Marilah kita kembali kepada pembahasan mengenai diriku di atas. Aku lahir pada tahun kelima puluh atau keenam puluh di abad kesepuluh. Selama sepuluh tahun aku berada di antara kedua orang tuaku, hingga wafatlah ayahku. Kami adalah penduduk Khudur, tetapi ayahku dikuburkan di al-Faidhah. Saudara-saudaraku memilih kuburan di kota al-Faidhah karena di sana terdapat kubur anak-anak paman-paman kami yang dikenal dengan anak-anak Yahya bin Ibrahim bin Abu Wakil. Kubur ayahku di tempat itu, dipindahkan dari sebuah tempat yang bernama Matslil yang merupakan suatu lembah yang masih bagian dari negeri Anqad dan berjarak sekitar dua pertiga marhalah (± 28 Km) atau lebih. Saudaraku Muhammad bin Abid telah wafat mendahului ayahku dan dikuburkan di tempat itu pula.
Ibuku bernama Manshurah binti Abdullah bin Umar. Ayahku adalah anak paman ibuku dari keluarga ayahnya (sepupunya). Saat ayahku wafat, ibuku masih muda dan bersabar mengharap kebaikan Allah dan pahala seperti yang diriwayatkan di dalam sebuah hadits tentang keutamaan seorang wanita yang bersabar atas anak-anaknya yang telah yatim”. Anak-anak ibuku saat itu lima orang; Zuhrah. Muhammad, aku Yusuf, Fathimah, dan Abu al-Qasim yang masih kecil. Paling tua di antara kami adalah saudariku Zuhrah yang saat itu berusia tiga belas tahun. Kami juga memiliki saudara dari ibu lain bernama Fathimah binti al-‘lyath yang berasal dari kabilah Zanatih. Yang tertua di antara mereka adalah Muhammad yang telah wafat sebelum ayahku dan seorang wanita yang wafat pula sebelum ayahku. Saudariku itu menikah dengan anak pamannya (sepupu) dari pihak ayah yang bernama Yahya bin Ali bin Abdullah bin Umar dan ia tak memiliki anak seorang pun. Selain mereka adalah Musa dan Ali. Keduanya telah menikah dan memiliki anak serta cucu yang lahir di tahun wafatnya ayahku, yaitu tahun tujuh puluh empat atau tujuh puluh lima di abad kesepuluh.
Begitulah, aku hidup di negeri ayah dan para datukku di tengah-tengah keluargaku. Terdidik di rumah tangga ayah, saudara dan paman-pamanku dari ibu. Paman-pamanku itu adalah Muhammad bin Abdullah bin Umar, dan Ali bin Abdullah bin Umar. Mereka adalah saudara sekandung ibuku.
Kakekku Abdullah bin Umar, Muhammad bin Umar dan Yusuf bin Umar adalah ayah-ayahku. Kakekku Abdullah bin Umar dinikahkan oleh ayahnya yang bernama Umar bin Ibrahim bin Umar bin Isa dengan anak pamannya dari pihak ayah yang bernama Sulthanah binti Muhammad bin Zakariya bin Yahya bin Isa. Mereka memiliki tiga anak laki-laki; Muhammad, Ali, dan Abid. Begitu pula anak wanita bernama Zuhrah, ibuku Manshurah dan Amirah. Lalu suaminya, Abdullah bin Umar wafat, dan setelah itu saudaranya yang bernama Yusuf bin Umar menikahinya, hingga memiliki anak yang bernama Umar. Dialah guruku yang menjadikanku menimba akhlak darinya, karena ia adalah seorang yang alim. Beliau adalah duplikat dari Abdullah bin Umar. Sedangkan kakekku Muhammad bin Umar tidak memiliki anak kecuali ayahku Abid dan saudara wanitanya sebapak. Ibu ayahku bernama Halimah binti Muhammad.
Kakekku Muhammad menikahi nenekku yang bernama Ghanimah yang merupakan anak Yahya bin Ibrahim bin Abu al-Wakil. Sebelumnya, nenekku menikah dengan Ali bin Ahmad bin Zakariya bin Yahya bin Isa. Melalui suaminya itu ia memiliki anak bernama Isa dan Mahjubah, serta seorang anak lagi yang lahir setelah wafat ayahnya. Anak itu diberi nama Ali bin Ali, dengan nama ayahnya sendiri. Setelah kematian suaminya, ia menikah dengan kakekku Muhammad bin Umar. Melalui pernikahannya itu ia memiliki anak yaitu bibiku yang bernama Halimah, lalu ayahku Abid. Kemudian kakekku Muhammad pergi ke arah timur yaitu ke desa al-Ghaidhah. Diberitakan bahwa ia pergi setelah wafat ayahnya, Umar bin Ibrahim, menuju murid-murid al-lmam as-Sanusiy, yaitu Muhammad bin Yusuf yang masyhur. Beliau wafat di sana, di sekitar kota Talmasan di gunung Barar. Sebagaimana wasiatnya, dibangunlah pagar yang mengelilingi kuburnya. Begitulah yang diberitakan kepadaku. Ali bin Abdullah bin Umar datang kepadaku dan menceritakan tentang kepergiannya ke kota itu, tentang penduduk yang tinggal di gunung itu dan menggambarkan kondisi tempat itu seperti yang aku ceritakan. Lalu ia mendatangi kubur kakekku Muhammad bin Umar dan mendapatinya seperti yang diceritakan mereka, yaitu terdapat bangunan yang mengelilinginya, dan tidak beratap. Setelah wafat kakekku, ayahku terdidik di rumah saudaranya seibu, yaitu Isa bin Ali, Ali bin Ali, dan Mahjubah binti Ali.
Pamanku dari ibu yang bernama Muhammad bin Abdullah wafat setelah kematian ayahku dan dikuburkan di sisi ayahku di perkuburan sekitar Yaqqur. Tempat itu adalah perkuburan untuk anak-anak pamanku dari ayah Yahya bin Ibrahim bin Abu al-Wakil. Tempat itu tidak mereka cadangkan bagi kami kecuali saudaraku Muhammad, ayahku Abid dan pamanku dari ibu Muhammad bin Abdullah. Kita tak memiliki tempat pula untuk dikuburkan di dekat kakekku Umar bin Ibrahim, keluarganya, ayah dan datuk-datukknya yang terkubur di negeri Anqad, di suatu tempat yang dinamakan Ain Tammah. ‘Ain Tammah adalah sebuah tempat dengan mata air yang dinamakan ad-Daflah dan mata air yang lain memancar dari batu yang dinamakan *Uyun al-Muluk. Aku tak tahu apakah sebab mata air yang terdapat di dataran rendah dan bukan di pegunungan ini dinamakan Uyun al-Muluk. Sebagian besar penduduk di tempat itu mengatakan bahwa nama itu berasal dari seseorang yang bernama Abdul malik, lalu mereka menamakannya Muluk. Boleh jadi, dulu pemilik mata air itu adalah Abdulmalik lalu dinamakanlah mata air itu dengan Muluk. Wallahu a’lam.
Sumber: Perjumpaan Yusuf bin ‘Abid dengan syaikh Abu Bakar bin Salim