Dalam sebuah hadis shahih Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah bersabda menegaskan:
لم يزل الله ينقلني من الأصلاب الطيبة إلى الأرحام الطاهرة مصفى مهذبا , لا تتشعب شعبتان إلا كنت في خيرها . حديث شريف
“… Dan senantiasa Allah memindahkan aku dari tulang sulbi yang baik ke dalam rahim yang suci, jernih dan terpelihara. Setiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua aku berada di dalam yang terbaik dari keduanya itu.” (Hadis Syarif)
Makna umum dari hadis tersebut ialah, bahwa dilihat dari silsilah pihak ayah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berasal dari keturunan suci dan bersih dari perbuatan tercela. Demikian pula dilihat dari silsilah bundanya, beliau pun berasal dari keturunan yang tidak pernah ternoda kehormatannya dan suci bersih.
Pada pertengahan abad ke-6 Masehi sejarah dunia mencatat adanya kabilah utama di kawasan Bakkah (Makkah) yang memikul tanggungjawab pengurusan Rumah Suci Ka’bah. Kabilah tersebut ialah Quraisy. Kabilah itu dikenal pula dengan nama Bani Zuhrah sebab mereka memang keturunan dari Zuhrah, saudara kandung Qushaiy bin Kilab, seorang tokoh Quraisy yang kita kenal berhasil merebut kekuasaan di Makkah dari tangan Bani Khuza’ah. Dua anak kabilah Quraisy, Bani Zuhrah dan Bani Abdu Manaf demikian erat tali persaudaraannya sehingga mereka dapat memainkan peranan besar dan penting dalam sejarah daerah Makkah, yang dari hari ke hari berubah bentuk menjadi sebuah kota lalu lintas perdagangan antara negeri-negeri dan kawasan-kawasan sekitarnya.
Dari keluarga Bani Zuhrah itulah muncul sekuntum melati Quraisy yang memahkotai nenek moyangnya dengan kemuliaan yang tidak pernah diraih oleh kabilah-kabilah lainnya. Di dalam rahim melati Quraisy yang bernama Aminah binti Wahb itulah bersemayam janin suci calon manusia terbesar dalam sejarah umat manusia, yaitu junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam
Aminah binti Wahb lahir dari silsilah keluarga yang dalam sejarah bangsa Arab tercatat sebagai keluarga yang mempunyai akar sejarah tua. Aminah lahir dari dua orang suami-istri bernama Wahb dan Bar-rah, yang satu berasal dari Bani Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab dan yang lain berasal dari Bani Abdu Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Jadi, Kilahlah akar silsilah ayah dan ibu Aminah binti Wahb. Cabang-cabang dari akar silsilah itulah yang dengan bangga dinyatakan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam sebuah hadis yang kami nukil di atas tadi, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas r.a.
Suami Aminah binti Wahb bernama Abdullah bin Abdul-Muth-thalib, seorang pria dari Quraisy yang menjadi ayah Nabi kita Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Ayah Abdullah—Abdul-Muththalib bin Hasyim—seorang penguasa Makkah yang beroleh penghormatan dari kaumnya, melebihi penghormatan yang pernah diperoleh para datuknya. Semua orang Quraisy mengakui kewibawaan dan keaggunannya, kebijaksanaan dan kearifannya. Ia benar-benar dicintai dan disegani oleh semua penduduk Makkah, baik mereka yang berasal dari kabilah Quraisy maupun yang berasal dari kabilah lain.
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan bukti betapa Abdul-Muththalib mempunyai sifat kepemimpinan yang mengagumkan dan rasa keagamaan yang sangat mendalam, antara lain:
- Sikapnya ketika ia bernazar hendak menyembelih seorang anaknya apabila ia dikaruniai sepuluh orang anak. Ketika Abdullah (ayah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam) lahir genaplah anak Abdul-Muththalib menjadi sepuluh orang, dan menjelang dewasa ia hendak menyembelih anak bungsunya itu. Ketika itu masyarakat Makkah berusaha mencegahnya, tetapi ia bersikeras. Pada akhirnya ia setuju melakukan un diantara menyembelih ‘Abdullah dan menyembelih unta, dan unta yang hendak disembelih akan terus ditambah jumlahnya hingga ia yakin bahwa Allah meridai penebusan nazarnya dengan penyembelihan unta.
Dalam upaya penebusan nazar melalui undian itu, walaupun sudah tiga kali dilakukan, nama ‘Abdullah tidak muncul juga. Kenyataan itu oleh Abdul-Muththalib diartikan, bahwa penyembelihan unta dapat menggantikan penyembelihan Abdullah. Akan tetapi karena rasa keagamaannya yang sangat mendalam, Abdul-Muththalib belum juga merasa tenteram. Ia baru mengurungkan niat menyembelih ‘Abdullah setelah pengundian diulang berkali-kali hingga jumlah unta yang hendak disembelih mencapai seratus ekor.
- Ketika penguasa Yaman, Abrahah, menyerbu Makkah dengan maksud hendak menghancurkan Ka’bah, Abdul-Muththalib tampil menghadapinya. Ketika itu ia dengan rasa keagamaan yang kuat dan mendalam mendatangi Abrahah, menuntut pengembalian haknya atas sejumlah binatang ternak yang dirampas oleh balatentara yang datang menyerbu. Ketika itu ia menegaskan, bahwa soal Ka’bah mempunyai pemiliknya sendiri yang akan melindunginya:
ان لهذا البيت ربا يحميه
“Ka’bah ini mempunyai Tuhan (penguasanya) yang akan melindunginya.”
Sikap Abdul-Muththalib yang setegas itu dapat dinilai sebagai sikap seorang pemimpin yang memiliki harga diri, menyadari tanggungjawab yang tinggi dan sekaligus menghayati rasa keagamaan yang sangat mendalam.
Abdullah bin’Abdul-Muththalib dilahirkan oleh seorang ibu bernama Fathimah binti Amr Al-Makhzumiy (dari kabilah Bani Makhzum), termasuk tulang punggung kekuatan kabilah Quraisy. Dialah wanita yang melahirkan juga dua orang putra Abdul-Muththalib lainnya, yaitu Zubair dan Abu Thalib. Tersebut belakangan itulah yang menurunkan ‘Ali bin Abi Thalib r.a.[1]
[1] Silakan baca buku kami Ram)
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini