.a., tambah hari tambah berat beban yang terpikul di atas pundak Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Setiap malam makin bertambah gelap makin banyak kenangan yang terlintas dalam pikiran beliau. Kesendiriannya ditinggal wafat seorang ibu rumah tangga, seorang pendamping setia dalam tugas mendakwahkan Islam, dan seorang teman hidup yang sejati dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah di muka bumi ini, membuat beliau kesepian. Khadijah r.a. adalah penyegar keletihan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dalam menghadapi berbagai rongrongan masyarakat jahiliyah dari kalangan kaumnya sendiri. Khadijah r.a. seorang istri tunggal penghibur duka lara yang turut menghiasi harapan indah di masa mendatang.
Dalam suasana tercekam rasa kesepian, duka cita, dan kesedihan seperti itu, beberapa orang sahabat terdekat turut merasa iba serta berharap agar beliau nikah lagi dengan wanita lain. Mereka berpikir, hanya dengan cara demikian itu rasa kesepian beliau dapat diatasi dan kesedihan beliau pun akan berkurang. Akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka itu yang berani menyarankan hal itu pada saat-saat beliau masih dalam suasana berkabung. Mereka menunggu kesempatan baik untuk menyampaikan harapan seperti itu kepada beliau ….
Pada suatu hari seorang wanita, teman Khadijah r.a. bernama Khaulah binti Hakim As-Salamiyyah datang kepada beliau. Dengan lemah-lembut dan himbauan baik ia berusaha membuka pembicaraan mengenai kemungkinan beliau bersedia nikah dengan wanita lain. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, kulihat Anda sangat kesepian ditinggal wafat Khadijah!” Beliau menyahut, “Tentu, karena dialah ibu rumah tangga pengatur kehidupan keluargaku sehari-hari!”
Khaulah diam sejenak sambil mengarahkan pandangan mata ke arah lain seolah-olah sedang berpikir. Kemudian ia menatap wajah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan secara langsung menyarankan agar beliau mau beristri lagi. Beliau tertegun tidak segera menjawab, asyik mendengarkan bisikan hatinya tentang kenangan indah istri tercinta yang telah tiada …. Beliau teringat akan peristiwa seperempat abad silam, ketika Nafisah binti Munayyah datang kepadanya menghimbau kesediaan beliau nikah dengan Khadijah binti Khuwailid r.a. Beberapa lama kemudian beliau dengan nada kesal bertanya, “Siapa … sesudah Khadijah?!”
Khaulah yang memang sudah mengantongi jawaban segera menyahut, ‘A’isyah … putri seorang sahabat yang paling Anda sayangi!”
Mendengar nama sahabatnya disebut, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., beliau segera teringat: Ya, sahabat itulah orang pertama yang beriman bersama-sama saudara sepupunya, ‘Ali bin Abl Thalib r.a. dan maula[1] beliau, Zaid bin Haritsah r.a. Mereka itulah orang-orang pertama yang beriman kepada beliau sesudah Khadijah r.a. Para sahabat itulah yang bahu-membahu membantu beliau melaksanakan dakwah sejak detik pertama. Abu Bakar r.a. seorang sahabat yang dengan ikhlas mengorbankan hartanya, bahkan selalu siap membela kebenaran Allah dan Rasul-Nya dengan jiwa dan raga. Teringat akan Abu Bakar r.a. Beliau teringat juga kepada putrinya yang bernama ‘A’isyah, seorang remaja putri yang berwajah manis, lembut, dan cerah ceria … seorang remaja putri yang dapat menghidupkan rasa keayahan yang penuh kasih sayang. Berat rasanya beliau hendak menjawab ucapan Khaulah dengan kata “tidak.” Seumpama beliau hendak mengucapkan kata itu sebagai jawaban, mungkin tidak akan terlontar juga! “Tawaran” itu tentu sudah dibicarakan lebih dulu oleh Khaulah dengan Abu Bakar, apakah patut kalau beliau menolak tawaran itu?
[1] Maula = budak yang sudah dimerdekakan.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini