Dalam menceritakan pengalaman yang menyedihkan itu Ummu Salamah berkata, “Aku dipisahkan dari suamiku dan dari anakku. Setiap pagi aku keluar dan duduk di atas hamparan pasir memandang ke sahara yang seolah-olah tak bertepi. Dari pagi aku menangis hingga petang, teringat akan suamiku dan anakku yang masih kecil. Aku tidak tahu bagaimana nasib mereka. Demikian itulah keadaanku selama kurang-lebih setahun.”
Pada suatu hari seorang pria dari Bani Al-Mughirah lewat dekat permukiman tempat aku ditahan. Tampaknya ia merasa kasihan melihatku, lalu segera menemui orang-orang Bani Al-Mughirah. Kepada mereka ia berkata mendesak, “Mengapa kalian tidak membiarkan perempuan itu pergi? Kasihan dia dipisahkan dari suaminya dan dari anaknya!” Terjadilah perdebatan cukup menegangkan. Akan tetapi akhirnya salah seorang dari Bani Al-Mughirah mendekati Ummu Salamah dan tiba-tiba berkata, “Kalau engkau mau, berangkatlah menyusul suamimu!”
“Aku hampir tidak mempercayai telingaku. Namun, mereka benar tidak berdusta. Orang-orang Bani Abdul-Asad pun tak lama kemudian datang mengembalikan Salamah kepadaku. Setelah kupersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam perjalanan, aku berangkat dengan berkendaraan unta, anakku kupangku dan untaku mulai berjalan menuju Madinah. Tidak seorang pun yang menyertaiku. Aku berserah diri kepada Allah, semoga Dia membimbingku agar tidak sesat di jalan….”
“Setelah unta berjalan sejauh kurang-lebih dua farsakh (16 km) dari Makkah, aku bertemu dengan ‘Utsman bin Thalhah.[1] Ia bertanya kemana aku pergi. Kujawab, “Menyusul suamiku di Madinah.” Ia bertanya lagi mengapa aku sendirian, kujawab, “Tidak, Allah menyertaiku bersama anakku ini.” Ia lalu berkata, “Demi Allah, Anda tidak boleh kubiarkan sendirian!”
“Tali kekang unta Ummu Salamah dipegang, lalu ia berjalan menuntun unta mengantar perjalananku ke Madinah. Belum pernah aku menemui teman Arab sebaik dia. Ia sangat hormat kepadaku. Bila berhenti untuk beristirahat ia membelokkan untaku ke bawah pohon lalu ia menjauhkan diri agar aku dapat berbaring menghilangkan lelah. Apabila hari sudah mulai petang ia mendekatkan unta kepadaku dan mempersilakan aku naik, sambil ia sendiri mundur ke belakang unta menjauhiku. Jika ia melihatku sudah duduk di punggung unta barulah ia mendekat, lalu tali kekang unta dipegang sambil mulai berjalan menuntunnya. Demikianlah seterusnya hingga tiba dekat Madinah. Dari kejauhan ia melihat sebuah dusun tempat permukiman Bani ‘Umar bin Auf. Dusun itu sudah termasuk daerah Quba. Ia tahu di sanalah suamiku bertempat tinggal di tanah rantau. Ia lalu berkata, “Suami Anda berada di dusun itu. Silakan Anda masuk ke permukiman itu. Semoga Allah mengiringi Anda dengan berkah-Nya.” Ia lalu minta diri hendak kembali ke Makkah. Betapa besar rasa terima aksihku kepadanya. Mudah-mudahan Allah membalas budi baiknya dengan kebajikan sebesar-besarnya.”
[1] Ketika itu ia belum memeluk Islam. Ia memeluk Islam sesudah perjanjian perdamaian
Hudaibiyyah, kemudian hijrah ke Madinah bersama Khalid Al-Walld menjelang jatuhnya Makkah ke tangan kaum Muslimin. Dialah yang diserahi kunci Ka’bah oleh Nabi setelah Makkah dikuasai oleh kaum Muslimin. Ia gugur sebagai pahlawan syahid dalam pertempuran di Ajinadain melawan bala tentara kafir pada zaman kekhalifahan ‘Umar r.a.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini