Dalam hal itu perlu dicatat, bahwa pernikahan Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam dengan sekian banyak wanita berkaitan dengan tugas beliau sebagai Nabi dan Rasul yang berkewajiban menyampaikan dakwah dan ajaran agama Islam. Seorang pemimpin yang memikul tanggungjawab besar wajar memperoleh hak-hak melebihi hak yang diperoleh bawahannya atau pihak yang dipimpinnya, demi keberhasilan pelaksanaan tugas. Misalnya, seorang kepala jawatan berhak mendapat kendaraan, sedangkan bawahannya tidak, karena kendaraan memang dibutuhkan oleh kepala jawatan untuk menjamin kelancaran tugas pekerjaannya. Di sisi lain ia memikul kewajiban dan tanggungjawab lebih besar dan lebih berat dibanding dengan kewajiban atau tanggungjawab yang dipikul bawahannya. Demikian pula hak poligami yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam, karena beliau mempunyai kewajiban jauh lebih besar dan lebih berat daripada umatnya. Misalnya, beliau berkewajiban shalat lail (salat malam, tahajjud), tidak diperkenankan menerima shodaqah dan kewajiban-kewajiban serta larangan-larangan khusus yang tidak dikenakan atas umatnya. Demikianlah pernikahan Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam dengan sejumlah wanita melebihi empat orang dalam waktu yang sama.
Allah SWT memerintahkan pria yang berpoligami supaya berlaku adil terhadap para istrinya mengenai soal-soal yang berada di dalam batas kesanggupannya. Namun syariat Ilahi mengakui, bahwa kaum pria sesuai dengan fitrah dasarnya sebagai manusia tidak mungkin dapat berlaku adil secara mutlak, selain pria yang berolah ‘ishmah dan perlindungan Ilahi, yakni Nabi dan Rasul. Mengenai itu Allah telah menegaskan:
ولن تستطيعوا ان تعدلوا بين النساء ولو حرصتم
Dan kalian tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. (QS An-Nisa’: 129)
Dalam hal perlakuan adil terhadap para istri yang dimadu, Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam adalah orang yang paling berhati-hati. Karena dalam keadaan bagaimanapun, beliau adalah suri teladan, guru, dan pemimpin umat. Akan tetapi ada suatu hal yang berada di luar kesanggupan beliau, yaitu membagi rata perasaan dan kecenderungan hati kepada para istrinya. Beliau menyadari hal itu, karenanya beliau selalu berdoa:
اللهم هذا قسمي فيما أملك لفلا تلمني فيما لا أملك
“Ya Allah, itulah yang kuberikan mengenai apa yang kumiliki, dan janganlah Engkau menyalahkan diriku mengenai sesuatu yang tidak kumiliki.”
Dalam masalah poligami terdapat suatu soal yang dilupakan oleh mereka yang berkeberatan dengan sistem perkawinan tersebut. Soal yang dimaksud adalah kenyataan bahwa tidak semua pria atau suami itu sama. Terkadang ada seorang suami yang mudah dipengaruhi oleh salah seorang dari para istrinya, sehingga istri tersebut dapat menguasai separuh dari hatinya. Dengan menguasai separuh hati suaminya saja istri yang bersangkutan sudah cukup merasa puas. Akan tetapi itu tidak berarti para istri Nabi semuanya puas dimadu, tidak pula berarti mereka merasa santai hidup bersama para wanita lain yang menjadi istri-istri suaminya. Dengan mengemukakan soal itu kami hendak menerangkan, bahwa dalam hal berpoligami Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam merupakan tipe yang sangat langka di kalangan para suami yang mempunyai istri lebih dari seorang. Beliau dapat bersikap demikian rupa terhadap semua istrinya sehingga masing-masing dari mereka seolah-oleh hidup di samping beliau sebagai istri tunggal. Dalam kehidupan rumah tangganya pun masing-masing dari mereka seakan-akan mandiri, tak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan bersama dengan istri-istri beliau yang lain.
Setiap wanita pada saat hendak menikah dengan Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam sudah mengetahui dan menyadari sepenuhnya bahwa ia akan menjadi istri madu, tidak akan menjadi istri tunggal. Pada masa itu masalah poligami benar-benar tampak sebagai masalah yang wajar dalam kehidupan masyarakat. Itu mudah kita bayangkan dengan mengingat kenyataan-kenyataan antara lain:
– Beberapa waktu setelah Siti Khadijah wafat, Khaulah binti Hakim mengusulkan kepada beliau supaya melamar Siti Saudah binti Zam’ah dan Siti ‘A’isyah binti Abu Bakar, dua-duanya sekaligus, yakni dalam waktu bersamaan.
Siti Maimunah binti Al-Harits secara terus terang menyatakan hasratnya dinikah oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam Bahkan sementara riwayat memberitakan, ia menyerahkan diri kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam untuk dinikahi, padahal ia tahu benar bahwa beliau ketika itu sudah mempunyai beberapa orang istri.
- ‘Umar Ibnul-Khaththab r.a. menawarkan putrinya, Siti Hafshah (sebelum nikah dengan Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam), kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. untuk dinikah, padahal ‘Umar tahu benar dan kenal baik dengan istri Abu Bakar r.a. yang bernama Ummu Ruman.
- Baik Abu Bakar maupun ‘Umar—radhiyalldhu ‘anhuma—sekalipun kedua-duanya itu mertua Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam, masing-masing pernah menyatakan niatnya hendak menikah dengan Ummu Salamah r.a. (sebelum wanita itu nikah dengan Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam) yang ketika itu hidup menjanda karena ditinggal wafat oleh suaminya. Padahal baik Abu Bakar maupun ‘Umar sudah mempunyai istri lebih dari seorang (hal itu akan kami terangkan pada bagian lain).
Seumpama para istri Nabi dihadapkan pada pilihan: manakah yang lebih baik, hidup bersama dalam satu rumah tangga dengan seorang suami (Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam), ataukah hidup mandiri dalam rumah tangga yang lain, mereka tentu tidak akan memilih rumah tangga yang lain. Kendati dimadu masing-masing mereka itu demikian tinggi kecintaannya kepada beliau dan demikian akrab pergaulannya dengan beliau. Walau demikian mereka sebagai wanita tak mungkin dapat menghilangkan fitrah kewanitaannya. Satu sama lain saling merasa cemburu dan bersaing merebut hati suaminya untuk dapat “dikuasainya” sendiri. Banyak riwayat yang menuturkan gejala-gejala persaingan dan kecemburuan di antara sesama istri Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam Kecemburuan dan persaingan itu ada kalanya diperlihatkan sendiri-sendiri, dan ada kalanya juga diperlihatkan melalui “pengelompokan” beberapa orang istri dalam rangka menghadapi istri-istri yang lain.
Sudah tentu soal-soal demikian itu cukup banyak menimbulkan kesukaran bagi Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam Akan tetapi beliau sanggup dan rela memikulnya, karena beliau tahu benar bahwa soal-soal seperti itu bukan lain hanyalah ditimbulkan oleh dorongan fitrah kewanitaan mereka yang tak dapat dielakkan. Sebagai contoh mengenai itu adalah pernyataan beliau ketika menghadapi kecemburuan Siti ‘A’isyah r.a. yang sedang memuncak:
ويحها , لو استطاعت لفعلت
“Amboi…! Seumpama ia sanggup tentu tidak akan berbuat seperti itu!”
Pernyataan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa beliau memahami benar-benar fitrah kaum wanita, kejiwaan mereka, dan ciri-ciri khas tabiat mereka. Demikian sebaliknya, para istri Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam pun mengetahui benar bahwa beliau bukan tidak mengerti perasaan mereka. Oleh karena itu, pada saat rasa kewanitaan mereka sedang tenang, mereka dapat merasakan ketenteraman hidup sebagai para istri Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam Namun, rasa kewanitaan mereka itu tidak hilang begitu saja. Bagaimana tidak tenteram, bukankah mereka mendapatkan seorang suami yang lapang dada dan pemaaf, menilai sesuatu dengan tepat, berhati iba, dan penuh kasih sayang? Bukankah beliau memahami kelemahan manusia, karenanya beliau mudah memaafkan kesalahan dan kekeliruan.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini