“Ya Rasulullah, aku tidak seperti istri-istri Anda yang lain. Masing-masing mereka dinikahkan oleh ayahnya, oleh saudaranya, atau oleh keluarganya …. Aku lain … Allah yang menikahkan Anda denganku dari langit!”
(Dari Zainab binti Jahsy Ummul-Mu’minindalam Al-Ishabah)
Wanita Bangsawan dan Pria Asuhan (Syarifah wa Maula)
Sewaktu Ummu Salamah r.a. tiba di tengah keluarga Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sebagai istri baru, ‘A’isyah r.a. berbicara dengan Hafshah r.a. tentang kecemburuan yang menyengat hatinya karena mendengar kabar, bahwa “pengantin” yang baru datang itu cantik rupawan. Akan tetapi Hafshah mengalihkan perhatian ‘A’isyah dengan mengatakan, “Sekalipun cantik tetapi ia janda tua. Kecemburuan ‘A’isyah itu kurang tepat kalau ditujukan kepada Ummu Salamah, tetapi lebih baik ditujukan kepada yang lebih cantik lagi…” Demikian kata Hafshah kepada ‘A’isyah.
Hafshah berkata seperti itu seolah-olah ia mengetahui rahasia gaib yang akan terjadi. Ternyata apa yang dikatakan olehnya itu menjadi kenyataan. Kurang-lebih setelah setahun Ummu Salamah menjadi keluarga Nabi, datang lagi keluarga beliau (istri beliau) yang baru. “Pengantin” yang akan menjadi sasaran kecemburuan ‘A’isyah r.a., lebih dari yang lain! Pengantin baru itu ialah Zainab binti Jahsy bin Riab bin Ya’mar Al-Asadiy, seorang wanita muda, berparas cantik, lagi berdarah bangsawan. Dari pihak ibunya ia adalah cucu ‘Abdul-Muththalib bin Hasyim. Ibunya bernama Umaimah binti ‘Abdul-Muththalib. Jelaslah bahwa Umaimah adalah bibi Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, saudara perempuan ayahnya, Abdullah (dari lain ibu). Dengan demikian maka Zainab binti Jahsy adalah saudara sepupu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam putri paman beliau.
Kehadiran Zainab di tengah keluarga Nabi bukan hanya disertai perasaan lebih tinggi karena kecantikannya, kemudaannya, dan asal keturunannya saja, melainkan juga karena merasa pernikahannya dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam atas perintah Allah SWT sebagaimana yang akan diutarakan dalam bagian mendatang. Oleh karena itu tidak aneh kalau kehadirannya menimbulkan “letupan-letupan” di kalangan para istri Nabi terdahulu. Lagi pula kenyataan menunjukkan, bahwa di antara semua Ummul-Mu’minin tidak ada yang pernikahannya dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menarik perhatian penduduk Madinah, seperti perhatian mereka kepada pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy. Karena sebelum pernikahan itu terjadi, telah didahului oleh situasi khusus yang menimbulkan keraguan dan kebimbangan, tetapi kemudian penyelesaiannya ditentukan oleh wahyu Ilahi. Untuk menjelaskan persoalannya kita perlu membicarakan lebih dulu peristiwa yang terjadi sebelum Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam diangkat Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul….
Kisahnya dimulai dari seorang pedagang bernama Hakim bin Hizam bin Khuwailid Al-Asadiy, yang selain mempunyai seorang budak ia juga mempunyai seorang pelayan (khadim) bernama Zaid. Tegasnya ialah bahwa Zaid bukan budak. Ia anak seorang bernama Haritsah bin Syarahil bin Ka’ab Al-Kalbiy. Pada suatu hari Zaid yang ketika itu masih kanak-kanak diajak pergi oleh ibunya, bernama Su’da binti Tsa’labah, untuk diperkenalkan dengan kerabatnya, orang-orang Bani Mu’an bin Thaiy. Tetapi malang … di tengah jalan ibu dan anak itu kepergok gerombolan penyamun berkuda. Dengan paksa Zaid disambar dari tangan ibunya dan dilarikan, kemudian dibawa ke salah satu pasar penjualan budak untuk dilelang. Di pasar penjualan budak itulah Hakim bin Hizam membeli Zaid. Hakim bin Hizam ialah anak lelaki saudara Khadijah binti Khuwailid, istri Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang ketika itu belum diangkat Allah sebagai Nabi dan Rasul. Untuk mempererat tali persaudaraan, Khadijah datang berkunjung ke rumah Hakim bin Hizam. Dalam percakapan Khadijah mengutarakan keinginannya mempunyai seorang pelayan. Oleh Hakim ia dipersilakan memilih sendiri mana di antara budak dan pelayannya yang paling cocok untuk diambil. Pada akhirnya Khadijah binti Khuwailid memilih Zaid. Setibanya di rumah ia menyerahkan pelayannya yang bernama Zaid itu kepada suaminya Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sebagai hibah.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini