Bunda para Nabi yang hendak kami bicarakan dalam bab ini ialah para ibu yang melahirkan Nabi Isma’il, Nabi Musa, Nabi ‘Isa, dan Nabi Muhammad—’alaihimush-shaldtu wassalam. Bukanlah suatu kebetulan kalau empat orang Nabi tersebut ditakdirkan lahir dari para ibu yang masing-masing mengasuh putra tanpa disertai para suaminya. Para ibu mereka bukan hanya memainkan peran masing-masing secara alamiah saja, melainkan juga menggantikan peranan para suami mereka yang sudah wafat atau yang masih hidup tetapi tidak mendampingi mereka.
Kita berpendapat bahwa persoalan itu adalah wajar dan alamiah; bukan keanehan dan bukan pula suatu kebetulan. Karena rasa kasih sayang seorang ibu yang lebih mengutamakan kepentingan anak daripada kepentingan dirinya sendiri, dan pembawaan fitrahnya yang lembut, benar-benar sangat dibutuhkan untuk mengasuh manusia-manusia calon Nabi dan Rasul pilihan Allah yang akan menyebarkan hidayat kepada segenap umat manusia. Agama yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul Allah sama sekali tidak membelakangkan kedudukan para ibu mereka sebagai wanita dan tidak pula menempatkan para wanita di tempat yang tidak semestinya. Itu sudah merupakan fitrah Ilahi yang tidak mungkin dapat diubah atau ditukar. Allah berfirman yang artinya:
Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (QS Ar-Rum: 30)
Bunda Nabi Isma’il Alaihissalam.
Ketika Nabi Ibrahim Alaihissalam. meninggalkan istri dan putranya (Siti Hajar dan Isma’il Alaihissalam.) beliau bermunajat kepada Allah:
ربنا إني أسكنت من ذريتي بواد بغير ذي زرع عند بيتك المحرم ربنا ليقيموا الصلوة فاجعل أفئدة من الناس تهوي إليهم وارزقهم من الثمرات لعلهم يشكرون
Ya Allah, Tuhan kami, kutempatkan sebagian dari keturunanku pada sebuah lembah yang tidak bertetumbuhan, dekat rumah-suci-Mu (yang dimuliakan manusia), ya Tuhan kami, agar mereka menegakkan shalat (bersembah sujud kepada-Mu) dan semoga Engkau membuat hati sebagian manusia condong kepada mereka, dan karuniailah mereka rezeki dari berbagai buah-buahan. Mudah-mudahan mereka akan bersyukur. (QS Ibrahim: 37)
Taurat mengetengahkan kisah Siti Hajar—bunda Nabi Isma’il Alaihissalam.— secara rinci. Al~Quranul Karim mengetengahkan beberapa bagian dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il—’ahihimus-salam—dalam berbagai surah dengan tujuan pokok: memberi penjelasan yang meyakinkan dan menitikberatkan pada inti persoalannya sebagai i’tibar dan pelajaran. Karena tujuan utama itulah Alquran tidak mengetengahkan kisah keluarga Nabi Ibrahim secara rinci seperti yang terdapat di dalam Taurat. Allah SWT memilih Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim Alaihissalam. sebagai seorang ibu yang melahirkan dan mengasuh putra beliau dan menyelamatkannya dari kebinasaan, ketika Nabi Ibrahim Alaihissalam. sebagai seorang ibu yang melahirkan dan mengasuh putra beliau dan menyelamatkannya dari kebinasaan, ketika Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan putranya yang masih dalam buaian di sebuah lembah yang tidak bertetumbuhan. Siti Hajar seorang ibu yang tabah dan kuat imannya kepada Allah dalam menghadapi bahaya kebinasaan bersama putranya di tengah sahara gersang. Betapa hancur perasaannya ketika melihat putranya meronta-ronta tercekik dahaga. Untuk menyelamatkan putranya ia berusaha mencari air dengan berbagai cara. Kisah penderitaan dan cobaan yang amat berat itu terpateri dalam sejarah sepanjang zaman.[1]
Siapakah wanita yang bernama Hajar? Ia seorang wanita kulit hitam dari Ethiopia dan hamba sahaya, manusia “hawa” yang lemah, tidak berdaya dan tidak berkuasa. Bahkan dirinya sendiri pun ia tidak menguasainya. Ia dibawa oleh Sarah, istri Nabi Ibrahim Alaihissalam., dari Mesir ke tanah Kan’an. Siti Sarah hingga berusia lanjut tetap mandul hingga hampir putus asa untuk dapat melahirkan anak yang diidam-idamkan suaminya. Oleh karena itu dengan sukarela ia menyerahkan hamba sahaya yang dibawanya dari Mesir itu kepada suaminya untuk dijadikan istri kedua, dengan harapan akan dapat melahirkan putra bagi Nabi Ibrahim Alaihissalam. Harapan itu terkabul. Ketika mengetahui Siti Hajar hamil, Siti Sarah mulai cemburu dan gundah gulana. Itu tidak aneh, karena memang demikian itulah fitrah wanita. Ia membayangkan pada suatu saat hamba sahaya itu pasti akan merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan dirinya. Kepada suaminya ia berkata, “Kuserahkan hamba sahayaku kepada Anda, tetapi setelah hamil ia merasa lebih tinggi daripada diriku!” Nabi Ibrahim Alaihissalam. menjawab, “Dia tetap hamba saha-yamu, engkau dapat berbuat apa saja terhadap dirinya!” Akan tetapi Sarah tidak mau berbuat sesuatu. Ia tetap bersikeras hendak menyingkirkan Hajar dari suaminya. Setelah Hajar melahirkan habislah sudah kesabaran Sarah. Ia bersumpah tidak akan membiarkan Hajar tinggal bersamanya di bawah satu atap.
Sarah terus-menerus mendesak suaminya supaya menyingkirkan Hajar. Pada akhirnya Nabi Ibrahim Alaihissalam. pergi mengembara ke arah selatan, diikuti oleh istrinya, Siti Hajar, sambil menggendong bayinya. Nabi Ibrahim Alaihissalam. berniat hendak menempatkan putranya di bawah naungan sisa-sisa bangunan purba, tempat pertama di muka bumi di mana manusia bersembah sujud kepada Allah, Tuhannya. Tibalah Nabi Ibrahim Alaihissalam. bersama istri dan putranya di sebuah dataran tandus dan gersang. Hampir tak ada seorang manusia pun yang bertempat tinggal di kawasan itu. Di dekat sisa-sisa bangunan purba Nabi Ibrahim diperintah Allah meninggalkan Siti Hajar bersama putranya, Isma’il Alaihissalam. Kedua-duanya hanya dibekali sekantong kurma dan sewadah (airbah) air minum untuk bertahan hidup. Setelah menyuruh istrinya membuat sebuah ‘arisy (semacam tenda) beliau berangkat pulang ke daerah asalnya. Hajar sangat ketakutan hidup seorang diri bersama bayinya di tengah gurun pasir, karenanya ia mohon kepada beliau supaya jangan meninggalkannya di tengah sahara yang mengerikan itu. Akan tetapi Nabi Ibrahim Alaihissalam. tidak menoleh dan tidak menjawab, seolah-olah beliau khawatir kalau-kalau tekadnya menjadi goyah, kasihan melihat putranya bersama Hajar “terbuang” di tengah padang pasir. Hajar mengulang kembali permohonannya dengan suara memelas, tetapi Nabi Ibrahim Alaihissalam. terus berjalan, tidak menoleh dan tidak menjawab. Setelah sampai di bagian lembah yang agak tinggi beliau mendengar suara Hajar bertanya, “Apakah Allah memerintahkan Anda meninggalkan diriku bersama bayi ini di tempat yang mengerikan seperti ini?” Beliau menjawab, “Ya…!” Sambil terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Mendengar jawaban ayah Isma’il Alaihissalam. itu Hajar menyerahkan nasib bersama bayinya kepada Allah SWT dengan penuh keyakinan, bahwa Allah tidak akan membiarkannya.2
Hajar sendiri termangu-mangu seraya mengarahkan pandangan matanya kepada ayah Isma’il Alaihissalam. yang makin lama makin jauh dan menghilang setelah melewati belokan di belakang sebuah bukit pasir. Nabi Ibrahim Alaihissalam. setibanya di belokan tersebut dengan khusyu’ dan tadharru bermunajat kepada Allah SWT:
ربنا إني أسكنت من ذريتي بواد بغير ذي زرع عند بيتك المحرم ربنا ليقيموا الصلوة فاجعل أفئدة من الناس تهوي إليهم وارزقهم من الثمرات لعلهم يشكرون
Ya Allah, Tuhan kami, kutempatkan sebagian dari keturunanku pada sebuah lembah yang tidak bertetumbuhan, dekat rumah-suci-Mu (yang dimuliakan manusia), ya Tuhan kami, agar mereka menegakkan shalat (bersembah sujud kepada-Mu) dan semoga Engkau membuat hati sebagian manusia condong kepada mereka, dan karuniailah mereka rezeki dari berbagai buah-buahan. Mudah-mudahan mereka akan bersyukur. (QS Ibrahim: 37)
Setelah itu beliau melanjutkan perjalanannya pulang ke daerah asal untuk berkumpul lagi dengan istrinya, Siti Sarah, di tanah Kan’an.
[1] Baca buku kami Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw., hlm. 103-141, Bab II, mengenai Keluarga Nabi Ibrahim a.s.
2 Ar-Raudhul-Anf: 1/135.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini