Apa yang diperkirakan dan dikhawatirkan ‘A’isyah terjadi dalam kenyataan; Rasulullah melihat seorang hamba sahaya rupawan … kemudian Juwairiyyah binti Al-Harits itu menyertai kehidupan ‘A’isyah di tengah keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Juwairiyyah menjadi wanita mukminah dan muslimah yang baik dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sekaligus pula menjadi Ummul-Mu’minln.
Akan tetapi ‘A’isyah r.a. tidak sibuk memikirkan kehadiran Juwairiyyah r.a. di tengah keluarga Nabi, dan tidak pula memikirkan para pesaingnya yang lain—seperti Zainab binti Jahsy dan Ummu Salamah— sebab ia repot menghadapi kabar bohong yang dihembuskan oleh kaum munafik untuk mencemarkan dirinya dan semua keluarga Nabi, yaitu peristiwa Haditsul-Ifk yang telah kami utarakan dalam bab terdahulu.
Setelah peristiwa itu terselesaikan dan ‘A’isyah r.a. kembali dari rumah orangtuanya ke tengah keluarga Nabi, ia merasa bangga atas turunnya firman-firman Allah yang menegaskan kesucian dirinya dari tuduhan palsu yang hendak mencemarkan keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam (QS An-Nur: 11-19). Kebanggaan ‘A’isyah r.a. itu dihadapi oleh Juwairiyyah dengan kecerahan wajahnya yang manis dan menarik. ‘A’isyah r.a. sendiri dalam menghadapi para pesaingnya, seperti Zainab binti Jahsy, Ummu Salamah, dan Juwairiyyah—radhiyallahu ‘anhunna—masih dapat mengungguli mereka dengan ucapannya yang tajam “Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak nikah dengan gadis selain saya!” Itu merupakan kenyataan yang tak dapat disangkal oleh para istri Nabi lainnya, termasuk Juwairiyyah. Sebagaimana diketahui, sebelum Bani Mushthaliq dikalahkan dalam peperangan dan sebelum Juwairiyyah jatuh sebagai tawanan atau di tangan pasukan Muslimin, ia adalah istri Musafi’ bin Shafwan Al-Mushthaliqiy.
Juwairiyyah r.a. dikaruniai usia panjang. Ia hidup hingga masa kekuasaan Bani Umayyah terkonsolidasi mantap dan kuat, yaitu awal paro kedua abad ke-1 Hijriyah. Menurut sumber riwayat yang dapat dipercayai kebenarannya, Juwairiyyah r.a. wafat dalam usia 70 tahun. Jenazahnya disalati oleh Marwan bin Al-Hakam, penguasa kota Madinah. Sementara riwayat mengatakan, Ummul-Mu’minin Juwairiyyah r.a. wafat dalam usia 65 tahun. Mengenai tahun wafatnya ada yang mengatakan 50 Hijriyah dan ada pula yang mengatakan tahun 56 Hijriyah.
Semoga Allah meridai Ummul-Mu’minin Juwairiyyah r.a., karena tidak ada wanita yang mendatangkan keberkahan bagi kaumnya lebih besar daripada yang didatangkan oleh pernikahannya dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Musafi’ adalah seorang pemimpin Bani Al-Mushthaliq, yang dengan mengandalkan bantuan kaum musyrikin Quraisy merencanakan serangan terhadap kaum Muslimin di Madinah. Akan tetapi belum sempat mulai bergerak, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bersama sejumlah pasukan mendahului serangan terhadap mereka di tempat bernama Al-Maryasi’ (Al-Muraisi’). Dalam peperangan itu Bani Al-Mushthaliq kalah, dan sesuai dengan hukum perang yang berlaku pada masa itu, pihak yang kalah (termasuk anak-istrinya) menjadi tawanan dan dapat dijadikan budak. Juwairiyyah, yang ketika itu masih bernama Barrah, termasuk sejumlah wanita yang tidak sempat melarikan diri. Dengan demikian ia jatuh sebagai tawanan pasukan Muslimin. []
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini