Kuserahkan Giliranku kepada ‘A’isyah!
Selesailah sudah pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Saudah binti Zam’ah. Dengan pernikahan suci itu Saudah telah menjadi salah seorang istri Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam … salah seorang wanita termulia di dunia dan akhirat yang berhak menyandang kedudukan sebagai Ummul-Muminin (Ibu Kaum Beriman). Terhadap suaminya ia benar-benar merasa dirinya terlampau rendah. Perasaannya lebih parah lagi bila membandingkan dirinya dengan istri pertama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang telah wafat, Siti Khadijah r.a. atau Siti ‘A’isyah r.a., istri beliau yang masih remaja putri dan masih menunggu usia dewasa. Di saat memikirkan semuanya itu bumi yang diinjak oleh Saudah terasa miring, karena ia sungguh heran mengapa dirinya beroleh kemuliaan setinggi itu!
Akan tetapi ia seorang wanita yang rendah hati, tidak terkecoh oleh kedudukan tinggi yang diperolehnya dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Ia menyadari bahwa antara dirinya yang sudah tua dan hati suaminya (Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam) terdapat dinding penyekat yang tak dapat diterobos. Sejak detik-detik pertama ia menjadi istri Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, ia memahami benar bahwa suaminya bukan seorang pria yang dapat dipisahkan dari kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul. Saudah r.a. tanpa bimbang ragu meyakini bahwa bagian yang diterimanya dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam adalah belas kasihan, bukan kemesraan cinta sebagaimana yang biasa diperoleh seorang istri dari suaminya. Hal-hal seperti itu memang tidak pernah terpikirkan. Ia puas dengan kebajikan suaminya yang telah mengangkat dirinya mencapai kedudukan semula itu… dari janda Sakran bin ‘Amr menjadi Ummul-Muminin. Ia puas tinggal di tengah keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, mengurus rumah tangganya dan melayani serta membantu putra-putrinya. Bahkan ia justru merasa gembira jika melihat suaminya tertawa menyaksikan ia berjalan di depannya. Sebagaimana diberitakan dalam berbagai riwayat, Saudah r.a. berbadan gemuk dan tampak berat berjalan, namun ia seorang periang dan ucapan-ucapannya sering menimbulkan gelak tawa orang yang mendengarnya. Ia pernah berkata kepada suaminya, “Ya Rasulullah, tadi malam di belakang Anda, ketika saya ruku’ mengikuti Anda kupencet hidungku karena takut kalau-kalau meneteskan darah.”[1] Mendengar kata-kata itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tertawa tersenyum.
Saudah juga seorang wanita yang beperasaan lugu dan berpikir sederhana hingga tampak amat terbelakang. Penulis masa silam, Ibnu Ishaq, meriwayatkan, bahwa pada suatu hari ia melihat di sudut ruangan rumahnya berdiri saudara Sakran (bekas iparnya) yang bernama Suhail bin Amr dalam keadaan tangan terbelenggu ke leher. Ia tertawan dalam suatu peperangan melawan kaum Muslimin. Melihat iparnya dalam keadaan seperti itu ia tidak dapat mengendalikan diri lalu berkata, “Hai Abu Yazid (nama panggilan Suhail), mengapa engkau menyerah dan mau dibelenggu? Bukankah lebih baik engkau mati terhormat?”
Mendengar ucapan Saudah itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menegur, “Hai Saudah, apakah engkau hendak mendorong orang supaya melawan Allah dan Rasul-Nya?” Ia terperanjat lalu menjawab, “Ya Rasulullah, demi Allah yang mengutus Anda membawa kebenaran, saya sungguh tidak dapat menguasai diri ketika melihat Abu Yazid berdiri dalam keadaan tangan terbelenggu ke leher, hingga terlontarlah kata-kata itu dari mulutku.”[2]
[1]^-/s/i’a6,JilidIV,hlm. 1867.
[2]Sirah bin Hisyam, Jilid II, hlm. 299.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini