Umu Salamah adalah wanita pertama yang hijrah ke Madinah. Kecuali itu ia pun termasuk rombongan Muslimin pertama yang hijrah ke Habasyah. Demikian pula suaminya, Abu Salamah (‘Abdullah bin Abdul-Asad Al-Makhzumiy), ia adalah orang pertama dari para sahabat Nabi yang berangkat hijrah ke Madinah.
Di Madinah Ummu Salamah bekerja sehari-hari mengasuh anaknya, dan memberi keleluasaan kepada suaminya untuk berjihad memperkuat kebenaran agama Allah. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berangkat memimpin rombongan bersenjata untuk menangkal serangan kaum musyrikin di Zul-‘Usyairah (bulan Jumadil-awal tahun ke-2 Hijriyah) beliau menunjuk Abu Salamah untuk bertugas memelihara keamanan dan ketertiban kota Madinah.
Abu Salamah turut serta dalam Perang Badr, peperangan pertama yang menentukan antara umat bertauhid dan umat penyembah berhala. Ia juga turut serta dalam Perang Uhud dan menderita luka parah. Dua bulan setelah Perang Uhud, ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mendengar bahwa Bani Asad merencanakan serangan terhadap kaum Muslimin di Madinah, beliau menunjuk Abu Salamah untuk memimpin ekspedisi ke daerah Qathn, dengan kekuatan sebesar 150 orang, termasuk di dalamnya Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Abu Salamah melaksanakan tugasnya dengan baik. Di pagi buta ia bersama pasukan mengepung permukiman Bani Asad, dan pada akhirnya musuh dapat ditundukkan tanpa perlawanan. Ia bersama pasukan pulang ke Madinah membawa kemenangan dan barang-barang jarahan perang. Kemenangan ekspedisi yang dipimpinnya itu mengembalikan kewibawaan Islam dan kaum Muslimin yang agak menurun akibat pukulan yang diderita dalam Perang Uhud.
Sepulangnya dari Qathn Abu Salamah merasa luka-luka yang dideritanya dalam Perang Uhud bertambah parah, kemudian pada tanggal 8 bulan Jumadil-awwahahun ke-4 Hijriyah ia pulang ke rahmatullah. Menjelang detik-detik ajalnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berada di sampingnya berdoa mohon kebajikan baginya. Sesudah tarikan nafasnya yang terakhir, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Sendirilah yang menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangan beliau; kemudian beliau mengucapkan takbir sembilan kali. Ketika beliau beranjak meninggalkan tempat hendak pulang, seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, Anda tadi bertakbir sembilan kali, apakah bukan karena kelupaan?” Beliau menjawab, “Tidak, aku tidak lupa. Seumpama aku bertakbir seribu kali baginya, itu pun wajar.”[1]
* * *
Ibnu ‘Abdul-Birr di dalam Al-Isti’ab memberitakan, bahwa pada detik-detik terakhir hidupnya Abu Salamah memanjatkan doa kepada Allah SWT agar keluarga yang ditinggalkan beroleh kebajikan. Kebajikan itu menjadi kenyataan setelah Ummu Salamah melampaui batas waktu ‘iddahnya. Ia dinikah oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan menjadi Ummul-Muminin. Sedangkan anak-anaknya hidup di bawah naungan keluarga Nabi. Mereka adalah Salamah (lelaki), ‘Umar, Zainab, dan Durrah.
Konon sebelum nikah dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Ummu Salamah sudah dilamar lebih dulu berturut-turut oleh Abu Bakar dan ‘Umar— radhiyallahu ‘anhuma, tetapi dengan sopan dan lemah lembut ia menolak. Menyusul kemudian Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Pada mulanya Ummu Salamah berkeberatan dan mohon maaf. Kepada utusan yang menyampaikan lamaran beliau itu berkata, “Sebaiknya wanita lain saja … saya ini sudah tua… lagi mempunyai banyak anak.” Memang benar, sesungguhnya Ummu Salamah tidak menolak lamaran beliau, karena menjadi istri Nabi adalah suatu kemuliaan besar. Akan tetapi ia merasa tidak muda lagi dan mempunyai beberapa orang anak yang masih kecil. Bukankah itu akan merepotkan keluarga Nabi? Sebab di sana sudah ada Saudah, ‘A’isyah, dan Hafshah—radhiyallahu ‘anhuna. Alasan Ummu Salamah itu kemudian dijawab oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , “Kalau engkau merasa sudah tua, aku lebih tua darimu. Kalau ada kecemburuan dalam hatimu, Allah akan menghilangkannya. Mengenai anak-anak, urusan itu berada di tangan Allah dan Rasul-Nya.”
[1] Tarikh Ath-Thabariy: U/177.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini