Menurut As-Suhaily di dalam Ar-Raudhatul-Anf lima puluh hari setelah kehancuran balatentara Habasyah, Aminah melahirkan putranya. Demikianlah menurut para penulis sejarah pada umumnya.’Abdullah bin ‘Abbas mengatakan, persalinan Aminah terjadi tepat pada hari kehancuran pasukan Abrahah.17 Beberapa sumber riwayat lainnya menegaskan, bahwa persalinana Aminah terjadi dalam tahun Gajah.
Aminah melahirkan putranya menjelang fajar hari Senin bulan Rabbi’ul-awwal tahun Gajah. Saat itu ia berasa seorang diri di dalam rumah, hanya ditemani pembantunya, Barakah Ummu Aiman. Sementara riwayat mengatakan, turut menemani pula Ummu ‘Utsman bin Abil-‘Ash. Selama bersalin Aminah tidak sekejap pun melupakan suaminya yang belum lama wafat. Sukar dilukiskan betapa luluh hatinya membayangkan seorang putra yang beberapa detik lagi akan menyaksikan wajah dunia tanpa melihat ayahnya. Alangkah bahagianya jika dalam saat-saat menegangkan itu ia didampingi suaminya yang akan turut menyongsong kelahiran seorang putra yang kelak akan menjadi manusia termulia.
***
Hanya beberapa hari saja Siti Aminah menyusui putranya, yang oleh datuknya.’Abdul-Muththalib, diberi nama “Muhammad” yang berkmakna “manusia terpuji”. Derita batin terus-menerus sejak ditinggal wafat suaminya membuat Aminah kurus kering hingga tidak mengeluarkan air susu yang cukup untuk membesarkan putranya. Untuk sementara penyusuannya diserahkan kepada Tsuwaibah Al-Alamiyah, bekas hamba sahaya yang sudah dimerdekakan oleh majikannya, Abu Lahab. Dahulu Tsuwaibah juga pernah menyusui Hamzah bin ‘ Abdul-Muththalib, kakak ‘Abdullah (suami Aminah) dari lain ibu.
Beberapa hari kemudian datangalah sejumlah wanita dari Bani Sa’ad bin Bakr, yang selama ini sudah biasa menyusui anak-anak orang Quraisy dengan menerima imbalan tertentu. Akan tetapi setelah mereka tahu bahwa anak yang akan disusuinya itu putra Aminah tidak mempunyai ayah dan ibunta seorang janda yang miskin, mereka menolak. Mereka berpikir;apalah yang dapat diberikan kepada mereka oleh seorang janda yang tidak mempunyai harta peninggalan suaminya. Kenyataan itu membuat Aminah lebih terpukul lagi perasaannya. Ia sendiri tidak dapat menyusui putranya. Wanita lain tidak bersedia menyusui putranya hanya karena ia orang tak berharta. Sedangkan tradisi menyusukan anak kepada wanita lain sudah demikan membudaya di kalangan masyarakat Quraisy, adat kebiasaan yang tidak mudah diabaikan begitu saja.
Mahabesar Allah, pada saat Siti Aminah kebingungan dan putus asa, seorang wanita Bani Sa’ad yang pagi harinya menolak menyusui putranya, siang harinya datang kembali untuk menyatakan kesediaanya menerima putra Siti Aminah itu sebagai anak asuhan, tanpa menentukan berapa imbalan yang diminta. Wanita itu bernama Halimah As-Sa’diyah, atau lengkapnya Halimah binti Zu’aib As-Sa’diyah. Suaminya bernama Al-Harits bin Abdul-‘Uzza, mempunyai seorang ana lelaki dan dua anak perempuan, yaitu ‘Abdullah, Anisah dan Syaima. Tiga anak bersaudara itulah yang kemudian menjadi saudara-saudara sepersusuan junjungan kita Nabi besar Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam
Atas persetujuan Siti Aminah dan ‘Abdul Muththalib, bayi yang bernama Muhammad bin ‘Abdullah (Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam) dibawa pulang oleh Halimah. Dialah yang menyusui dan mengasuh putra Siti Aminah hingga tiba waktu penyapihannya. Selama itu—kurang-lebih dua tahuh cucu ‘Abdu Muthtahlib itu hidup di tengah-tengah keluarga Halimah di permukiman Bani Sa’ad yang terletak agak jauh dari pinggiran kota Makkah. Bagi seorang wanita mudah yang hidup dirundung malang seperti Aminah binti Wahb, dua tahun berpisah dengan putera tunggal kesayanganya bukanlah soal yang ringan. Kelahiran seorang putra yang dihara kan dapat menghibur duka laranya kini berada di dalam pelukan wanita lain yang jauh permukimannya. Akan tetapi Aminah yakin, keselamatan putranya lebih penting daripada ketenangan hatinya sendiri …
Setelah lewat masa sapihan, atas permintaan Halimah As’Sadiyyah, Siti Aminah binti Wahb dan ‘Abdul Muththalib menyetuji Muhammad bin ‘Abdullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tetap berada di bawah asuhan ibu susuannya dan tetap tinggal di tengah keluarga Bani Sa’ad. Setelah mencapai lima tahun barulah beliau (Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam) diserahkan kembali oleh Halimah kepada bundanya, Aminah binti Wahb. Mulai saat itulah Aminah baru berkesempatan menumpahkan seluruh kasih sayangnya kepada putranya.
Pada tahun berikutnya ia mengajak putranya berziarah ke makam ayahnya, ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib, terletak di luar kota Madinah. Turut serta dalam perjalanan ke Madinah pembantunyay ang bernama Barakah Ummu Aiman. Akan tetapi malanglah, dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Makkah bunda Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam,Aminah binti Wahb, wafat di sebuah pedusunan bernama Abwa, terletak diantara Madinah dan Makkah. Dengan kemangkatan sekaligus yaitu kemalangan ditinggal wafat bundanta dan kemalangan hidup di rantau orang. Namun kemalangan serupa itu sudah pernah dialaminya juga, yaitu ditinggal wafat ayahandanya ketika beliau masih berada di dalam kandungan bundanya. Kemalangan demi kemalangan, semuanya itu tidak lepas dari hikmah Ilahi yang tidak di ketahui oleh siapa pun selain Allah sendiri.
Setelah beberapa hari tinggal di Abwa menyaksikan pemakaman bundanya, Ummu Aiman mengajak beliau pulang ke Makkah dan menyerahkannya kepada ‘Abdul-Muthtahlib, datuknya. Mulai saat itu Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam hidup dibawah naungan datuknya. Dari kasih sayang datuknya itu Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salamberoleh keringanan penderitaan sebagai anak yatim piatu. Namun takdir Ilahi menentukan ‘Abdul-Muthtahlib tidak berusia lebih panjang lagi. Ketika itu usianya sudah mencapai 80 tahun, dan Muhammad Shalallahuu aliahi wa aalihi wa shahbihi wa salam berusia 6 tahun. Kesedihan Muhammad saw ditinggal wafat datuknya tidak lebih ringan daripada kesedihannya ketika di tinggal wafat bundanya. Beliau terus-menerus menagis sepanjang jalan mengantarkan jenazah datuknya ke pembaringan terakhir.
***
Demikianlah sepintas kilas kisah kehidupan bunda Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, Siti Aminah binti Wahb. Uraian terinci dapat dibaca dalam buku kami Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, halaman 178-219.[]