“Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam nikah dengan Ummu Salamah, aku sangat sedih karena banyak orang menyebut kecantikan parasnya. Aku bersikap baik-baik agar dapat melihatnya sendiri, dan ternyata ia jauh lebih cantik daripada yang dikatakan orang.”
(Dari ‘A’isyah binti Abu Bakar dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad)
Mulia dan Cantik
Tempat tinggal Ummul-Masakin di rumah kediaman Nabi sudah kosong. Lama tidak berpenghuni hingga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. nikah lagi dengan Ummu Salamah, wanita anggun dan cantik. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Saad di dalam Tahabaqat-nya., Ummu Salamah r.a. pernah mengatakan, “Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menikahiku, lalu aku dipindah ke tempat bekas kediaman Zainab binti Khuzaimah, Ummul-Masakin.”
Nama aslinya adalah Hindun binti Umayyah binti Abdullah bin ‘Umar bin Makhzum; dari marga Bani Makhzum, kabilah Quraisy. Kehadirannya di tengah keluarga Nabi ternyata menimbulkan kecemasan dan kerisauan pada dua orang istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang masih muda-muda, yaitu ‘A’isyah dan Hafshah, putri Abu Bakar dan putri ‘Umar radhiyallahu ‘anhum. Mengapa? Wajar karena Ummu Salamah madu mereka yang baru, seorang wanita yang walau tidak semuda mereka tetapi berparas cantik, berasal dari keturunan mulia, anggun, dan cerdas. Kedatangannya ke tengah keluarga Nabi diiringi oleh serombongan para sahabat terkemuka dan tidak sedikit jumlahnya.
Ayah Ummu Salamah (Hindun) seorang pria Quraisy yang jarang tolok bandingnya. Ia termasuk penunggang kuda yang tersohor kesigapan dan kelincahannya. Selagi masih hidup hingga sesudah wafatnya nama julukan yang diberikan oleh masyarakat Quraisy, yaitu “Zadur-Rakb”. Nama julukan tersebut mereka berikan atas dasar kebiasaannya di waktu bepergian jauh. Ia tidak membiarkan ada orang lain menemaninya. Ia cukup ditemani bekal persediaan makan dan minum. “Zadur-Rakb” bermakna “Bekal Perjalanan.” Ia merasa mampu mengatasi segala kesukaran dalam perjalanan di gurun sahara sekalipun asalkan tidak kehabisan bekal.
Hindun atau Ummu Salamah dilahirkan oleh seorang ibu bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Judzaiman bin Alqamah, dari marga Bani Kinanah, kabilah Quraisy. Ia ditinggal wafat suaminya bernama Abu Salamah, yang nama aslinya ialah Abdullah bin ‘Abdul-Asad bin Hilal bin Abdullah bin ‘Umar bin Makhzum; anak lelaki bibi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim. Selain itu Abu Salamah juga saudara sepenyusuan dengan beliau, dua-duanya pernah disusui oleh wanita bernama Tuwaibah, hamba sahaya milik Abu Lahab, yang olehnya dimerdekakan ketika mendengar kabar bahwa Aminah binti Wahb (istri Abdullah bin Abdul-Muththalib) telah melahirkan seorang putra. Sebagaimana diketahui Abdullah adalah saudara Abu Lahab dari satu ayah lain ibu. Dua-duanya putra ‘Abdul-Muththalib.
Suami-istri Abu Salamah dan Ummu Salamah dua-duanya selain berasal keturunan mulia, juga termasuk orang-orang yang lebih dini memeluk Islam (as-sabiqun al-awwalun). Mereka berdua bersama sepuluh orang lainnya yang dini memeluk Islam berangkat hijrah ke Habasyah (Ethiopia), dan di perantauan itulah Ummu Salamah melahirkan anak lelaki, dan diberi nama “Salamah” yang bermakna “selamat.”
Seusai pemboikotan kaum musyrikin Quraisy terhadap Nabi dan semua keluarga Bani Hasyim (kecuali beberapa orang yang turut memusuhi Nabi), Ummu Salamah bersama suaminya dan rombongan pulang ke Makkah. Ternyata penindasan dan pengejaran yang dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy terhadap kaum Muslimin yang masih sedikit jumlahnya itu belum mereda. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengizinkan para sahabatnya berangkat hijrah ke Madinah, yakni setelah bai’at Aqabah kedua,[1] Abu Salamah bertekad hendak berangkat hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Keberangkatan Abu Salamah dan anak-istrinya itu mempunyai kisah tersendiri yang cukup menyedihkan, dan masih tetap ‘Ubaidah menjadi pembicaraan orang sepanjang zaman. Kisah ringkasnya sebagai berikut:
Abu Salamah berangkat hijrah ke Madinah bersama anak dan istrinya. Anaknya yang bernama Salamah (lelaki) ketika itu masih kecil. Mereka berangkat mengendarai seekor unta. Kadang-kadang Abu Salamah turun dari punggung unta dan berjalan kaki menuntun untanya. Belum seberapa jauh meninggalkan Makkah, orang-orang Bani Al-Mughlrah datang mendekati Abu Salamah. Dengan suara kasar dan keras mereka berkata, “Kalau engkau mau pergi, pergilah sendiri … tetapi ingatlah, perempuan itu (istri Abu Salamah) adalah orang dari marga kami. Kami tidak akan membiarkan engkau mengajaknya pergi merantau!” Terjadilah percekcokan, dan akhirnya mereka merebut tali kekang unta dari tangan Abu Salamah. Istrinya diturunkan bersama anaknya, lalu ditahan dan dilarang turut pergi bersama suaminya. Tidak berapa lama datanglah orang-orang lain dari Bani Abdul-Asad. Mereka senang melihat anak kecil yang bernama Salamah itu. Mereka lalu pergi mendatangi famili Abu Salamah, menuntut agar anak itu diambil dari tangan ibunya. Mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak akan membiarkan anak kami itu berada di tangan ibunya setelah perempuan itu dipisahkan dari saudara kami (yakni Abu Salamah)!”
Terjadilah rebutan antara orang-orang dari marga Ummu Salamah (Bani Al-Mughirah) dan orang-orang dari marga Abu Salamah (Abdul Asad). Salamah yang masih kecil itu ditarik ke kanan dan ke kiri sehingga berteriak-teriak menangis kesakitan dan ketakutan, demikian juga ibunya. Akhirnya orang-orang dari marga Abu Salamah (Bani Abdul-Asad) berhasil melepaskan Salamah dari tangan orang-orng Bani Al-Mughirah yang hendak mempertahankan Salamah tetap bersama ibunya. Salamah dibawa pergi ke permukiman Bani Abdul-Asad, sedangkan ibunya (Ummu Salamah) ditahan oleh orang-orang Bani Al-Mughirah. Abu Salamah sendiri tetap meneruskan perjalanan menuju Madinah.
[1]Pernyataan sumpah setia kepada Nabi yang diikrarkan oleh sejumlah penduduk Madinah yang datang ke Makkah untuk melaksanakan upacara peribadatan tradisional di sekitar Ka’bah. Peristiwanya terjadi di ‘Aqabah. Peristiwa bai’at yang kedua itu jumlah pesertanya lebih banyak daripada yang pertama.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini