Menyampaikan Wahyu kepada Sahabat
‘A’isyah r.a. membanggakan diri terhadap para madunya karena pernah turun wahyu Ilahi kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam di saat beliau berada di tempat kediamannya. Ia baru berhenti membanggakan diri setelah turun wahyu kepada beliau pada saat sedang berada di tempat kediaman Ummu Salamah r.a., yaitu Surah At-Taubah 102:
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengaku berdosa karena mencampurbaurkan perbuatan yang baik dengan perbuatan lain yang buruk. Semoga Allah berkenan menerima tobat mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menurut beberapa ahli tafsir, ayat tersebut turun setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memimpin ekspedisi menundukkan perlawanan Bani Qu-raidhah. Mereka dikepung rapat sekali hingga menderita berat dan ketakutan lalu menyerah. Mereka minta kepada beliau supaya mengirim seorang utusan yang sudah mereka kenal untuk merundingkan persoalan mereka. Beliau mengutus Abu Libabah bin ‘Abdul-Mundzir Al-An-shariy. Ketika melihat Abu Libabah tiba mereka berkerumun mengelilinginya. Sejumlah kaum wanita berdatangan pula menemuinya sambil menangis bersama anak-anaknya. Abu Libabah merasa sangat kasihan melihat mereka. Akan tetapi dalam percakapan ada di antara tokoh-tokoh Bani Quraidhah yang berani bertanya, “Hai Abu Libabah, bagaimana pendapat Anda kalau kami melepaskan diri dari kekuasaan Muhammad?” Pertanyaan seorang tokoh dari kelompok Yahudi itu dijawab oleh Abu Libabah dengan isyarat tangan di leher sambil berkata menakut-nakuti, “Leher kalian akan dipenggal.” Setelah beranjak meninggalkan tempat ia sadar bahwa dengan jawabannya itu ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Ia cepat-cepat pulang ke Madinah dengan hati sangat menyesal. Ia tidak langsung pulang ke rumah tetapi menuju masjid lalu mengikat dirinya pada salah satu tiangnya. Ia berjanji, “Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum Allah menerima tobatku atas perbuatan yang kulakukan!”
Ibnu Hisyam di dalam Sirah-nya mengenai peristiwa tersebut mengemukakan:
“…… Selama enam hari enam malam Abu Libabah mengikat diri pada tiang masjid. Setiap waktu shalat tiba istrinya dating untuk melepas ikatannya. Seusai shalat ia diikat lagi seperti semula …. Ketika Rasulullah diberi tahu tentang perbuatan Abu Libabah itu beliau berkata, ‘Seumpama ia dating kepadaku tentu kumohonkan ampunan kepada Allah baginya. Akan tetapi karena ia telah melakukan apa yang dilakukannya itu, aku tidak melepaskannya dari tempat itu sebelum Allah menerima tobatnya!” beberapa saat kemudian-demikian menurut Ibnu Ishq- di malam hari menjelang subuh turunlah firman Allah SWT kepada beliau mengenai penerimaan tobat Abu Libabah, saat beliau sedang berada di kediaman Ummu Salamah r.a…..”
Ummu Salamah mendengar beliau tertawa, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa Anda tertawa?” Beliau menjawab, “Bolehkah kuberitahukan kabar gembira itu kepadanya?” Beliau menjawab, “Boleh, jika engkau mau!” Ummu Salamah r.a. pagi harinya pergi ke tempat Abu Libabah—ketika itu hijab belum disyariatkan—memberi tahu, “Hai Abu Libabah, gembirakan hatimu, Allah telah menerima tobatmu!”
Mendengar itu sejumlah sahabat berdatangan hendak melepaskan Abu Libabah dari tali yang mengikatnya pada tiang, tetapi ia keras menolak. “Demi Allah, jangan kalian lepaskan aku. Biar Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sendiri yang melepaskan diriku dengan tangan beliau!” Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam keluar dari rumah untuk menunaikan shalat subuh, beliau menghampiri tempat Abu Libabah lalu melepaskannya.[1]
[1] Sirah Ibnu Hisyam: III/247; Tarikh Thabariy: 111/54, Bab Kejadian-kejadian Tahun ke-5 Hijriyah.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini