Allah SWT berfirman di dalam Al-Quranul-Karim:
اذ قالت الملائكة يمريم إن الله يبشرك بكلمة منه اسمه المسيح عيس ابن مريم وجيها في الدنيا والأخرة ومن المقربين . ال عمران :45
(Ingatlah) ketika malaikat (dahulu) berkata kepada Maryam: Hai Maryam, Allah menggembirakan engkau (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan titah (kun, jadilah) dari-Nya, bernama Al-Masih Isa putra Maryam. Ia seorang terkemuka di dunia dan akhirat serta merupakan salah satu di antara hamba-hamba Allah yang didekatkan kepada-Nya. (QSAlu’Imran:45)
Berdasarkan firman Allah tersebut Islam mengenal Al Masih dengan nama Isa putra maryam. Kaum ibu diseluruh dunia boleh bangga karena Nabi ‘Isa Alaihissalam dinasabkan Allah kepada bundanya, Maryam, seorang wanita yang disucikan dan dipilih Allah dari seluruh wanita di dunia sebagai ibu yang melahirkan Nabi ‘Isa Alaihissalam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh kitab-kitab suci agama, kisah keibuan Maryam benar-benar mengesankan. Ia seorang wanita yang menghadapi tantangan hidup paling berat: Lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang amat patuh kepada agama; ayahnya seorang arif kenamaan di kalangan Bani Israil (kaum Yahudi), dan ketika bundanya mengandung ia bernazar kepada Allah akan menyerahkan anak yang akan lahir itu kepada rumah peribadatan (haikal) sebagai pengelola.
Mengenai kelahiran Maryam Al-Qur’anul-Karim menjelaskan kepada kita sebagai berikut:
(Ingatlah) ketika istri ‘Imran berucap: Ya Tuhanku, kunazarkan kepada-Mu anak yang dalam kandunganku ini menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (pada Baitul-Maqdis). Karena itu terimalah nazarku itu. Sungguhlah Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui….
Ketika istri ‘Imran melahirkan anaknya ia pun berucap: Ya Tuhanku, aku melahirkan seorang anak perempuan!—Allah lebih mengetahui anak yang dilahirkannya itu, dan anak lelaki tidak seperti anak perempuan—(selanjutnya ia berkata): Ia kuberi nama Maryam dan ia beserta anak-ke-turunannya kuperlindungkan kepada-Mu dari (godaan) setan terkutuk
Tuhan menerima nazarnya dengan baik. Tuhan mendidiknya dengan baik dan menjadikan Zakariya pemeliharanya (anak perempuan itu, Maryam). Setiap Zakariya masuk ke dalam mihrab (ruangan khusus untuk beribadah) hendak bertemu dengan Maryam, ia selalu mendapati makanan di sisi anak perempuan itu. Zakariya bertanya: Hai Maryam, dari mana engkau memperoleh (makanan) itu} Maryam menjawab: Makanan itu dari Allah! Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa menghitung-hitung.
(QS Alu’Imran: 35-37)
Ayah Maryam wafat di kala ia masih kanak-kanak. Oleh karena itu timbul masalah siapakah di antara keluarga dan kaum kerabat yang akan memelihara dan mengasuhnya. Untuk itu mereka mengadakan pengundian, dan akhirnya undian jatuh pada Zakariya, suami bibi Maryam, yang oleh kaumnya dikenal sebagai seorang nabi.
Sejak usia remaja Maryam tekun sekali beribadah kepada Allah di dalam mihrab. Sebagaimana yang dinazarkan oleh ibunya sebelum ia lahir, Maryam juga rajin mengabdikan diri kepada kemaslahatan rumah peribadatan. Demikianlah kehidupan Maryam sehari-hari sebagai wanita saleh dan patuh kepada Allah, Tuhannya. Allah SWT menyucikannya dan memilihnya di antara semua wanita di dunia untuk mengemban amanat rahasia kekuasaan Ilahi. Pada suatu hari datanglah malaikat kepadanya memberi tahu, bahwa Allah SWT menggembirakannya dengan suatu titah (kalimat), bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak bernama Al-Masih putra Maryam, yang akan menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat serta termasuk orang yang didekatkan kepada Allah Rabbul-‘alamin.
Maryam sangat terkejut dan ketakutan mendengar berita Ilahi yang disampaikan oleh malaikat kepadanya. Ia menengadah ke langit seraya berucap dengan penuh tadharru1, “Bagaimana aku akan mempunyai anak, sedang selama ini tidak pernah ada seorang manusia pun yang menyentuh diriku, lagi pula aku pun bukan seorang perempuan jalang?!” Namun malaikat menjawab, “Demikianlah, Tuhanmu telah berfirman: Hal itu mudah bagi-Ku. (Anak itu) akan Kami jadikan tanda kekuasaan Kami bagi umat manusia dan (juga) sebagai rahmat dari Kami. Itu merupakan soal yang telah menjadi ketetapan Allah?
Pada akhirnya Maryam berserah diri kepada kehendak Allah yang telah menjadi suratan takdir-Nya. Tidak lama kemudian setelah itu ia merasakan janin yang di dalam kandungannya bergerak-gerak. Ya Allah, betapa berat derita batin seorang perawan suci yang harum citranya, yang tak lama lagi harus menghadapi tuduhan hina dina dari kaumnya! Ia berusaha menghindarkan diri dari tuduhan yang sangat memalukan itu dengan jalan menjauhkan diri pergi ke suatu tempat…. Ketika saat bersalin sudah tiba ia bersandar pada pohon kurma, kemudian ia melahirkan di sebuah kandang ternak. Di saat-saat yang sangat kritis itu ia berucap, , “Alangkah baiknya kalau aku mati sebelum ini dan diriku dilupakan orang!”[1]
9 Lihat Al-Quran, S. Maryam 20 dan 21 serta S. Alu ‘Imran 47. |
Kemudian terjadilah apa yang harus terjadi…. Peristiwa yang menakutkan itu didengar orang. Maryam pulang membawa bayinya ke tengah kaumnya. Mereka mencemooh, “Hai Maryam, engkau benar-benar telah melakukan perbuatan tercela! Hai saudara perempuan Harun,[2] ayahmu bukan penjahat dan ibumu pun bukan pezina… (mengapa engkau berbuat seperti itu?).[3]
Kesalehan dan kesucian Maryam yang selama ini diakui oleh kaumnya ternyata tidak dapat mencegah makian dan cercaan semua orang yang menyaksikan bahwa Maryam memang melahirkan seorang anak lelaki. Semua celaan, makian, bahkan kutukan dihadapi oleh Maryam dengan tabah dan sabar, ia teguh berserah diri kepada kehendak Allah. Ia rela menerima bencana yang lebih besar daripada mati itu itu karena ia yakin bahwa Allah pasti akan memenuhi janji-Nya mengangkat putranya sebagai manusia besar dan mulia.
Terdapat sumber berita yang mengatakan, ketika itu Maryam membawa putranya lari ke negeri Mesir untuk menghindarkan diri dari cemoohan, gangguan, kebencian, dan fitnah. Di sana ia tinggal selama 10 tahun, hidup dengan bekerja memintal kapas dan memunguti bulir-bulir gandum sisa panen. Pekerjaan itu dilakukan sambil menggendong putranya…. Kemudian Al-Masih dibawa kepada pendeta-pendeta ahlul-kitab dan dititipkan pada seorang pendidik hingga Tuhan mengizinkan ia pulang kembali ke Yerusalem agar putranya bersem-bah sujud kepada Tuhan menurut syariat Tuhan yang termaktub di dalam Kitab Nabi Musa Alaihissalam.[4]
Maryam bersama putranya bermukim di Nashirah (Nazaret) hingga putranya itu mencapai usia dewasa. Ketika Al-Masih ketakutan menerima wahyu Ilahi, kepada bundanya itulah beliau bernaung, kepadanya beliau mengungkapkan segala kesedihannya dan dari bundanya juga beliau mendapat dorongan dan dukungan dalam menunaikan tugas risalahnya ….
Injil Barnabas mengabadikan peristiwa-peristiwa dan keteguhan sikap Bunda Maryam yang tegar dan mulia itu. Disebutkan juga, ketika Yasu’ (‘Isa Alaihissalam.) telah mencapai usia 30 tahun, beliau bersama bundanya naik ke atas bukit Zaitun untuk memetik buah zaitun yang banyak terdapat di tempat itu. Di situlah beliau beroleh wahyu Ilahi dan menyadari dirinya sebagai Nabi yang diutus kepada orang-orang Yahudi (Bani Is-ra’il). Semua itu dinyatakan oleh beliau sendiri kepada bundanya, Maryam, bahwa beliau akan mengalami penindasan hebat demi kemuliaan Tuhan, dan beliau tidak lagi dapat hidup bersama bundanya dan tidak pula dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang putra kepada ibunya ….
Maryam menjawab, “Anakku, aku telah diberi tahu semuanya itu sebelum engkau lahir, Mahamulia asma Tuhan Yang Kudus!”14
Sejak itulah Al-Masih Alaihissalam. berpisah dari bundanya untuk menunaikan tugas risalah yang diembannya ….
Selama mengasuh dan menemani putranya bunda Maryam membekali beliau dengan suatu kesiapan untuk melaksanakan tugas besar yang menanti kedatangannya….
Al Masih berpisah dari bundanya namun keduanya tetap bersama sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT sepanjang zaman, sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qur’an :
Kami jadikan putra Maryam dan bundanya sebagai tanda (kebesaran dan kekuasaan-Ku)
Kami jadikan dia (Maryam) dan putranya sebagai tanda kekuasaan dan kebesaran-Ku bagi alam semesta.
Kurang-lebih 650 tahun kemudian di bumi Hijaz muncullah akhir rangkaian sejumlah wanita yang dipilih Allah SWT sebagai para ibu yang melahirkan nabi-nabi. Rangkaian terakhir itu ialah Aminah binti Wahb, bunda Nabi Muhammad saw., penutup para nabi dan diutus Allah SWT membawakan kebenaran agama-Nya kepada segenap umat manusia segala zaman.
[1] Lihat S. Maryam 23
[2]Disebut “saudara perempuan Harun” karena kesalehan Maryam yang seperti kesalehan Nabi Harun.
[3]Lihat S. Maryam 27-28.
[4]Al-‘Ara’is 2 dan 4 oleh Tsa’labiy.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini