Pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Ummu Salamah terjadi dalam bulan Syawal tahun ke-4 Hijriyah. Demikianlah menurut beberapa sumber riwayat yang dapat dipercaya. ‘A’isyah dan Hafshah berusaha sekuat tenaga untuk dapat menerima kedatangan istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang baru itu dengan wajah manis dan berbaik-baik. Akan tetapi,’A’isyah merasa terlampau berat hingga tak sanggup menahan gejolak hatinya. Di antara para istri Nabi memang ‘A’isyah yang paling besar kecemburuannya. Mungkin karena ia merasa sebagai istri yang paling muda usianya dan paling mendapat tempat di hati beliau. Ibnu Sa’ad menuturkan sebuah riwayat berasal dari Al-Waqidiy, bahwasanya ‘A’isyah r.a. pernah menceritakan dirinya sebagai berikut, “Ketika aku mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam nikah dengan Ummu Salamah, aku sangat sedih karena banyak orang menyebut kecantikan parasnya. Akan tetapi aku bersikap baik-baik agar dapat melihatnya sendiri, dan ternyata ia jauh lebih cantik daripada yang dikatakan orang. Hal itu kuberitahukan kepada Hafshah. Ia menyahut, “Tidak lebih dari yang dikatakan orang Hafshah lalu menyebut usia Ummu Salamah. Memang benar apa yang dikatakan Hafshah, tetapi aku tetap cemburu.”
Tentu saja sebagai wanita, Ummu Salamah dapat mengerti bagaimana pengaruh kehadirannya pada diri ‘A’isyah r.a. yang merasa sebagai istri Nabi yang dimanja. Akan tetapi sebagai wanita ia pun dapat merasakan apa yang tersembunyi dalam jiwanya, hidup dimadu dengan istri lama yang paling disayang oleh suaminya. Itulah barangkali yang membuatnya tega menitipkan anaknya yang masih kecil kepada wanita lain, agar ia dapat memenuhi kewajiban rumah tangganya. Menurut Shahih Bukhdri dan Shahih Muslim Ummu Salamah r.a. pernah berkata kepada suaminya, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , apakah ia boleh menitipkan anaknya kepada salah satu keluarga dari kerabat Abu Salamah dengan memberi imbalan nafkah kepada mereka? Beliau membolehkan dan bersedia memberi nafkah yang diperlukan.
Jelas sekali Ummu Salamah menyadari harga dirinya. Ia tidak membiarkan kehormatannya disentuh oleh ‘A’isyah atau istri Nabi lainnya. Untuk menjaga kehormatannya ia tidak mau membicarakan sesuatu dengan siapa pun soal-soal yang tidak pada tempatnya. Sikapnya yang demikian itu pernah disaksikan sendiri oleh ‘Umar Ibnul-Khaththab r.a. Pada suatu hari ketika ‘Umar menceritakan keadaan para Ummul-Mu’minin yang lain, Ummu Salamah r.a. dengan gayanya yang anggun menegur, “Engkau itu sungguh mengherankan, hai Ibn al-Khaththab! Engkau selalu mau mencampuri semua urusan, sampai urusan antara Rasulullah dan para istrinya pun engkau mau turut mencampurinya!” Mengenai kejadian itu ‘Umar pernah mengatakan, “Ia benar-benar marah kepadaku. Dengan kemarahannya itu kejengkelan hatiku jadi agak berkurang.”[1]
Ucapan Ummu Salamah kepada ‘Umar tersebut cukup menunjukkan kedudukannya di tengah kelurga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Beliau bahkan memandangnya dan anak-anaknya sebagai keluarga beliau sendiri. Dalam kitab As-Samthuts-Tsdmin, halaman 20, terdapat sebuah riwayat sebagai berikut.
Pada suatu hari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berada di rumah Ummu Salamah bersama putrinya, Zainab binti Abu Salamah, tak lama kemudian datanglah Fathimah Az-Zahra r.a. bersama dua orang putranya, Al-Hasan dan Al-Husain—radhiyallahu ‘anhuma. Beliau segera memeluk dua orang cucunya itu seraya berucap, “Rahmat Allah dan berkah-Nya atas kaliah, ahlul-bait. Allah Maha Terpuji dan Mahamulia.” Mendengar itu Ummu Salamah menangis. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menoleh kepadanya dan dengan lembut bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, Anda mengistimewakan mereka, meninggalkan diriku dari anakku ini!” Beliau lalu menjelaskan, “Engkau dan anakmu itu termasuk ahlul-bait.”b
Hingga besar Zainab hidup di bawah naungan dan asuhan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Pada zamannya ia termasuk seorang wanita yang berpengetahuan luas tentang ilmu-ilmu agama. Terdapat sebuah riwayat[2] mengenai keistimewaan Zainab binti Abu Salamah sebagai berikut. Pada suatu hari ketika Zainab masih kanak-kanak ia masuk ke tempat tinggal Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang ketika itu sedang mandi. Oleh beliau muka Zainab diciprati air. Karena cipratan air mandi beliau itu hingga dewasa, bahkan hingga tua, wajah Zainab tampak muda.
Sebagai salah satu bentuk penghargaan kepada Ummu Salamah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. menikahkan anak lelakinya, Salamah, dengan Umamah binti Hamzah bin Abdul-Muththalib, pahlawan syahid dalam perang Uhud dan paman Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang terkenal sepanjang masa.
Para ahli ilmu silsilah mengatakan, Salamah itulah yang bertindak sebagai wali (sekalipun masih kanak-kanak) pada waktu pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan ibunya, Ummu Salamah. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menikahkan Salamah dengan Umamah binti Hamzah, beliau berkata kepada para sahabatnya, “Tahukah kalian, bahwa aku membalas budinya?!”[1]
[1]Diketengahkan oleh Ibnu ‘Abdul-Birr di dalam Al-hti’ab. Lihat Thabaqalush-Shahabah, Bab ‘Umar bin Abi Salamah dan Durrah binti Abi Salamah, dua orang anak tiri Rasulullah saw.
[1]Yang dimaksud ialah kejengkelan ‘Umar r.a. mendengar kabar tentang ulah beberapa Ummul-Mu’minin yang menyusahkan Rasulullah saw. Lihat hadis ‘Umar T.a.-*nuttafaq ‘alaih—di dalam kitab Al-Lu’lu wa Marjanfi Ma Ittafaqa ‘ Asy-Syakhan: 11/830-944).
[2]Diketengahkan oleh Ibnu ‘Abdul-Birr dan Ibnu Hajar di dalam Al-Isti’ab dan Al-Ishabah.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini