Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil, ketika mengetahui anaknya hilang dilarikan penyamun merasa sangat cemas dan khawatir kalau-kalau sudah mati dibunuh. Akan tetapi ia belum putus harapan. Ia keluar meninggalkan permukimannya, pergi ke mana-mana untuk mencari Zaid. Akhirnya ia mendengar bahwa Zaid berada di Makkah. Bersama saudaranya yang bernama Ka’ab ia berangkat ke Makkah. Di kota itu banyak orang ditanya tentang siapa yang membeli seorang anak yang dijual di pasar ‘Ukadz beberapa waktu lalu. Hampir saja ia tidak menemukan jejak di tengah keluarga siapa Zaid berada. Beruntunglah ia karena ada seseorang mengetahui bahwa keluarga Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sekarang mempunyai pelayan seorang anak lelaki bernama Zaid. Secara kebetulan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam saat itu sedang berada di Ka’bah. Setelah mengenalkan diri ia berkata merengek, “Hai cucu Abdul-Muththalib pemimpin Quraisy! Aku tahu bahwa Anda adalah tetangga rumah Allah ini, gemar menolong orang susah dan memberi makan orang lapar. Aku datang menemui Anda untuk mengambil kembali anakku. Biarlah ia kutebus Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menjawab, “Bagaimana kalau dengan cara selain itu?!” Haristsah bertanya, “Cara apa?” Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menjelaskan, “Dia akan kupanggil dan akan kusuruh memilih. Kalau ia memilih Anda, ambillah; tetapi kalau ia memilihku, demi Allah, aku tidak pernah menyuruh orang memilihku.” Haritsah bersama saudaranya mendengar penjelasan itu serentak menyahut kegirangan, “Ya, Anda sungguh adil!”
Zaid lalu dipanggil. Ia senang melihat ayahnya datang bersama pamannya, hingga mukanya tampak berseri-seri. Melihat muka Zaid yang demikian cerah Haritsah yakin, Zaid pasti lebih suka memilih ayahnya sendiri. Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam kemudian berkata kepada Zaid, bahwa kalau suka ia boleh pulang mengikuti ayahnya, dan kalau tidak suka pulang ia boleh terus mengikuti beliau. Ternyata tanpa banyak berpikir Zaid lebih suka memilih tuannya, Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Ayahnya tercengang lalu bertanya, “Hai Zaid, mengapa engkau lebih menyukai perbudakan daripada ayah-ibumu, kampung halamanmu, dan kabilahmu sendiri?”
Zaid menjawab, “Saya melihat sesuatu pada tuanku yang sangat baik ini. Saya tidak akan berpisah meninggalkannya!”
Dengan jawaban itu Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sangat terharu. Tangan Zaid dipegang lalu diangkatnya tinggi-tinggi sambil berkata kepada orang-orang yang berada di sekitar beliau, “Saudara-saudara, saksikanlah bahwa mulai sekarang Zaid menjadi anakku, berhak mewarisi dan diwarisi!” Pada masa itu belum disyariatkan larangan tabanni (adopsi, mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri dan memberi hak sama seperti hak yang ada pada anak sendiri). Sejak itu Zaid di-nasab-kan kepada beliau, tidak kepada ayahnya. Yakni, nama lengkap Zaid menjadi Zaid bin Muhammad, bukan Zaid bin Haritsah.
Dalam sejarah Islam, Zaid bin Haritsah adalah orang lelaki kedua yang memeluk Islam sesudah ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Ketika di Madinah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mempersaudarakan sejumlah kaum Muslimin yang berhijrah, yang satu dengan yang lain, Zaid dipersaudarakan dengan Hamzah bin Abdul-Muththalib r.a. Setelah Zaid mencapai usia dewasa, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menikahkannya dengan putri bibi beliau, yaitu Zainab binti Jahsy, wanita yang menjadi pembicaraan dalam bab ini.
Pada mulanya Zainab menolak karena ia tidak menyukai Zaid. Demikian juga saudara lelakinya, Abdullah bin Jahsy. Akan tetapi dua orang kakak-beradik itu tidak berani menyatakan terus terang kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Akhirnya mereka berdua terus terang minta kepada beliau supaya jangan diharuskan menerima penghinaan yang merendahkan martabatnya sebagai keturunan bangsawan. Ketika itu Zainab berkata, “Tidak, aku tidak mau nikah dengannya!” Mereka belum memahami bahwa semua manusia dalam pandangan Allah SWT adalah sama, tidak ada manusia yang lebih tinggi martabatnya dan lebih mulia dari yang lain kecuali yang lebih besar ketakwaannya, ketaatannya, dan kepatuhannya kepada Allah SWT. Oleh karena itu, beliau berusaha meyakinkan Zainab dan saudaranya dengan cara menjelaskan kedudukan Zaid dalam pandangan beliau, kedudukannya di dalam Islam, dan Zaid itu benar-benar asli keturunan Arab, baik ayahnya maupun ibunya. Akan tetapi sekalipun dua orang bersaudara itu mencintai beliau dan taat kepadanya, keduanya tetap berkeberatan, terutama Zainab. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak dapat memaksanya melakukan sesuatu yang tidak disukainya …. Beberapa saat kemudian turunlah wahyu Ilahi kepada beliau sebagaimana termaktub di dalam Alquranul Karim, Surah Al-Ahzab ayat ke-36:
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة اذا قضى الله ورسوله امرا ان يكون لهم الخيرة من امرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضللا مبينا
Dan tidaklah patut bagi seorang beriman—lelaki maupun perempuan, bila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu urusan, mereka masih mempunyai pilihan lain mengenai urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sesungguhnya ia nyata-nyata telah sesat.
Dengan turunnya firman Allah tersebut baik Zainab maupun Abdullah, terdorong oleh keimanan masing-masing kepada Allah dan Rasul-Nya, berubah pendirian. Zainab mau dinikahkan dengan Zaid semata-mata karena taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Selain itu ia juga menyadari kewajiban tunduk kepada prinsip ajaran Islam, bahwa manusia yang satu tidak lebih mulia daripada manusia yang lain kecuali ketakwaannya semata-mata.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini