Sementara orang berpendapat, bahwa dengan adanya beberapa orang istri yang saling bersaing merebut hati Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam, itu sesungguhnya sangat mengganggu pikiran dan perasaan beliau. Akan tetapi sebenarnya beliau sendiri baru merasa terganggu jika persaingan di antara mereka itu sudah melampaui batas kewajaran. Jika sudah demikian itu barulah beliau menegur, gusar dan bila perlu menjauhi mereka untuk sementara waktu. Sikap seperti itu beliau ambil dengan maksud mendidik, agar mereka menyadari dirinya masing-masing sebagai istri seorang Nabi dan Rasul. Di luar peristiwa yang jarang terjadi seperti itu, pada kesempatan-kesempatan tertentu beliau menyediakan waktu khusus untuk mendidik para istrinya. Kebijakan demikian itu beliau pandang sebagai kewajiban setiap suami, yang tidak boleh dilengahkan. Ternyata sikap beliau yang bersifat mendidik itu justru menambah kegairahan dan kecintaan mereka kepada beliau.
Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam tidak pernah menekan para istrinya supaya membuang fitrah kewanitaan yang ada pada diri mereka, agar beliau aman dari persaingan di antara mereka. Beliau memahami sepenuhnya kaum wanita memang berfitrah mudah cemburu, mudah rindu, dan mudah mengeluh. Fitrah Ilahi seperti itu tidak mungkin dilenyapkan dari kehidupan kaum wanita. Memang benar, bahwa masing-masing dari mereka itu ingin mendapat perhatian lebih besar dan perlakuan lebih istimewa, tetapi mereka pun tahu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam tidak mungkin berbuat menyimpang dari keadilan.
Dari gambaran sepintas kilas mengenai kehidupan para istri Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam kita dapat mengetahui, bahwa beliau sama sekali tidak dapat disamakan dengan pria lain yang mempunyai istri lebih dari seorang. Beliau bukan hanya seorang suami yang dicintai, dikagumi, dan dihormati oleh istri-istrinya, bahkan lebih dari itu semua, beliau adalah seorang Nabi yang wajib ditaati dan dipatuhi. Hal itu dapat beliau capai karena beliau seorang manusia yang mempunyai sifat-sifat sempurna dan terpuji. Kecuali itu beliau juga seorang yang beroleh pemeliharaan Allah SWT dan kemungkinan berbuat salah (mashum).
Apa yang diteriakkan oleh musuh-musuh Islam, bahwa poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam merupakan penindasan terhadap hak-hak kebebasan kaum wanita adalah fitnah belaka. Tujuannya tidak lain hanya untuk menutupi kebobrokan sistem masyarakat yang mereka sanjung dan mereka bela.
***
Poligami yang dilakukan oleh junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam akan terus-menerus dilontarkan kecamannya oleh kaum orientalis Barat dan para pengagumnya. Dengan itu mereka bermaksud hendak menggambarkan beliau shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam sebagai pria yang mempunyai rangsang seksual tinggi (oversexed). Karena itu menurut logika mereka beliau tidak layak diteladani, kendati beliau mengemban amanat Ilahi sebagai Nabi dan Rasul.
Sebelum kita mendudukkan persoalan itu di dalam kerangka pandangan yang objektif, perlu lebih dulu digarisbawahi contoh berikut.
Menghadapi berbagai jenis makanan bukan suatu bukti bahwa orang yang bersangkutan itu pelahap. Poligami pun tidak dapat dijadikan bukti bahwa pria yang bersangkutan mempunyai rangsang seksual tinggi. Jika tidak demikian tentu kita akan membenarkan logika yang salah, yaitu orang yang telah mencapai usia dewasa dan belum nikah ia tentu undersexed (lemah atau tidak mempunyai nafsu seksual). Kaum orientalis Barat banyak menggunakan logika yang tidak logis terhadap Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam, tetapi mereka tidak mau menggunakannya terhadap Nabi ‘Isa Alaihissalam yang hingga akhir hayatnya tidak pernah kawin. Sikap seperti itu hanya menunjukkan kemunafikan “ilmiah” mereka, semata-mata terdorong oleh kedengkian terhadap agama Islam. Jelas, mereka berpikir subjektif dan mendua. Jika mereka hendak bersikap objektif seharusnya mereka lebih dulu menganalisis soal poligami atas dasar naluri setiap makhluk hidup. Dengan demikian mereka tidak akan menganggap, bahwa mempunyai nafsu seksual adalah buruk, tidak wajar, noda, dan dosa. Apakah suatu kejahatan jika manusia mempunyai nafsu birahi dan mempunyai dorongan seksual terhadap lawanjenisnya? Demikian pula makhluk hidup lainnya, baik yang melata di muka bumi, di dasar lautan maupun beterbangan di angkasa. Bukanlah suatu yang tercela jika makhluk hidup bertemu dengan lawanjenisnya, kemudian berkembang biak sebagaimana sudah menjadi sunatullah di alam wujud.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini