Pada tahun ke-6 Hijriyah, Ummu Salamah r.a. menyertai Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dalam perjalanan ‘umrah ke Makkah, yakni ‘umrah yang tidak terlaksana karena beliau dan para sahabatnya dilarang memasuki kota Makkah oleh kaum musyrikin Quraisy. Peristiwa itulah yang mengakibatkan adanya Perjanjian Perdamaian “Hudaibiyyah” (Shulhul-Hu-daibiyyah) antara pihak Muslimin dan pihak musyrikin Quraisy.
Dalam peristiwa ‘umrah yang tidak terlaksana itu Ummu Salamah r.a. mempunyai andil yang besar dan mulia serta tercatat dalam sejarah Islam. Kejadiannya sebagai berikut; setelah Perjanjian Perdamaian dengan kaum musyrikin Quraisy ditandatangani di Hudaibiyyah, banyak sahabat Nabi yang meronta. Mereka berpendapat bahwa perjanjian itu meremehkan martabat kaum Muslimin,[1] padahal dalam berbagai peperangan yang baru lalu pasukan Muslimin selalu meraih kemenangan. Di antara mereka yang meluap-luap terbakar oleh emosinya ialah ‘Umar Ibnul-Khaththab r.a. Ia mendatangi Abu Bakar r.a. dan dengan muka merah padam seolah-olah menggugat, “Bukankah beliau itu (Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ) Rasulullah? Bukankah kita ini kaum Muslimin? Bukankah mereka itu kaum musyrikin?” Abu Bakar dengan tenang menyahut, “Ya, benar!” Dengan suara menggeledek ‘Umar bertanya, “Hai ‘Umar, aku bersaksi bahwa beliau (Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam adalah Rasulullah!” ‘Umar menumpangi jawaban itu, “Ya, aku pun bersaksi bahwa beliau itu Rasulullah!”
Abu Bakar r.a. tidak dapat memberi jawaban yang diharapkan ‘Umar, karenanya ‘Umar lalu segera pergi, dan tergopoh-gopoh menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukannya kepada Abu Bakar. Pada mulanya Rasulullah tidak mau segera menjawab agar darah ‘Umar agak mendingin, tetapi setelah sampai kepada pertanyaan, “Mengapa kita membiarkan agama kita dihina?” Beliau menjawab, “Hai ‘Umar, aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, dan aku tidak menyalahi perintah-Nya, Allah pun akan membiarkan diriku.”[2]
‘Umar masih tampak belum puas dengan jawaban beliau, tetapi ia dapat menahan emosinya dan mengendalikan diri.
Ketidakpuasan yang mencekam perasaan kaum Muslimin demikian memuncak hingga titik yang berbahaya. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menyuruh para pengikutnya (di Hudaibiyyah) supaya menyembelih korban masing-masing dan memotong rambut, tidak ada seorang pun dari mereka yang melaksanakan. Hingga tiga kali Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menyuruh mereka melakukan itu, tetapi tetap masih tidak ada yang mengindahkan. Dengan kesal beliau masuk ke dalam kemah Ummu Salamah r.a. lalu menceritakan bagaimana para sahabatnya mengabaikan perintah beliau. Ummu Salamah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Anda ingin supaya mereka melaksanakan perintah itu …? Keluarlah dan janganlah Anda berbicara sepatah kata pun dengan seseorang. Sembelihlah korban lalu panggillah orang yang akan mencukur Anda lalu ber-cukurlah!” Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menyetujui dan menerima baik saran Ummu Salamah r.a. Beliau keluar dari kemah, tanpa berbicara dengan siapa pun beliau menyembelih korban dan bercukur. Semua sahabat melihat dan memperhatikan apa yang beliau lakukan. Kemudian beramai-ramai mengikuti jejak beliau, menyembelih ternak korban masing-masing dan satu sama lain saling mencukur. Mereka tuduh-menuduh, saling menyalahkan karena menyesal atas sikap semula yang tidak mengindahkan perintah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam
Pikiran kaum Muslimin mulai tenang dan dapat mengalahkan luapan emosi yang baru saja membakar darah mereka. Dengan hati dan pikiran tenang akhirnya mereka dapat memahami, bahwa Perjanjian Perdamaian yang diadakan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan kaum musyrikin Quraisy benar-benar mempunyai arti sangat penting. Di kemudian hari terbukti, berdasarkan perjanjian tersebut kaum Muslimin meraih kemenangan besar yang selama itu belum pernah diraihnya. Kota Makkah jatuh ke tangan mereka, dan penduduk Makkah berbondong-bondong memeluk agama Islam, meninggalkan agama keberhalaan warisan nenek moyang yang sesat.
Ummu Salamah tidak hanya mengikuti Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam di Hudaibiyyah saja, bahkan mengikuti beliau juga dalam perang Khaibar, penyerbuan ke Makkah, dalam aksi pengepungan kota Tha’if dalam operasi militer mematahkan perlawanan dua kabilah. Bani Hawazin dan Bani Tsaqif. Ia mengikuti beliau juga dalam Hijjatul-Wada’ (Haji Perpisahan) pada tahun 10 Hijriyah.
Sepanjang pengetahuan kami tidak ada berita atau riwayat yang menerangkan bahwa Ummu Salamah r.a. mengungguli ‘A’isyah r.a. dalam menyaingi para istri Nabi yang lain. Riwayat yang ada mengenai itu hanya menerangkan bahwa ia (Ummu Salamah r.a.) merasa iri terhadap Mariyah Al-Qibthiyyah setelah mengetahui bahwa istri Nabi yang berasal dari Mesir itu hamil dan akan melahirkan putra Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Ia ingin bernasib seperti Mariyah, tetapi ternyata keinginannya itu tidak terkabul. Padahal dengan suaminya terdahulu, Abu Salamah, ia dapat melahirkan beberapa orang anak lelaki dan perempuan.
Hingga saat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menderita sakit menjelang kemangka-tannya ke haribaan Allah, kehidupan para istri beliau tenang dan tenteram. Mereka telah menyadari kedudukannya masing-masing sebagai Ummul-Mu’minin, panutan dan contoh bagi kaum wanita beriman sepanjang zaman. Selama sakit hingga wafat beliau berada di kediaman ‘A’isyah r.a. Beliau mengizinkan para istri lainnya datang menjenguk, kapan saja mereka menghendaki.
[1]Dalam perjanjian tersebut Rasulullah saw. menyetujui penghapusan kalimat Bismillahi Ar-Rahmdn Ar-Rahim, kalimat Rasulullah dan bersedia menyerahkan kembali kepada kaum musyrikin Quraisy setiap Muslim yang meninggalkan Makkah minta perlindungan kepada beliau, tetapi tidak sebaliknya. Hal itu dianggap meremehkan martabat kaum Muslimin.
[2]Lihat Sirah Ibnu Hisyam: 111/131. Hadis muttafaq ‘alaih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini